Kamis, 26 Juli 2012

Kwik Kian Gie: UU APBNP 2012 Bertentangan dengan Konstitusi

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBNP 2012) bertentangan dengan konstitusi. Sebab Pasal 7 ayat (1) UU APBNP 2012 antara lain mencantumkan bahwa subsidi BBM menjadi sebesar Rp. 137,4 triliun. Menurut Pemerintah dan DPR yang bersepakat mengesahkan UU APBNP 2012, subsidi ini akan membengkak bilamana harga harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) di pasar internasional mencapai lebih dari 15% dari harga 105 USD per barel atau mencapai harga sebesar 120,75 USD per barel.
Oleh karena itu DPR mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi atau bensin premium tanpa persetujuan DPR apabila harga ICP di pasar internasional mencapai 120,75 USD per barel. Pemerintah dan DPR sama sekali tidak pernah menyebutkan adanya pemasukan uang tunai dari BPH Migas sebesar Rp. 67,92 triliun dan pemasukan uang tunai dari penjualan migas sebesar Rp. 198,48 triliun. Kalau dua angka ini digabung, besarnya menjadi Rp. 308,10 triliun dan kalau angka ini dikurangi dengan angka subsidi sebesar Rp. 137,4 triliun, masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 128,83 triliun.
“Buat saya dan banyak orang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 jelas bertentangan dengan konstitusi kita karena undang-undang tersebut menyatakan hal-hal yang sama sekali tidak benar. Ketidakbenaran dari apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tercantum dalam penjelasan tentang undang-undang yang sama yang tidak dapat dipisahkan dari undang-undangnya sendiri. Di mana adanya pos pemasukan PPH sebesar Rp. 67,92 triliun dan adanya pos pemasukan dari penjualan migas sebesar Rp. 198,62 triliun.”
Pernyataan tersebut disampaikan Kwik Kian Gie saat didaulat sebagai ahli dalam persidangan uji formil dan materiil UU APBNP di Mahkamah Konstitusi, Kamis (26/7/2012) siang. Sidang kali kelima untuk gabungan perkara 42/PUU-X/2012, 43/PUU-X/2012, 45/PUU-X/2012, 46/PUU-X/2012 dan 58/PUU-X/2012 ihwal pengujian formil dan materiil UU APBN-P 2012 ini digelar untuk untuk mendengar keterangan saksi dan ahli. Selain Kwik Kian Gie, pemohon juga menghadirkan Aan Eko Widiarto, Ahmad Maftuhan.
Lebih lanjut Kwik Kian Gie mendalilkan inti Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (6a) yang menyatakan Pemerintah boleh menaikkan harga BBM bersubsidi bilamana harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan lebih dari 15% dari harga yang diasumsikan dalam APBNP 2012 yaitu 105 USD per barel. Menurutnya, dua pasal tersebut saling berkaitan. Dengan harga bensin premium yang berlaku sebesar Rp 4.500 per liter dan harga LPG tabung 3 Kg yang berlaku pada saat ini atas dasar harga ICP sebesar 105 USD per barel dalam pasar internasional yang ditentukan oleh Nymex, pemerintah mengeluarkan uang tunai dalam bentuk subsidi sebesar Rp. 123,6 triliun seperti yang tercantum dalam nota keuangan tahun 2012. Namun karena adanya perubahan dalam asumsi APBN, maka ditebitkan UU APBNP Tahun 2012 yang menjadikan besarnya apa yang dinamakan subsidi BBM menjadi Rp. 137,4 triliun.
“Entah disengaja atau tidak, dalam semua pernyataan dan keterangan resmi, Pemerintah dan DPR selalu hanya menyebut adanya angka subsidi sebesar Rp. 137,4 triliun, tetapi tidak pernah menyebut adanya angka pemasukan sebesar Rp. 67,92 triliun dari BPH MIGAS dan angka pemasukan sebesar Rp. 198,48 triliun sebagai hasil penjualan migas. Seluruh rakyat Indonesia diberikan gambaran adanya kekurangan uang sebesar Rp. 137,4 triliun, tanpa menyebut adanya pemasukan Rp. 67,92 triliun dan Rp198,48 triliun,” tandas Kwik di hadapan pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, dan Anwar Usman.
Sebagaimana diketahui, uji formil dan materiil UU APBNP 2012 ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan warga masyarakat. Antara lain, Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Eddy Wesley Parulian Sibarani, Masyur Maturidi, M. Fadhlan Hagabean Nasution, dll. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 25 Juli 2012

PT Angkasaria Indahabadi Tarik Kembali Uji Materi UU Ketenagakerjaan dan UU Jamsostek

PT. Angkasaria Indahabadi menarik kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 166)  dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Pasal 12). Menanggapi hal tersebut, rapat pleno permusyawaratan hakim pada Selasa, 17 Juli 2012 lalu, menetapkan permohonan penarikan kembali permohonan dengan Nomor 61/PUUX/2012 beralasan menurut hukum, oleh karena itu penarikan kembali tersebut dapat dikabulkan.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi pada Rabu (25/7/2012) menggelar sidang pengucapan ketetapan Nomor 61/PUU-X/2012. Mahkamah dalam ketetapannya menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan dan UU Jamsostek.
“Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi hakim konstitusi Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva.
Mahkamah juga menyatakan PT. Angkasaria Indahabadi di masa mendatang tidak dapat mengajukan kembali permohonan uji materi UU yang diujikan kali ini. “Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” lanjut Mahfud MD.
Terakhir, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera MK untuk menerbitkan
Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan mengembalikan berkas permohonan kepada PT. Angkasaria Indahabadi. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 24 Juli 2012

Pemerintah: Fenomena Alam Penyebab Semburan Lumpur Sidoarjo

Semburan dan luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai suatu bencana telah berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat di sekitarnya yang juga telah menimbulkan dampak sosial kemasyarakatan. Pemerintah memandang perlu untuk melakukan penanggulangan semburan lumpur dan penanganan luapan lumpur serta penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang timbul dengan langkah-langkah penyelamatan penduduk di sekitar daerah bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan penyelesaian masalah semburan lumpur dengan memperhitungkan resiko lingkungan terkecil serta memberikan bantuan kepada masyarakat yang kehilangan tempat tinggal. Oleh karena itu, terlepas dari apa yang menjadi penyebab terjadinya bencana semburan dan luapan lumpur Sidoarjo tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, negara bertanggung jawab atas keselamatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang layak bagi masyarakat yang terkena dampak dari semburan dan luapan lumpur Sidoarjo tersebut. “Di samping itu, dapat pemerintah sampaikan bahwa berdasarkan berbagai penelitian dan dua putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap telah dinyatakan pula bahwa penyebab dari semburan dan luapan lumpur Sidoarjo tidak terlepas dari adanya faktor fenomena alam.”
Demikian dikatakan Herry Purnomo, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, saat membacakan keterangan Pemerintah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/7/2012) siang. Keterangan tersebut menanggapi permohonan pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBNP 2012). Sidang perkara 53/PUU-X/2012 ihwal uji materi UU APBN dan APBNP 2012 ini diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, lanjut Herry Purnomo, Pemerintah berkeyakinan bahwa pengalokasian dana dalam APBN untuk penanggulangan lumpur Sidoarjo serta penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Sidoarjo sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 19 UU APBN 2012 dan Pasal 18 UU APBNP 2012 telah sejalan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 juga telah mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Maka jelas bahwa negara terutama Pemerintah mempunyai kewajiban untuk berusaha secara sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menjamin dan menyelenggarakan keselamatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang layak bagi masyarakat yang terkena dampak bencana semburan dan luapan lumpur di Sidoarjo tersebut. “Sejalan dengan penjelasan pemerintah tersebut di atas, maka pemerintah berpendapat bahwa alasan pengujian yang dikemukakan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa penggunaan dana APBN sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang APBNP Tahun 2012 dan Pasal 19 Undang-Undang APBN Tahun 2012 tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah tidak benar,” bantah Herry.
Badan penanggulangan lumpur Sidoarjo (BPLS), terang Herry, merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah yang bertugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, serta menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo dengan memperhatikan resiko lingkungan yang terkecil. Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, BPLS dibiayai dari APBN, di mana untuk tahun anggaran tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp 1,5 triliun.
Sejalan dengan tujuan dibentuknya BPLS tersebut, maka untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU APBNP 2012 yang menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk: a. pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan); b. bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); c. bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.”
Demikian halnya dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Siduarjo, maka di dalam ketentuan Pasal 19 UU APBN 2012 ditetapkan bahwa anggaran belanja yang dialokasikan pada BPLS TA 2012 dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur. Termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai kali Porong yaitu antara lain mengalirkan lupur dari tanggul utama ke kali Porong.
Berdasarkan hal-hal tersebut, telah jelas bahwa norma yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang APBN-P Tahun 2012 dan Pasal 19 Undang-Undang APBN Tahun 2012 yang menetapkan pengalokasian dana APBN pada BPLS untuk hal-hal sebagaimana tersebut di atas tidak bertentangan sama sekali dengan Undang Undang Dasar 1945. “Oleh karena itu, pemerintah berpendapat bahwa alasan pengujian yang dikemukakan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa dana APBN yang ditetapkan atau dialokasikan dalam Pasal 18 Undang-Undang APBN-P Tahun 2012 dan Pasal 19 Undang-Undang APBN 2012 tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) karena tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, adalah tidak benar,” tandas Herry mewakili Pemerintah.
Terkait dengan dalil permohonan yang menyatakan bahwa perusahaan Lapindo Berantas Inc. tidak dimintai pertanggungjawaban, hal tersebut adalah tidak benar. Pemerintah menyatakan bahwa Lapindo Berantas Inc. telah diminta turut bertanggung jawab atas masalah sosial kemasyarakatan akibat semburan dan luapan lumpur di Siduarjo. Lapindo Berantas Inc. pun diharuskan untuk menyelesaikan semua kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut hingga tuntas. Dalam hal ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendesak Lapindo Berantas Inc. agar menyelesaikan semua kewajiiban dan tanggung jawab yang dimaksud. “Adapun yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari Lapindo Berantas Inc. adalah penanganan masalah sosial kemasyarakatan dengan membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Siduarjo pada wilayah peta area terdampak atau PAT tanggal 22 Maret 2007,” tandas Herry.
Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah tegaskan bahwa ketentuan Pasal 18 UU APBNP 2012 dan Pasal 19 UU APBN 2012 tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian Pasal 18 Undang-Undang APBNP Tahun 2012 dan Pasal 19 Undang-Undang APBN Tahun 2012 a quo untuk menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” pinta Herry. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 19 Juli 2012

Pemeriksaan Usai, Uji Materi UU Perpajakan Tunggu Putusan

Pengujian materi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), kembali digelar di persidangan Mahkamah Konstitiusi (MK), Kamis (19/7/2012). Sidang untuk nomor perkara 30/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) UU KUP ini diajukan oleh Harangan Wilmar Hutahaean. Pada kesempatan kali ini pihak Pemerintah dihadiri Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, sejumlah Pejabat Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Keuangan.
Persidangan kali keenam dengan agenda mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon, berlangsung cukup singkat. Pemohon melalui kuasanya, Andris Basril menyatakan ahli yang diusulkan oleh Pemohon berhalangan hadir.
“Berdasar catatan kami, sidang hari ini diadakan untuk mendengarkan keterangan ahli yang diusulkan oleh Pemohon. Namun sampai saat ini, ahli yang dimaksud belum hadir, saya minta keterangan Pemohon,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD, sesaat setelah membuka persidangan.
“Seyogianya kami akan mengajukan saksi ahli satu orang lagi. Namun karena kesibukan, ahli kami tidak dapat menghadiri. Untuk itu, kami tidak akan mengajukan lagi saksi ahli,” jawab Andris.
Mendengar jawaban Andris, pleno hakim menyatakan proses pemeriksaan uji materi UU KUP selesai. Sidang berikutnya adalah pengucapan putusan. Sebelum pengucapan putusan, pihak Pemohon, Pemerintah dan DPR diberi kesempatan untuk menyerahkan kesimpulan akhir paling lambat 31 Juli 2012, pukul 14.00 WIB. “Sesudah itu Mahkamah akan menyelenggarakan rapat internal (rapat permusyawaratan hakim) untuk mengambil putusan,” lanjut Mahfud MD seraya menyatakan persidangan ditutup.
Permohonan pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) UU KUP diajukan oleh Harangan Wilmar Hutahaean, Direktur PT Hutahaean. Pasal 25 ayat (9) UU KUP menyatakan: “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Kemudian Pasal 27 ayat (5) huruf d menyatakan: “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”
PT Hutahaean adalah wajib pajak yang terperiksa oleh fiskus (petugas pemeriksa pajak) dan telah menerima Surat Ketetapan Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan. PT Hutahaean menyanggah temuan fiskus. Namun haknya untuk mengajukan keberatan, terhalangi oleh ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Ketentuan ini sangat merugikan karena telah membatasi wajib pajak yang mempunyai sengketa pajak dikenakan sanksi sebelum mengajukan gugatan keberatan, yaitu sanksi administrasi berupa denda sebanyak 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebanyak 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Pemohon menilai hal ini terlalu berlebihan dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 17 Juli 2012

Parpol Berkursi Tak Perlu Verifikasi

Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), menurut pendapat Pemerintah, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik (parpol) yang memenuhi nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5% pada pemilu 2009. Atau parpol yang sudah mempunyai kursi di DPR sebagai representasi dari dukungan rakyat, dan parpol yang lulus verifikasi di KPU.
Persyaratan menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sinkron dengan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Hal tersebut juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa parpol yang berbadan hukum tidak perlu diverifikasi untuk menjadi badan hukum. “Dengan demikian, maka partai politik yang sudah mempunyai kursi di DPR tidak perlu lagi diverifikasi untuk menjadi peserta pemilu.”
Demikian dikatakan Bambang Kusumajadi saat menyampaikan opening statement Pemerintah dalam sidang uji materiil dan formil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/7/2012). Sidang kali ketiga untuk gabungan perkara 51/PUU-X/2012, 52/PUU-X/2012, 54/PUU-X/2012 dan 55/PUU-X/2012, beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah. Permohonan uji materiil dan formil UU Pemilu ini masing-masing diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) dkk, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dkk, Partai Nasional Indonesia (PNI) dkk, dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Lebih lanjut Pemerintah menyatakan, pembahasan mengenai pembentukan UU Pemilu telah mempertimbangkan hal-hal yang mendasar yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Mengenai masalah besaran nilai ambang batas mengikuti electoral threshold/ET maupun parliamentary threshold/PT, menurut Pemerintah, hal itu merupakan kewenangan pembentuk UU. PT merupakan tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh parpol untuk mendapatkan perwakilan kursi di DPR.
Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT pada pemilu terakhir, dijadikan sebagai ET untuk pemilu berikutnya. Dengan demikian, maka UU Pemilu memberlakukan PT tahun 2009 sebagai ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu.
Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas program yang dicanangkan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi sebelumnya, seringkali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan dengan program yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing keterwakilan parpol di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya dikarenakan dalam Pemilu 2009, parpol politik yang terwakili di DPR belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. “Hal ini sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintah kurang efektif,” tambah Kusumajadi.
Kemudian terkait dengan suara sah secara nasional yang harus diperoleh parpol politik untuk mendapatkan kursi di DPR, DPRD dalam pemilu yang demokratis, luber dan jurdil, justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan kepada rakyat memilih yang berdaulat. “Hal demikian juga sebagai tolak ukur apakah partai politik yang menjadi peserta pemilu 2014 mendapatkan dukungan dari rakyat,” terang Kusmajadi.
Sementara itu, Eros Djarot saat didaulat sebagai saksi pemohon menyatakan, revisi UU Pemilu setiap lima tahun sekali menggambarkan adanya ketidakpastian sistem politik dan ketidakpastian hukum. Legalitas parpol terombang ambing sehingga kaderisasi terabaikan. Demi kepentingan sesaat, proses revisi pembentukan UU Pemilu dan Pilpres dipelintir menjadi sebuah UU yang tidak memiliki asas-asas normatif dan jauh dari logika hukum. “Proses pembentukan Undang-Undang Pemilu yang berpotensi melahirkan konflik horizontal yang berkepanjangan harus dicegah dan dikoreksi total,” tandas Eros. (Nur Rosihin Ana)

Senin, 16 Juli 2012

Sektoralisasi Hulu dan Hilir Migas Perlemah Peran Pertamina

Pemisahan Badan Pelaksana dan Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (Migas) di bagian hulu dan hilir mengakibatkan terjadinya sektoralisasi penguasaan Negara atas Migas Indonesia. Sektoralisasi atau pemisahan di bidang hulu dan hilir pada kenyatannya justru memperlemah peran Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dan mengelola migas. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya penguasaan pihak swasta atas hulu dan hilir. “Fakta sekarang, pengelolaan migas di Indonesia dikuasai oleh asing, padahal Pertamina mampu untuk mengelola itu,” kata Janses E. Sihaloho selaku kuasa hukum para pemohon uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (16/702012) siang.
Sidang pendahuluan untuk nomor perkara 65/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Janses menilai berlakunya Pasal 10 UU Migas telah memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir.
Ke-21 anak Pertamina tersebut yaitu: PT Pertamina EP, PT Pertamina EP Cepu , PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling Services Indonesia, PT Pertagas, PT Usayana, Pertamina Energy Services Pte Limited, dan Pertamina Energy Trading Limited, PT Patra Niaga, PT Pertamina Retail, PT Pertamina Trans Kontinental, PT Pelita Air Service, PT Patra Dok Dumai, PT Patra Jasa, PT Pertamina Training & Consulting, PT Tugu Pratama Indonesia, PT Pertamina Bina Medika, PT Pertamina Dana Ventura, Dana Pensiun Pertamina, PT Elnusa, PT Nusantara Regas.  
“Anak perusahaan Pertamina tersebut tidak sepenuhnya lagi 100% milik negara. Bahkan dari info yang berkembang di beberapa media, beberapa anak perusahaan Pertamina sendiri dalam waktu dekat akan diprivatisasi,” lanjut Janses.
Janses E. Sihaloho lebih lanjut di hadapan panel hakim konstitusi Anwar Usman (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva, mengatakan pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology dan high risk. Terhitung beberapa perusahaan yang bergerak di bidang migas dunia melakukan merger ataupun penggabungan perusahaan untuk meneguhkan dominasi mereka terhadap penguasaan dan pengelolaan migas dunia. Misalnya Exxon dan Mobil yang dulu berdiri sendiri-sendiri, sekarang merger menjadi Exxonmobil, dan Total Fina yang melakukan merger dengan Elf Aquitaine menjadi Total Fina Elf.
“Padahal perusahaan-perusahaan migas tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar. Artinya, kalau umpamanya Pertamina dipecah, nanti akan sangat susah untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan Migas dunia yang notabene memperkuat badan usaha perusahaan itu sendiri,” papar Janses.
Dalam petitum, FSPPB dan KSPMI melalui kuasa hukumnya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46 , dan Pasal 63 huruf c UU Migas bertentangan dengan 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 04 Juli 2012

Bagir Manan: Tidak Ada Hukum Pajak Tanpa Disertai Sanksi

Sanksi merupakan suatu perlengkapan untuk menjamin agar suatu undang-undang (UU) atau hukum memiliki kekuatan efektif. Dalam teori hukum, penetapan sanksi menjadi satu-satunya ciri suatu kaidah hukum. Hukum harus ada sanksi. Demikian pendirian kaum positivisme. “Sanksi diperlukan pada hukum atau undang-undang yang bersifat memaksa atau lazim disebut dwingen recht,” kata Bagir Manan saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/7/2012).
Sidang kali kelima untuk perkara nomor 30/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), beragendakan mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli. Pihak Pemerintah dihadiri Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, sejumlah ahli Pemerintah: Bagir Manan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Siti Ismiati Jenie, Supardji, dan Edward Omar Sharif Hiariej.
Bagir Manan melanjutkan, hukum yang memaksa adalah hukum atau UU yang berkaitan dengan ketertiban umum (public order), atau demi kepentingan publik (public interest), seperti menyangkut kepentingan nasional atau keamanan nasional. “Karena semua hukum memuat sedikit atau banyak unsur ketertiban umum atau suatu kepentingan publik, maka hampir selalu dijumpai unsur sebagai dwingen recht termasuk hukum keperdataan yang lebih banyak sebagai regelend recht,” terang Bagir.
Pajak adalah pungutan negara yang bersifat memaksa sebagai perwujudan kewajiban pembayar pajak terhadap negara. Pajak sebagai pendapatan negara bertalian langsung dengan kewajiban negara untuk menjamin dan menjalankan kepentingan umum maupun kepentingan negara sendiri, seperti menjamin keamanan nasional dan lain-lain. Fungsi pajak tidak semata-mata untuk menjamin keadilan, tapi tidak kalah pentingnya adalah fungsi ketertiban umum atau public order. Berdasarkan pengertian, tujuan, dan fungsi tersebut, sanksi sebagai instrumen menjalankan ketaatan membayar pajak, merupakan suatu kemestian. “Tidak ada hukum pajak tanpa disertai suatu sanksi,” tandas Bagir.
Ahli lainnya yang dihadirkan Pemerintah yaitu Abdul Hakim Garuda Nusantara. Menurutnya, kandungan pasal dalam UU yang diujikan Pemohon, telah memenuhi asas-asas keseimbangan, kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum. “Dengan terang-benderang pasal-pasal a quo dalam undang-undang a quo menyerasikan antara tuntutan kepastian hukum, efisiensi, dan efektivitas dalam pemungutan pajak dengan cara menghindari penundaan pembayaran pajak yang tidak patut,” kata Abdul Hakim
Selain itu, lanjut Abdul Hakim, memberikan keadilan dan perlindungan hukum kepada wajib pajak dari kemungkinan kesewenangan, ketidaktelitian, kealpaan aparat pajak dengan cara memberikan peluang kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pembayaran pajak dan wewenang kepada Dirjen pajak untuk menghapuskan denda, bunga, kenaikan, bahkan menghapuskan ketetapan pajak. Kepastian hukum, efisiensi, dan efektifitas pemungutan pajak, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP layak untuk dipertahankan karena tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Malahan dengan dipertahankannya kedua pasal tersebut memungkinkan pelaksanaan kewajiban konstitusional negara yakni pemenuhan HAM baik sipil dan politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya. “Hilangnya kedua pasal tersebut, hilangnya kekuatan konstitusional kedua pasal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penundaan pembayaran pajak besar-besaran oleh wajib pajak,” tandas Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) UU KUP diajukan oleh Harangan Wilmar Hutahaean, Direktur PT Hutahaean. Pasal 25 ayat (9) UU KUP menyatakan: “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Kemudian Pasal 27 ayat (5) huruf d menyatakan: “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”
PT Hutahaean adalah wajib pajak yang terperiksa oleh fiskus (petugas pemeriksa pajak) dan telah menerima Surat Ketetapan Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan. PT Hutahaean menyanggah temuan fiskus. Namun haknya untuk mengajukan keberatan, terhalangi oleh ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Ketentuan ini sangat merugikan karena telah membatasi wajib pajak yang mempunyai sengketa pajak dikenakan sanksi sebelum mengajukan gugatan keberatan, yaitu sanksi administrasi berupa denda sebanyak 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebanyak 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Pemohon menilai hal ini terlalu berlebihan dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 03 Juli 2012

Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Perbaiki Permohonan Pengujian Umur Pensiun

Pengujian materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diajukan oleh Hakim Ad-Hoc PHI pada Mahkamah Agung (MA), Jono Sihono dan Hakim  Ad-Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, M. Sinufa Zebua, kembali diperiksa di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/7/2012) siang. Persidangan perkara nomor 56/PUU-X/2012, ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.
Kedua Hakim Ad Hoc tersebut mengujikan ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI yang menyatakan: Pasal 67 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d) telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.”
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Pemohon melalui kuasa hukumnya, R. Supramono, menyampaikan perbaikan permohonan sesuai nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya (19/6/2012). Perbaikan meliputi lima hal, yakni kewenangan Mahkamah, materi UU PPHI yang diujikan, batu uji dalam UUD 1945, tambahan alat bukti, dan terakhir perubahan pada petitum.
Bila pada permohonan sebelumnya para Pemohon mengujikan seluruh ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, maka setelah perbaikan, yang diujikan adalah frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun”.
“Pada permohonan perbaikan ini, ada perbaikan redaksi dimana frasa khusus yang kita uji adalah dua frasa, yaitu frasa ‘telah berumur 62 tahun’ dan frasa ‘telah berumur 67 tahun’,” kata R. Supramono.
Kemudian Pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Permohonan sebelum perbaikan, batu ujinya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2). Setelah perbaikan, batu ujinya menjadi dua pasal yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon juga mengajukan tambahan alat bukti, yakni Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian, bukti yang diajukan adalah bukti P-1 sampai P-20.
Terakhir, dalam petitum setelah perbaikan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, khususnya pada frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun” adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

Senin, 02 Juli 2012

Proses Pemeriksaan Uji Materi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara Berakhir

Agenda sidang uji materi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (03/07/2012), yakni mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Namun, hingga persidangan dibuka pukul 11.00 WIB, baik Pemohon maupun Pemerintah tidak bisa menghadirkan saksi/ahli yang akan memberikan keterangan untuk memperkuat argumentasi masing-masing.
Syahdan, pleno Hakim Konstitusi yang terdiri Achmad Sodiki (Ketua Pleno), M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan akhir selambat-lambatnya pada 10 Juli 2012.Majelis memberi kesempatan kepada Pemohon dan Pemerintah untuk membuat kesimpulan sampai hari Selasa, tanggal 10 Juli Tahun 2012 jam 16.00 WIB,” kata Achmad Sodiki.
Untuk diketahui, persidangan kali keempat untuk perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan nomor 41/PUU-X/2012, ini diajukan oleh Muhammad Fhatoni, Akmal Fuadi, dan Denni. Ketiganya mengujikan ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara, serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara.
UU Keuangan Negara Pasal 8 huruf d menyatakan: “Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan.”
UU Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat (2) huruf j menyatakan: (2) “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang: j. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah.”
UU Perbendaharaan Pasal 38 menyatakan: “(1) Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang Negara atau menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang APBN; (2) Utang/hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD; (3) Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Belanja Negara; (4) Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Para Pemohon mendalilkan, berlakunya ketentuan dalam materi kedua UU yang diujikan tersebut, berdampak pada peningkatan utang negara. Hal ini terjadi karena Menteri Keuangan (Menkeu) dan pejabat yang mendapat kuasa dari Menkeu Keuangan begitu mudahnya melakukan penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri.
Hutang yang ditandatangani sekarang, dihabiskan sekarang. Namun cicilan pembayarannya baru lunas pada generasi anak cucu yang nota bene tidak menikmati manisnya, tapi harus menanggung sepahnya. Hal inilah yang dianggap merugikan konstitusional para Pemohon.
Menurut Pemohon, perjanjian luar negeri terutama yang berhubungan hutang harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Dalam konteks ini, harus kembali kepada substansi Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yaitu penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri hanya dapat ditandatangani oleh Presiden dan mendapat persetujuan dari DPR. (Nur Rosihin Ana)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More