Selasa, 24 April 2012

Ahli Pemerintah: Pengantar Bahasa Inggris Tidak Berpotensi Hilangkan Jati Diri Bangsa

Penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar dalam rangka rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) secara filosofis ilmu pendidikan, tidak akan berpotensi menghilangkan jati diri bangsa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tetap menjadi bahasa pengantar pendidikan. Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya hanya digunakan sebagai komunikasi keilmuan yang bersifat universal dalam komunikasi sosial dan dalam kontek pergaulan antar bangsa. Bung Karno pernah berpesan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasional.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Udin S. Winataputra saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/4/2012) siang. Sidang kali keenam untuk perkara 5/PUU-X/2012 uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW, merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Menurut mereka, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,” bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.

Ahli Pemerintah selanjutnya, Prof. Johannes dalam paparannya menyatakan, Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas adalah berlaku sama, baik bagi satuan pendidikan bertaraf nasional maupun internasional. Begitu pula peningkatan standar nasional secara berencana dan berkala adalah sama bagi sekolah nasional dan sekolah internasional. Kecerdasan bangsa dan peningkatannya pada peserta didik satuan pendidikan bertaraf nasional dan internasional adalah sama karena semuanya harus memenuhi SNP. “Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa yang bertaraf nasional, maka tingkat kecerdasannya itu kemudian lebih rendah daripada yang bertaraf internasional. Karena standarnya minimalnya semuanya sama,” tegas Johannes.

Dampak Negatif

Abdul Chaer dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon, menyatakan penggunaan bahasa Inggris pada RSBI berdampak kurang baik bagi pembinaan bahasa. Sedangkan mengenai bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, menurutnya, bahasa Inggris harus dikuasai oleh anak didik dengan lebih baik. Alasannya bukan karena gengsi, tapi karena kebutuhan keilmuan yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. “Yang harus dikejar bukanlah bahasa asingnya, tetapi ilmunya. Mengapa begitu? Jepang, Korea, Cina adalah negara-negara yang sekarang sudah menjadi raksasa. Mereka maju bukan karena bahasa asing, tapi karena mereka menguasai ilmunya,” terangnya.

Menurut Abdul Chaer, penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar di RSBI, melanggar UUD 1945. “Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI juga memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina Bahasa Indonesia,” tandasnya.

Ahli Pemohon lainnya, Darmaningtyas, dalam paparannya di persidangan menyatakan, tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. “Ini sungguh mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali tidak perlu membentuk RSBI atau SBI,” terang Darmaningtyas.

Menurutnya, legal policy yang mengatur pemberian hak bagi SBI untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab guru RSBI atau SBI dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali lipat dari guru warga negara Indonesia. “Dengan demikian, jelas bahwa RSBI dan/atau SBI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.,” tandas Darmaningtyas. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 17 April 2012

Mengembalikan Kedaulatan Negara Atas Migas


Catatan Perkara MK

Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kamis (29/3/2012) siang. Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK). Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.

Para Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Kemudian Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945.

Para Pemohon mendalilkan, pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.

Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Migas menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 6 UU Migas.

Pasal 1 angka 19 UU Migas mengatur bahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” menunjukan adanya penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir tersebut. Keadaan yang demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara.

BP Migas Bukan Operator

Lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas)  adalah atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 44 UU Migas.

BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33  ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional.

Kedudukan BP Migas yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah BHMN, jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak sedikit.

Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan  ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggaraka­n melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari UU tersebut belum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Oleh sebab itu para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal tersebut.

Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat.

Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2), Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Sebab memosisikan DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya KKS dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Kedaulatan Migas

Kesimpulannya, UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia.

Para Pemohon menuntut kepada Mahkamah agar mengabulkan seluruh permohonan, yaitu menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” UU Migas bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terakhir, menyatakan UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Nur Rosihin Ana

Kamis, 12 April 2012

UU Intelijen Harus Berikan Kepastian Tidak Disalahgunakan

UU Intelijen Negara harus memberikan kepastian bahwa organisasi dan kegiatan intelijen tidak dapat disalahgunakan justru untuk mengancam keselamatan warga negara. Sebab, tujuan dari adanya organisasi intelijen negara tidak semata-mata untuk keamanan negara, tetapi juga adalah untuk keamanan warga negara itu sendiri. “Oleh karena itu, sesungguhnya yang harus diatur dalam UU Intelijen Negara adalah membatasi dari sisi organisasinya, karena ini sangat penting mengingat sifat dan karakter intelijen yang bersifat tertutup, rahasia dan mengutamakan kecepatan sehingga perlu adanya aturan dan batasan yang jelas,” kata Dr. Muhammad Ali Syafa’at, SH, MH saat didaulat sebagai ahli Pemohon dalam sidang nomor 7/PUU-X/2012 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen Negara) yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Kamis (12/4/2012) siang. Persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Moh. Mahfud MD (ketua panel) didampingi tujuh anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman.
Pada persidangan kali kelima ini, selain Syafa’at, Pemohon juga menghadirkan Jaleswari Pramodhawardani, M.Hum. Sedangkan pihak Pemerintah menghadirkan Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS dan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum.
Lebih lanjut Syafa’at menyatakan, secara umum fungsi intelijen adalah pengumpulan informasi, analisis informasi, operasi rahasia dan kontra-intelijen. Semuanya terkait dengan informasi, yaitu bagaimana memberikan informasi sebagai bahan pengambilan keputusan. Dalam hal tertentu intelijen bisa melakukan operasi rahasia dan tindakan kontra-intelijen. Hal ini pun sifatnya terbatas, karena operasi rahasia hanya bisa dilakukan di luar negeri. Kemudian, kontra-intelijen hanya bisa dilakukan terhadap aktivitas intelijen asing yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. “Sehingga tidak bisa dilakukan terhadap warga negara,” terangnya.  
Dalam UU Intelijen Negara, ada tiga fungsi intelijen, yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Dari ketiga fungsi ini, hanya satu yang terkait dengan informasi, yaitu fungsi penyelidikan. Sedangkan pengamanan dan penggalangan, tidak ada kriteria yang jelas mengenai kedua hal ini, sehingga di dalamnya bisa termasuk operasi rahasia dan tindakan kontra-intelijen. Fungsi pengamanan dan penggalangan pada ketentuan Pasal 6 UU Intelijen Negara, tidak memberikan batasan apakah hanya boleh dilakukan di luar negeri, atau hanya boleh dilakukan terhadap warga negara. “Kalau kita melihat pada definisi ancaman pada Pasal 1 angka 4 UU Intelijen Negara, maka itu boleh dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik terhadap warga negara maupun terhadap intelijen asing yang melakukan aktivitas intelijen di dalam negeri,” papar Syafa’at.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan Pemerintah, Edward OS Hiariej, dalam keterangannya menyatakan, substansi UU Intelijen Negara dalam konteks hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan negara. Dalam hukum pidana, asas legalitas adalah salah satu asas yang sangat fundamental. Asas legalitas mempunyai dua fungsi yaitu fungsi melindungi, melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang negara terhadap warga negaranya. Di sisi lain asas legalitas mempunyai fungsi pencegahan, dalam arti bahwa dalam batas-batas yang ditentukan oleh UU, negara mempunyai otoritas dan kewenangan untuk melakukan suatu tindakan. Sebagai ilustrasi yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk melindungi kepentingan negara, laporan intelijen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup, tetapi juga untuk menghindari kesewenang-wenangan. “Jadi, ada keseimbangan peletakan antara kepentingan individu dan kepentingan negara,” terang Eddy Hiariej.  
Lebih lanjut pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menegaskan bahwa ketentuan Pasal 26, Pasal 44 dan Pasal 45 UU Intelijen Negara dirumuskan secara jelas dan tidak bersifat multitafsir. Ketentuan Pasal 26 UU UU Intelijen Negara mengatur tentang adresat (subjek hukum) yang dilarang untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara Pasal 44 dan Pasal 45 mengatur tentang kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana, dengan perbedaan bentuk kesalahan. Ketentuan Pasal 26, juncto Pasal 44 dan Pasal 45 tidaklah dipisahkan dari ketentuan Pasal 25 yang mengkategorikan rahasia intelijen sebagai rahasia negara. Dengan demikian, ketentuan Pasal 44 dan Pasal 45 justru lebih memperjelas ketentuan larangan yang memuat mengenai adresat yang bisa dipidana dalam Pasal 26, yang substansi dari Pasal 26 itu terdapat dalam Pasal 25. “Tegasnya, ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 juncto Pasal 44 dan Pasal 45 UU a quo harus dibaca dalam satu nafas sehingga memenuhi prinsip lex certa dan tidak bersifat multitafsir sehingga prinsip lex scripta terpenuhi dalam perumusan norma tersebut,” tandas Eddy.
Untuk diketahui, Uji konstitusionalitas materi UU Intelijen Negara ini diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Masyarakat Setara; Aliansi Jurnaslis Independen; Mugiyanto., dkk. Materi UU Intelijen Negara yang diujikan yaitu Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), ayat (4), Pasal 26, Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29 huruf d, Pasal 31, Penjelasan Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Penjelasan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36, Pasal 44 dan Pasal 45. Menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Frasa tersebut melahirkan sejumlah definisi mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga mudah dan potensial disalahgunakan oleh intelijen negara maupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara. (Nur Rosihin Ana).

Selasa, 03 April 2012

HM Laica Marzuki: Pembuat UU Minerba Bagai Menyila Dua Jenis Tanaman Dari Populasi Berbeda

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik berdasarkan sistem desentralisasi yang diselenggarakan dengan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yg oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Konsep negara kesatuan meliputi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, namun secara dikhotomis membagi kewenangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menggolongkan urusan pemerintahan berkenaan dengan pertambangan, mineral dan batubara sebagai urusan pemerintahan pusat.

Pasal 1 angka 29, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sepanjang frasa “tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam hal penentuan wilayah pertambangan (WP), pada nyatanya melintasi dua kewenangan pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan desentralisasi.

“Pembuat UU Minerba bagai menyila dua jenis tanaman dari dua populasi yang berbeda,” kata HM Laica Marzuki saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan uji materi UU Minerba yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4/2012), di ruang pleno gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor. Materi UU Minerba yang diujikan Ishan Noor yaitu Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, Pasal 6 ayat (1) huruf e, ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19.

Selain menghadirkan Prof. HM Laica Marzuki, Ishan Noor juga menghadirkan Ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan, Dr. Indra Prawira, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Muchsan dalam keterangannya menyatakan, frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, berarti bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak hanya wewenang pemerintah pusat saja, tetapi pemerintah daerah juga berhak mengelolanya. Oleh karena itu, penetapan yang menyatakan bahwa wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan wilayah administrasi pemerintahan, itu tidak sesuai dengan sistem pembagian wilayah NKRI sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU Minerba, lanjutnya, pengelolaan minerba tetap di tangan pemerintah pusat. “Hal ini tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,” lanjutnya.

Indra Prawira dalam keterangannya menyatakan, istilah hukum dalam UUD 1945 tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai dengan zaman. Perubahan makna, istilah konstitusi dapat terjadi karena penafsiran legislator pembentuk UU, lembaga peradilan seperti MK, atau karena praktik ketatanegaraan. Indra menyontohkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi dasar UU Minerba yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Istilah “bumi” dalam pemakaian bahasa sehari-hari, menunjuk pada nama sebuah planet yang berbentuk bulat seperti bola. “Pertanyaannya, apakah founding fathers kita menggunakan istilah bumi dengan makna seperti sekarang ini?” tanya Indra.

Menurutnya para founding fathers tidak memaknai “bumi” seperti di atas. Sebab tidak mungkin para founding fathers bermaksud menguasai seluruh bumi. “Meskipun menunjuk pada “bumi” secara keseluruhan, tapi yang dimaksud tentulah menunjuk pada sebagain wilayah di muka bumi ini yang dihuni oleh bangsa Indonesia,” terangnya.

Pengertian “bumi”, lanjutnya, sekarang sudah berubah. Indra menyayangkan saat perubahan UUD 1945 RI, istilah “bumi” tidak dikoreksi dan disesuaikan dengan makna bumi yang dipahami saat ini. Menurutnya, makna “bumi” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu “tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya”. “Jadi, definisi ‘bumi dan air’ dalam UUD 1945 mengandung makna, baik sebagai wadah maupun sumber daya alam,” paparnya.

Menurut Indra, dari perspektif hukum tata ruang dan sumber daya alam, Frasa “dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam UU Minerba bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, menurutnya, bukan hanya frasa tersbut yang bertentangan dengan UUD 1945. “Tetapi seluruh pengertian Pasal 1 angka 29 bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.    
          
Sementara itu, Ryaas Rasyid dalam keterangannya menyatakan, kata “seluas-luasnya” dalam ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dapat dimaknai sebagai jaminan bahwa wewenang pemerintahan yang melekat pada daerah otonom tidak syogianya dilucuti dengan dalih apapun melalui penarikan kembali kewenangan dari daerah otonom ke pemerintahan pusat. “Kalau ada argumen yang merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang otoritas negara dalam menguasai ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan resentralisasi atas sektor tambang, mineral dan batubara, karena pemerintah pusat dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat bertindak atas nama negara, maka jelaslah bahwa argumen itu salah kaprah,” tandas Ryaas. (Nur Rosihin Ana).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More