Kamis, 28 Juni 2012

Sengketa Kuasa Pulau Berhala Tunggu Putusan MK

Salah satu perkara mengenai sengketa kuasa Pulau Berhala, memasuki tahap pemeriksaan akhir di persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (28/6/2012) Siang. Mahkamah pada 10 Juli 2012 mendatang akan menggelar sidang pengucapan putusan perkara Perkara 32/PUU-X/2012 mengenai  pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Uji materi UU tersebut intinya mempersoalkan keberadaan Pulau Berhala.

Pada persidangan dengan agenda mendengar Keterangan saksi/ahli dari Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait, Mahkamah mendengar keterangan saksi fakta yang dihadirkan oleh oleh Pemerintah Kabupaten Lingga (Pihak Terkait II). A. Anhar Khalid, mantan Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri), mengawali keterangannya di hadapan pleno Hakim Konstitusi, menyatakan, pada 2001, Khalid bersama beberapa Anggota DPRD Kab. Kepri, Provinsi Riau, mengadakan kunjungan kerja (Kunker) ke Kecamatan Dabo Singkep. “Dalam kunjungan kerja tersebut, kami disambut warga penduduk Pulau Berhala yang pada waktu itu hanya berjumlah 14 kepala keluarga (KK), yang berasal dari Singkep dan Lingga,” kata Khalid.

Saat sesi diskusi, warga masyarakat Pulau Berhala menyampaikan permohonan agar Pemkab Kepri membantu kesejahteraan hidup warga, seperti mendirikan bangunan sekolah dasar, pemukiman 14 KK, pos kesehatan, pos keamanan, sarana air bersih, tempat ibadah, sarana/prasarana penangkapan ikan, dermana, dan lain sebagainya. Permohonan warga masyarakat Pulau Berhala tersebut telah ditindaklanjuti oleh Pemkab Kepri pada tahun anggaran 2001-2002. “Pada waktu kunjungan kerja DPRD Kabupaten Kepulauan Riau tahun 2001 tersebut, sama sekali tidak ada bantuan dan pembangunan apapun oleh Pemerintah Provinsi Jambi bagi masyarakat Pulau Berhala. Menurut keterangan warga penduduk, memang ada warga Provinsi Jambi yang berkunjung ke Pulau Berhala untuk berekreasi,” terang Khalid.

Saksi fakta berikutnya Erhani Erham. Menurut penuturan Edward Arfa, Kuasa Hukum Pemkab Lingga, Erhani adalah pensiunan Kantor Pertanahan Kab. Kepri. Menurut Kuasa  yang menurut penuturan yang pernah melakukan pengukuran tanah dalam upaya penerbitan 7 sertifikat tanah warga di Pulau Berhala. “Semasa saya bertugas sebagai petugas ukur di Kantor Pertahanan Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 2001, saya telah melakukan pengukuran beberapa lokasi di Pulau Berhala yang dimohonkan warga untuk penerbitan buku tanah (Sertifikat hak milik),” kata Erhani. Memperkuat keterangan, Erhani selanjutnya menyerahkan bukti lampirkan fotokopi sertifikat hak milik tersebut.

Saksi fakta lainnya, Supriyadi, Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Hutan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah 12 Tanjung Pinang, memaparkan peta mengenai batas wilayah Tanjung Jabung Timur dengan Pulau Berhala, Pulau Singkep, dan sekitarnya, dinyatakan tegas dibatasi dengan Selat Berhala. Saksi fakta Andi Askar, mantan Kepala Operasi Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Tanjung Uban tahun 1980-1982. Wilayah operasi Andi meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Cina Selatan, Anambas, Natuna, perairan Kalbar, laut Bangka, Selat Berhala, Lingga bagian selatan, Bintan, Tanjung Batu Kundur, dan Tanjung Balai Karimun. “Fakta bahwa pengelolaan administrasi Kepulauan Riau atas Pulau Berhala telah berlangsung sejak lama secara terus-menerus sampai dewasa ini,” terang Andi.

Persidangan pleno kali ini juga mendengar keterangan Sumaryo Joyo Sumarto yang didaulat sebagai ahli oleh Pemohon. Dosen Fakultas Tehnik Universitas Gadjah Mada ini menerangkan tentang peta yang merupakan keahliannya. Fungsi peta, kata Sumaryo, menunjukkan posisi di muka bumi, menentukan ukuran dan bentuk objek. Ukuran, misalnya luas, panjang, dan sebagainya. Sedangkan bentuk, misalnya Pulau Sulawesi itu bentuknya seperti huruf K. Padahal kalau kita pergi ke Sulawesi, kita tidak melihat huruf K, tapi bisa melihat hanya melalui peta.

Persoalannya, bagaimana hubungan antara peta dengan batas wilayah. Mengenai hal ini, Sumaryo mengemukakan teori Stephen B. Jones tahun 1945, bahwa proses terjadinya batas wilayah meliputi empat tahapan. “Yang pertama alokasi, alokasi wilayah. Kemudian delimitasi atau sepadan dengan kata penetapan di dalam bahasa Indonesia. Kemudian demarkasi atau sepadan dengan kata penegasan. Kemudian manajemen,” kata Sumaryo sembari menambahkan, alokasi hakikatnya merupakan proses keputusan politik untuk mengalokasi wilayah. Penetapan atau delimitasi adalah memilih letak garis batas. Kemudian mendefinisikan titik dan garis batas di peta. Penegasan yaitu memasang tanda batas di lapangan.

Menurut Sumaryo kualitas akurasi peta pada lampiran UU Nomor 31 Tahun 2003 tidak memenuhi syarat sebagai peta hasil delimitasi. Pasal 5 ayat (1) merupakan tahap pertama delimitasi memilih letak garis batas, hanya saja belum didefinisikan area selat dan laut. “Berikutnya Pasal 5 ayat (2) merupakan kegiatan mendefinisikan letak batas wilayah di daerah yang dibentuk, hanya saja dalam pendefinisian letak batas secara pasti belum dilakukan pada peta yang kualitasnya baik serta belum ditentukan juga kordinat titik batasnya,” tandas Sumaryo.

Untuk diketahui, uji materil UU Nomor 31 Tahun 2003 ini diajukan oleh H. Hasan Basri Agus (Gubernur Jambi), Effendi Hatta (Ketua DPRD Provinsi Jambi), Zumi Zola Zulkifli (Bupati Tanjung Jabung Timur), Romi Hariyanto (Ketua DPRD Kab. Tanjung Jabung Timur), Meiherrriansyah (Camat Sadu Kab. Tanjung Jabung Timur), Abidin (Kades Sungai Itik), Junaidi (Kadus Pulau Berhala), Kalik (Ketua RT 13/Nelayan Desa Sungai Itik), H. Hasip Kalimuddin Syam (Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi), Sayuti (Pensiunan PNS/Tokoh Masyarakat), R. Muhammad (Masyarakt Desa Nipah Panjang). Para Pemohon mendalilkan, pembentukan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), telah mengurangi luas wilayah Provinsi Jambi. Sebab, Pulau Berhala yang semula adalah wilayah Provinsi Jambi, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Pulau Berhala menjadi wilayah Kabupaten Lingga.

Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 menyatakan “Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah: Sebelah selatan berbatasan dengan laut Bangka dan Selat Berhala.” Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau menyatakan bahwa “Kabupaten Kepulauan Riau dalam undang-undang ini, tidak termasuk Pulau Berhala, karena Pulau Berhala termasuk di dalam wilayah administratif Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi.” (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 27 Juni 2012

Penguasaan Hutan oleh Negara Harus Memperhatikan Hak Masyarakat Hukum Adat

Hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya yang harus dihormati, merupakan suatu tafsiran yang belum final. Dengan kata lain, masih dalam proses penemuan interpretasi yang sesuai dengan fungsi perlindungan, penghormatan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (4). UUD 1945. Reinterpretasi berkenaan dengan adanya pranata pemerintahan adat. Kemudian, keberadaan hak masyarakat adat diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Masyarakat hukum adat sebagai komunitas antropologis yang secara berlanjut mendiami satu wilayah yang sama secara turun-temurun, telah lebih dahulu terbentuk sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Masyarakat hukum adat tersebut dalam sejarahnya memiliki hak dan kewenangan publik dalam mengelola masyarakat di bidang hukum adat, sosial, kultural, dan ekonomi yang memang jikalau dilihat menjadi bagian Indonesia merdeka, kita harus dapat mendudukkannya dengan tepat berkenaan dengan kekuasaan negara sebagai pemegang mandat dari rakyat yang berdaulat.”

Demikian paparan Maruarar Siahaan dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/6/2012) siang. Sidang pleno perkara nomor 35/PUU-X/2012 ihwal
Pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), beragendakan Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon.

Lebih lanjut Maruarar menyatakan, adanya masyarakat hukum adat yang memiliki hak tradisional yang bersifat kewilayahan akan menimbulkan benturan dengan kekuasaan negara jika tidak ada pengaturan yang jelas. Oleh karena itu, politik hukum yang lahir dari konstitusi yang menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual untuk kemudian melindungi masyarakat hukum adat secara efektif.

“Pengakuan yuridis secara internasional yang  ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries tentu merupakan suatu bandingan yang harus dilirik dengan serius,” lanjut mantan Hakim Konstitusi yang akrab dipanggil Maru.

Apa yang dimohonkan oleh Pemohon, terang Maru, merupakan makna baru dalam melihat norma yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan yang berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut Maru, seharusnya Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan berbunyi: “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.”

Persidangan kali ini juga menghadirkan para saksi yang dihadirkan Pemohon. Kaharuddin T dari Suku Punan Dulau di Kalimantan Timur, dalam kesaksiannya menyatakan Pemerintah Kabupaten Bulungan memindahkan Suku Punan Dulau ke Desa Sekatak Puji Kecamatan Sekatak pada tahun 1970. Kaharuddin juga menerangkan aturan adat yang berlaku hingga sekarang, yaitu apabila ada orang luar memasuki hutan wilayah adat secara diam-diam tanpa sepengetahuan masyarakat adat, maka orang tersebut dikenakan sanksi hukum adat. Sanksi hukum adat diadili oleh kapitan sesuai dengan kesalahannya, misalnya didenda Rp3.000.000,00. “Jadi, bagi siapa yang menebang atau mengambil pohon, atau memanjat pohon madu, misalnya, dikenakan denda yang lebih besar lagi karena merusak dan itu dikenakan denda nama tempayan (guci) dan nilainya sekarang Rp10.000.000,00,” terang Kahar.

Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 UU Kehutanan ini dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu. Materi dalam UU Kehutanan tersebut menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah hutan adat-nya. Sehingga  masyarakat hukum adat kehilangan sumber penghasilan dan sumber penghidupan. Selain itu, masyarakat hukum adat terancam pemidanaan. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 26 Juni 2012

Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Pengaruhi Besaran APBN-P 2012

Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia. Ketegangan  geo politik di negara-negara teluk mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia. “Kenaikan ini pun terjadi pada ICP yang cenderung meningkat jika dibandingkan dengan harga rata-rata selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2012, sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 2012 diperkirakan mencapai $150 per barel.”

Demikian pernyataan Ruhut Sitompul saat menyampaikan keterangan DPR RI di hadapan sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (26/6/2012). Sidang pleno gabungan perkara 42/PUU-X/2012, 4345/PUU-X/2012, 45/PUU-X/2012, 46/PUU-X/2012 ihwal pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), beragendakan mendengar keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.

Lebih lanjut Anggota Komisi III DPR ini menyatakan, lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930.000 barel per hari, di bawah target dalam APBN tahun 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua dan dampak diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh juga pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman.

Pemahaman Parsial

DPR berpendapat, muatan norma Pasal 7 ayat (1) tidak dapat dipahami secara parsial, mengingat ketentuan ayat (1) terkait erat dengan ketentuan Pasal 7 secara keseluruhan, terutama Pasal 7 ayat (1a) yang berbunyi, “Subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah termasuk pembayaran kekurangan subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2010 (audited) sebesar Rp706.900.000.000,00 (tujuh ratus enam miliar sembilan ratus juta rupiah), dan perkiraan kekurangan subsidi Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp3.500.000.000.000,00 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah), serta subsidi liquefied gas for vehicle (LGV) sebesar Rp54.000.000.000,00 (lima puluh empat miliar rupiah).”

Demikian pula ketentuan Pasal 7 ayat (4) beserta penjelasannya. Pasal 7 ayat (4) berbunyi, “Pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram dalam Tahun Anggaran 2012 dilakukan melalui pengalokasian BBM bersubsidi secara lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap.”

Dalam petitum-nya DPR RI meminta Mahkamah menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan. Menyatakan bahwa proses pembahasan UU APBN-P 2012 telah sesuai dengan perubahan UU yang berlaku. Kemudian, menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), Pasal 15A UU APBN-P 2012 tidak bertentang dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang-Undang UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pinta Ruhut Sitompul.

Konstitusionalitas BLSM

Pihak Pemerintah dalam keterangannya yang disampaikan oleh Herry Purnomo menyatakan, APBN-P 2012 merupakan paket kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi yang bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskal (fiscal sustainability), memperbaiki efisiensi ekonomi, meningkatkan investasi untuk menstimulasi ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya alokasi anggaran untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) menjadi sebesar Rp. 137.379.845.300.000,00 dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari yang semula sebesar Rp. Rp123.599.674.000.000,00 dalam UU APBN 2012, hal tersebut sebagai akibat dari harga minyak mentah yang meningkat tajam serta nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi.

Selain itu, Pemerintah mengemukakan bahwa pelaksanaan subsidi BBM dan LPG pada setiap tahun anggaran akan diaudit oleh BPK. “Oleh karena itu, Pemerintah tegaskan bahwa alasan para Pemohon yang menyatakan alokasi anggaran untuk subsidi BBM dan LPG dalam Pasal 7 ayat (1) telah di-mark up, adalah tidak benar,” tandas Herry.

Mengenai program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagaimana ketentuan Pasal 15A UU APBN-P 2012, bertujuan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga terutama dari jasa transportasi serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup yang meningkat. Program kompensasi penyesuaian harga BBM bersubsidi tahun anggaran 2012 ditempuh melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dalam subsidi angkutan umum.

Oleh karena itu, ketentuan Pasal 15A UU APBN-P Tahun 2012 yang menetapkan bahwa dana kompensasi penyesuaian harga BBM bersubsidi berupa BLSM tersebut, sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemerintah tegaskan bahwa alasan pengujian yang dikemukakan oleh Para Pemohon yang menyatakan bahwa dana kompensasi kenaikan harga BBM dalam bentuk BLSM yang ditetapkan dalam Pasal 15A UU APBN-P Tahun Anggaran 2012, tidak mempunyai dasar dan pertimbangan yang matang serta tidak dapat dipertanggungjawabkan peruntukannya, adalah tidak benar,” tandas Herry.

Mafia Minyak

Pada kesempatan yang sama, para Pemohon menghadirkan Rizal Ramli sebagai ahli. Menurutnya, akurasi dan kredibilitas APBN-P 2012 sangat rendah. Rakyat ditakut-takuti dengan melambungnya harga minyak mentah di atas US$105 hingga  US$120 per barel yang menyebabkan APBN mengalamai defisit signifikan. Bahkan negara dikesankan akan bangkrut. “Tapi coba kita lihat faktanya hari ini, boro-boro naik harga BBM liquid oil ke US$100, di atas US$105, US$120, anjlok terus tuh di bawah US$90. Kenapa bisa anjlok? Karena ternyata, dan saya mohon maaf, pemerintah kurang awas,” kata Rizal.

Rizal juga menyoroti munculnya kembali mafia di bidang ekspor minyak yang pernah terjadi di zaman Orba. Era Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid berhasil menghapus sistem yang memberi peluang terjadinya mafia ekspor minyak. Tapi belakangan ini mulai masuk mafia di dalam bidang impor. Setiap kali impor minyak, misalnya pada harga $70, mafia minyak menerima $3 sampai $4. “Memang seolah-olah ada tender di Petral, yang belinya kan Petral di Singapura, tapi bisa dibandingkan harga Petral sama harga BBM crude oil secara internasional, selalu ada selisihnya berapa dollar. Tendernya memang tender yang diatur. Pertanyaan saya, kok sistem ini bisa ada? Kenapa enggak ini dulu dihapuskan sebelum kita ngomong mau naikkan harga BBM?” papar Rizal. (Nur Rosihin Ana)

Jumat, 22 Juni 2012

Saipul Jamil Ujikan “Lalai” dalam UU Lalin

Mobil yang dikendarai artis Saipul Jamil dan keluarga mengalami kecelakaan di ruas jalan tol Cipularang pada 3 September 2012 lalu. Musibah kecelakaan lalu lintas tersebut menyebabkan isteri Saipul, Virginia Anggraeni, meninggal dunia. Sudah jatuh tertimpa tangga, pada 5 April 2012, Kejaksaan Negeri Purwakarta mendakwa Saipul dengan  Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Saipul merasa diperlakukan tidak adil karena didakwa dengan ketentuan Pasal 310 UU LLAJ khususnya pada frasa “kelalaiannya” dan “orang lain”. Melalui kuasanya hukumnya, Saipul menyatakan UU LLAJ tidak tidak memberikan penjelasan mengenai arti frasa “kelalaiannya”, sehingga menyebabkan multitafsir. “Hal demikian dapat merugikan Pemohon karena tidak tidak ada kepastian hukum mengenai definisi frasa ‘kelalaiannya’.”

Demikian dikatakan Rio Berto Pranamulya Sidauruk, kuasa hukum Saipul Jamil, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jum’at (22/6/2012) pagi. Sidang Perkara Nomor 57/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 310 UU LLAJ yang diajukan oleh Saipul Jamil, beragendakan pemeriksaan pendahuluan.

Pasal 310 ayat (1): “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”

Ayat (2): “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).”

Ayat (3): “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”

Ayat (4): “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).

Menurut Rio Berto Pranamulya Sidauruk, frasa “kelalaiannya” sepatutnya didefinisikan secara pasti. Seseorang dalam keadaan seperti apa dan bagaimana dikatakan telah melakukan kelalaian. Misalnya keadaan seseorang yang mengonsumsi zat-zat adiktif, minuman beralkohol, narkotika, baik berupa tanaman maupun bukan tanaman yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran.

“Pemohon sebelum terjadinya musibah kecelakaan lalu lintas pada tanggal 3 September 2011 tersebut, sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat adiktif, minuman beralkohol, narkotika yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran,” kata Rio mendalilkan.

Bukan “Orang Lain”

Melanjutkan dalil Rio, kuasa hukum Saipul lainnya, Ihwansyah A. Udoyo, menyatakan,  frasa “orang lain” dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ juga tidak terdapat penjelasan resmi mengenai siapa saja yang dimaksud dengan “orang lain”. Ihwan pun menukil definisi perkawinan dalam ketentuan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Suatu perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan definisi hukum tentang perkawinan tersebut, suami-istri merupakan satu kesatuan hukum yang didasarkan pada ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Sementara korban meninggal dunia dalam musibah kecelakaan lalu lintas pada tanggal 3 September 2011 adalah Virginia Anggraeni, yang merupakan istri Saipul Jamil. Sehingga menurut Ihwan, sangat tidak tepat apabila Kejaksaan Negeri Purwakarta mendakwa Saipul Jamil dengan menggunakan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ yang di dalamnya terdapat frasa “orang lain”.

Berdasarkan dalil tersebut, di hadapan Panel Hakim Konstitusi Anwar Usman (Ketua Panel), Acmad Sodiki dan Harjono, Saipul Jamil melalui kuasa hukumnya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 310 UU LLAJ sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 20 Juni 2012

Mahkamah Batalkan Cekal Tanpa Batas

Permohonan judical review UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) yang dimohonkan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, memasuki tahap akhir yang paling menentukan, yaitu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Yusril. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat mengucapkan putusan Nomor 64/PUU-IX/2011 dalam persidangan yang digelar di MK, Rabu (20/6/2012) siang.

Masih dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya bunyi Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Selain itu, memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Terakhir, menyatakan menolak permohonan Yusril untuk selain dan selebihnya.

Latar belakang diajukannya permohonan ini karena Yusril dicegah ke luar negeri selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”. Alasan utama pencegahan terhadap Yusril, sebagaimana tertuang dalam konsideran keputusan Jaksa Agung tersebut adalah “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Sebab Yusril diduga terlibat dalam perkara pidana dan telah  dinyatakan sebagai tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010.

Sebelumnya, Jaksa Agung telah menerbitkan Keputusan Nomor Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang diktumnya mencegah Yusril ke luar negeri selama 1 (satu) tahun dengan alasan yang sama, yakni untuk “kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Pencegahan itu berlaku sejak 25 Juni 2010 sampai 25 Juni 2011.

Dicekal UU Tak Berlaku

Jelang jangka waktu pencegahan berakhir, Jaksa Agung kembali melakukan pencegahan kepada Yusril melalui Keputusan Nomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 untuk jangka waktu (1) tahun hingga 25 Juni 2012. Alasan yang digunakan pun sama, yakni “untuk operasi yustisi di bidang penyidikan”. Padahal, salah satu dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencegahan itu ialah UU Nomor 9 Tahun 1992 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 142 UU 6 Tahun 2011 sejak tanggal 5 Mei 2011.

Yusril melakukan perlawanan terhadap Keputusan Jaksa Agung tersebut dengan melakukan gugatan ke PTUN Jakarta. Wakil Jaksa Agung Darmono, pada awalnya berkeras mengatakan bahwa keputusan yang menggunakan UU yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu, sebagai “keputusan yang sah dan sudah benar”. Hal ini memicu polemik antara Yusril dengan jajaran Kejagung, Menteri Hukum dan HAM dan beberapa pejabat Ditjen Imigrasi. Namun, ketika gugatan telah didaftarkan di PTUN Jakarta, Jaksa Agung tiba-tiba mencabut Keputusan Nomor 195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan menerbitkan Keputusan Pencegahan yang baru, yakni Keputusan Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2001. Diktum Keputusan ini intinya mencegah Yusril ke luar negeri selama 6 (enam) bulan, sesuai jangka waktu maksimum yang diberikan oleh Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian yang dijadikan sebagai salah satu dasar hukum dalam konsideran keputusan tersebut. Sedangkan alasan pencegahan tetap sama, yakni “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan.

Sampai Kiamat

Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menyatakan, ”Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Yusril, frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu bahkan ilâ yaumil qiyâmah (sampai datangnya hari kiamat). Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat, pencegahan ke luar negeri diatur dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Pasal 91 mengatur bahwa yang berwenang melakukan pencegahan adalah Menteri Hukum dan HAM. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan, atau diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. “Dengan demikian, salah satu tujuan pencegahan adalah untuk kepentingan penyidikan, yaitu untuk mencegah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana menghindar dari proses hukum dengan melarikan diri keluar dari wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan pendapat Mahkamah.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” di satu sisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka karena tidak dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai kapan pula pencegahan ke luar negeri berakhir. Pada sisi lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan pencegahan kepada tersangka tanpa batas waktu. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh A.M. Fatwa. Saat bersaksi di persidangan MK, A.M. Fatwa berkisah dicegah tanpa batas waktu dan tanpa surat pencegahan pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat menyakitkan.

Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Apalagi dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana diatur dalam KUHAP. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 19 Juni 2012

Hasyim Muzadi: Negara Harus Jadi Pengendali Migas

Kendali minyak dan gas bumi (Migas) haruslah ada pada negara dan bangsa Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kenyataannya sekarang, Indonesia selalu diguncang oleh kenaikan harga minyak dunia. Padahal kita punya minyak sendiri. Hal ini disebabkan karena kita menjual minyak mentah terlalu murah. Kemudian kita membelinya dengan harga mahal. Itu pun harus melalui perantara-perantara.

Pernyataan disampaikan oleh K.H. Hasyim Muzadi selaku Pemohon judicial review UU Migas, dalam persidangan pleno di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/6/2012) siang. Sidang kali kelima perkara 36/PUU-X/2012 dilaksanakan oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, dan Anwar Usman.   

Oleh karenanya, lanjut Hasyim, penyelesaian yang ditempuh harus dimulai dari akarnya, yaitu bagaimana Indonesia bisa mengelola minyaknya sendiri. Sedangkan pihak asing dan internasional haruslah sepenuhnya dalam kendali Indonesia. Sehingga secara berangsur kita akan mengontrol harga minyak dalam negeri sembari memperluas zona-zona pengeboran dan sumber-sumber minyak. Dengan demikian maka pelan-pelan bangsa ini akan terhindar dari malapetaka sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia.

Namun, upaya ke arah itu rupanya mengalami hambatan, terutama pada aspek legalitas konstitusional. Hasyim menuding UU Migas justru yang menjerat kaki dan tangan kita sebagai bangsa untuk mengelola hak kita sendiri yang sebenarnya telah diamanatkan oleh UUD 1945. Hasyim berharap Mahkamah bisa menerima permohonan para Pemohon sehingga tiada lagi kendala konstitusional yang berdaya menghambat hak negara atas pengelolaan migas.

Apabila hal-hal yang menjadi hambatan baik pada tingkat yuridis formal konstitusional seperti yang kita bicarakan di sini, kemudian tidak ada kesadaran dari anggota parlemen kita, sementara dari eksekutif juga tidak ada political will untuk menuju ke sana, maka saya khawatir bangsa kita semakin hari akan semakin berat bebannya. Dan seluruh energi dan sumber alam kita menjadi penguasaan orang lain, sementara kita bertengkar di negeri sendiri,” pungkas mantan Ketua Umum PBNU ini.

Anjuran Menggelikan

Persidangan kali kelima ini juga mendengar keterangan ahli. Irman Putra Sidin dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh para  Pemohon, memulai keterangannya dengan kisah faktual yang dijumpainya sewaktu dalam perjalanan menuju MK. Irman sempat memperhatikan mobil dinas plat merah sedang mengantri BBM nonsubsidi di sebuah SPBU.Pemandangan ini cukup menggelikan karena tepat di jendela belakang mobil ini dengan tegar dan gagahnya tertulis bahwa mobil ini mengkomsumsi BBM nonsubsidi. Menggelikan lagi karena di satu sisi ada anjuran untuk penghematan anggaran sekaligus hemat energi, namun kendaraan dinas diharuskan membeli BBM nonsubsidi yang pasti harganya jauh lebih mahal daripada bahan bakar bersubsidi,” kata Irman berkisah

Irman melanjutkan, Pemerintah tidak bisa melarang rakyat golongan mana pun untuk membeli produk yang murah dan berkualitas baik. Seluruh kelas sosial dijamin haknya oleh konstitusi untuk menikmati bahan bakar dengan mutu yang bagus dan harga yang terjangkau. “Oleh karenanya, kegugupan akan kebijakan ini ketika mewajibkan seluruh mobil dinas, meski tua dan penyok sekalipun untuk menenggak BBM mahal, bisa disebabkan karena warisan  pengelolaan energi kita yang menjauh dari konstitusi, atau karena konstitusi kita yang memang harus terus semakin dipertegas dan diperjelas akan pengelolaan di sektor energi ini,” papar Irman.

Irman juga mengutip putusan MK nomor 001, 021, 022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan putusan Nomor 002/PUU-I/2003 Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menurutnya telah meletakkan kerangka konstitusional yang konkrit akan sistem ekonomi konstitusional. Dalam putusan tersebut, konsep frasa “dikuasai negara”, haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber dan berasal dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sember kekayaan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektifitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945, memberikan mandat kepada negara untuk megadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, pengawasan, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR dan bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh eksekutif. “Fungsi pengelolaan dilakukan oleh mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrumen kelembagaan melalui makna negara c.q. pemerintah mendayagunakan penguasaanya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Irman.

Sebagaimana diketahui, pada Kamis (29/3/2012) lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan uji materi UU Migas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK).

Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah. (Nur Rosihin Ana)

Berita terkait

PP Muhammadiyah Perbaiki Permohonan Uji UU Migas

Jumat, 15 Juni 2012

Protes Alokasi APBN untuk “Lumpur Lapindo”


Catatan Perkara MK


Pangkal tragedi kasus “Lumpur Lapindo” di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semata-mata merupakan kesalahan dan kelalaian pihak Lapindo Brantas Inc. dalam melakukan kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi (Migas). Seharusnya hal tersebut dapat dihindari bila pihak Lapindo Brantas Inc. dalam melakukan kegiatan pengeboran sesuai dengan standart operation procedure yang baku di bidang pengeboran Migas. Kesalahan atau pelanggaran dalam melakukan teknik pengeboran tersebut adalah murni merupakan tangung jawab sepenuhnya dari pihak pelaksana proses pengeboran, yaitu pihak Lapindo Brantas Inc. dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain, apalagi kepada Negara.

Demikian alasan (dalil) yang diusung oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar, saat mengujikan Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Panitera MK meregistrasi permohonan ini dengan nomor 53/PUU-X/2012.

Menurut para Pemohon, Pasal 18 UU APBN-P 2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolahan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pasal 18 UU APBN-P 2012 menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk:
a. pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan);
b. bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi);
c. bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.”

Kesalahan operation procedure yang dimaksudkan oleh para Pemohon yaitu, pengeboran sumur Banjar Panji 1 di blok Brantas yang dioperatori oleh Lapindo Brantas Inc. seharusnya dikerjakan dalam 37 hari. Namun ternyata pada hari ke 85 masih dikerjakan. Berdasarkan data dari daily drilling report (DDR), keterlambatan (48 hari) terutama disebabkan kerusakan dan perbaikan alat pemboran yang diduga tidak memenuhi standar kualitas dan spare part yang memadai.

Tanggal laporan harian
Uraian ketidakmampuan personal
14 Maret 2006      
Unadequate knowledge of crew personnel and condition of avail ability equipment caused slow progress to run casing
17 Maret 2006
TMMJ drilling crew unadequte knowledge on drilling operation, therefore took time to perform all things related to drilling service
18 Mei 2006
Unadequate knowledge of personnel to operate handling tool.

Pada 28 Mei 2006 terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur sirkulasi secara menyeluruh) dengan indikasi sirkulasi lumpur yang kembali hanya 50%. Setelah itu terjadi peningkatan volume lumpur yang menandakan adanya well kick (aliran balik di lubang sumur akibat tekanan formasi yang lebih besar dari tekanan lumpur) dan adanya gas H2S sehingga harus dilakukan evakuasi personel (Causation Factor for banjar panji No.1 Blowout Neal Adam services).

Penutupan sumur Banjar Panji-1 pada 2 Juni 2006 karena adanya insiden blow-out internal yang berada di bawah manajemen operasional penyelenggara Blok, LapindoBrantas Inc langsung, dan segera mengambil keputusan untuk mencabut drill-string daridasar  sumur pada tengah malam 28 Mei 2006 sementara baik itu dalam kondisi tidak stabil mengalami hilangnya lumpur sirkulasi  pada pukul 13.00 WIB tanggal 27 Mei 2006sementara pengeboran 12-1/4 " lubang pada kedalaman 9.297 rtkb ft. Tindakan ini tidak kompeten dan bertentangan dengan praktek kontrol yang baik juga. Melanjutkan menarikpipa dari lubang sumur tersebut adalah dianggap ceroboh dan lalai. (TriTech Petroleum Consultan Limited, Well Blow-Out assessment)

Para Pemohon yang memosisikan diri sebagai pembayar pajak, menyatakan keberatan dengan ketentuan Pasal 18 UU APBN-P 2012. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional pemohon. Sebagai pembayar pajak, para Pemohon menuntut pengakuan, jaminan dan kepastian hukum mengenai pajak-pajak yang dibayarkan. Pajak yang dibayarkan oleh Para Pemohon seharusnya dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menanggulangi tragedi bencana yang diakibatkan oleh kecerobohan suatu korporasi swasta. Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah membatalkan ketentuan Pasal  18 UU APBN-P 2012 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana

“Parliamentary Threshold” dalam UU Pemilu Hilangkan “Political Representative”

Persyaratan bagi partai politik (parpol) untuk bisa menjadi peserta pemilu berikutnya (Pemilu 2014), harus memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT). Ketentuan ini mengundang keberatan sejumlah parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi parliamentary threshold (PT) 3.5% yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia  PNBKI) dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) mengajukan permohonan yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 54/PUU-X/2012. Para Pemohon tersebut melakukan uji formil UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu). Keberatan juga dilayangkan oleh parpol baru, yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem), dengan registrasi nomor 55/PUU-X/2012. Nasdem mengujikan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jum’at (15/6/2012) pagi, menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan untuk kedua permohonan tersebut. Sidang dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (Ketua Panel), M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim. Sebelumnya, pada Kamis kemarin, Mahkamah telah menyidangkan ketentuan PT dalam UU Pemilu yang diajukan oleh 22 parpol dan perorangan warga negara. 

“Political Representative”

Di hadapan Pleno Hakim Konstitusi, Kader PDP Max Lau Siso menyatakan ketentuan dalam UU Pemilu menghilangkan kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik rakyat. Kenaikan PT dan pemberlakuannya secara flat nasional, secara nyata menghilangkan suara rakyat sebagai pemilih dalam pemilu, dan melahirkan para anggota DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota yang tidak dipilih berdasarkan pilihan rakyat. “Dengan demikian, keterwakilan politik rakyat political representative yang sesungguhnya menjadi tujuan pemilu menjadi tidak ada, sebab ada keterputusan antara pilihan rakyat dengan yang mewakili rakyat di DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota,” kata Max.

Partai politik yang tidak memenuhi PT, jelas Max Lau Siso, tidak hanya kehilangan kursi di DPR, melainkan juga di tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Akibatnya, banyak entitas komunitas lokal yang tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam DPR/DPRD provinsi DPRD kabupaten/kota.

Melanjutkan pernyataan Max, kader PPDI, Lasmidara menyatakan, pembentukan UU menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty). Sebab, Pemohon sebelumnya sudah mendapat jaminan untuk menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Tahun 2008 yang tidak membedakan antara parpol peserta Pemilu 2009, baik parpol yang memenuhi PT maupun yang tidak memenuhi PT. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” kata Lasmidara.

Berdasarkan hal tersebut, para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah  
menyatakan UU Nomor 8 Tahun 2012 secara keseluruhan baik formil maupun materiil tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 berlaku kembali sebagai UU Pemilu 2014.

Verifikasi yang Diskriminatif

Partai NasDem sebagai Pemohon nomor 55/PUU-X/2012) mengujikan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu. Pasal 8 ayat (1) menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu Terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya.”

Kemudian  Pasal 8 ayat (2) menyatakan, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. Berstatusbadan hukum sesuai dengan UU tentang Partai Plotik; b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. Mengajukan nama, lambing dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. Menyerahkan nomor rekening dana kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

Partai Nasdem melalui kuasa hukumnya, Sondang Tampubolon menyatakan Partai NasDem sangat sepakat dengan adanya proses verifikasi oleh KPU. Hingga saat ini Partai NasDem telah melakukan verifikasi hingga tingkat kecamatan. Partai NasDem memersoalkan adanya diskrminasi dalam proses verifikasi. “Permasalahan terjadi, Yang Mulia, karena ada di saat ada perlakukan masalah diskriminasi terhadap verifikasi, di mana partai yang tidak lolos ambang batas pada pemilu sebelumnya dan partai baru diwajibkan ada proses verifikasi,” kata Sondang.

Sondang menambahkan, syarat verifikasi partai yang telah lolos PT pada Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) berbeda dengan syarat verifikasi yang ada dalam UU Pemilu 2012. “Salah satu contoh yang sangat mencolok, Yang Mulia, di Pasal 8 ayat (2) di poin D, di sini disebutkan, memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten yang bersangkutan. Sementara di Undang-Undang sebelumnya tidak ada persyaratan verifikasi sampai tingkat kecamatan,” kata Sondang menyontohkan.

Dalam petitum, Partai NasDem meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan dengan Pasal 22E (1), Pasal 28D (1), dan Pasal 28 I (2) UUD 1945. Kemudian menyatakan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 14 Juni 2012

Ketentuan “Parliamantary Threshold” dalam UU Pemilu Rugikan Partai Gurem


Catatan Perkara MK



Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) memuat ketentuan mengenai kepesertaan pemilu yang sangat tidak adil dan diskriminatif. Selain itu memuat ketentuan mengenai angka ambang batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) dan pemberlakuannya secara flat nasional (untuk penentuan kursi DPR RI) hingga ke tingkat daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota). Adanya ketentuan tersebut akan menggerus bahkan menghilangkan kemajemukan atau ke-bhineka tunggal ika-an dan persatuan maupun prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) dari pembentukan UU Pemilu itu sendiri.

Demikian antara lain dalil permohonan perkara yang diregistrasi dengan nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Uji materi UU Pemilu ini diajukan oleh oleh 22 partai politik (parpol): Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Persatuan Nasional (PPN), Partai Patriot, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Pelopor, Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), Partai Buruh, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Kedaulatan, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Republika Nusantara (PRN). Para Pemohon memberikan kuasa kepada Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH dkk.

Pasal 8 menyatakan, “(1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. (2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:”

Pasal 208 menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.

Para Pemohon merasakan hak-hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal 208 UU Pemilu, yaitu Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”, dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”, serta Pasal 208 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.  

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu berisi ketentuan mengenai parpol peserta Pemilu 2009 yang memenuhi PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014, tanpa harus melalui persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT, tidak secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014. Jika ingin menjadi peserta Pemilu 2014, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT, harus melalui persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Hal ini sama halnya dengan parpol yang baru dibentuk setelah tahun 2009.

Sedangkan ketentuan Pasal 208 UU Pemilu mengatur ketentuan mengenai Parliamentary Threshold (PT), kenaikan angka PT menjadi 3.5% dari sebelumnya 2.5% sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dan mengatur tentang pemberlakuan PT secara flat dari nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota).

Para Pemohon adalah parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT sehingga untuk menjadi peserta Pemilu 2014 harus melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat ketat oleh KPU. Para Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat tidak adil dan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945.

Laiknya Parpol Baru

UU Pemilu 2012 menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty). Sebab, Pemohon sebelumnya sudah mendapat jaminan untuk menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Tahun 2008 yang tidak membedakan antara parpol peserta Pemilu 2009, baik parpol yang memenuhi PT maupun yang tidak memenuhi PT.

Namun karena adanya perubahan dan penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu 2012, mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai peserta Pemilu 2014. Ketentuan ini menempatkan para Pemohon sebagai peserta pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang tidak memenuhi PT, disamakan kedudukannya dengan parpol baru yang harus melalui persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU.

Mengenai ketentuan Pasal 208 UU Pemilu, menurut para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan Pembukaan alinea ke-4, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 208 UU Pemilu menghilangkan kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi telah memberikan pendapat dan penafsiran dalam putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal 13 Februari 2009 bahwa penentuan PT menjadi domain pembentuk UU dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Suara Hilang

Kenaikan PT dan pemberlakuannya secara flat nasional jelas akan menghilangkan prinsip kedaulatan rakyat, karena akan menghilangkan suara rakyat sebagai pemilih dalam pemilu dan melahirkan para anggota DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota yang tidak dipilih berdasarkan pilihan rakyat. Dengan demikian, keterwakilan politik rakyat (political representativeness) yang sesungguhnya menjadi tujuan pemilu, menjadi tidak ada. Sebab ada keterputusan antara pilihan rakyat dengan yang mewakilinya (DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota).

Pengalaman Pemilu 2009 dengan PT 2.5% sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, terdapat 19.047.481 atau 18.31% suara rakyat yang hilang atau tidak memperoleh keterwakilan politik dari jumlah total suara sah 104.048.118. Sedangkan jumlah suara tidak sah 17.540.248 atau 14.43% dari jumlah total pemilih 121.588.366 suara. Dengan demikian, total suara yang hilang adalah 19.047.481 + 17.540.248 = 36.587.720 atau sekitar 30.09% dari jumlah total pemilih 121.588.366 suara.

Para Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan. Kemudian, menyatakan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”, dan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”, serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa “DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More