Selasa, 23 Agustus 2011

Menungggu Putusan Uji Materi UU Kesehatan

Kuasa Hukum Pemohon Uji Materi UU tentang Kesehatan Saat menjelaskan perbaikan permohonan di hadapan majelis hakim, Selasa (23/8) di ruang sidang Pleno MK.
Jakarta, MKOnline – Peringatan bahaya rokok dalam UU Kesehatan kembali kembali digelar dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/8/2011) pagi. Sidang perkara 43/PUU-IX/2011 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri dari Muhammad Alim selaku ketua, didampingi harjono dan Maria farida Indrati selaku anggota.
Menanggapi perbaikan permohonan, Ketua Pleno Muhammad Alim membertahukan, bahwa permohonan yang diajukan, ada kesamaan dengan permohonan Nomor 34 /PUU-IIX/2010. “Permohonan Nomor 43/PUU-IX/2011 yang Anda mohonkan ini adalah persis sama dengan Permohonan Nomor 34/PUU-IIX/2010,” Kata Alim.

Riwayat perkara nomor 34/PUU-IIX/2010 yang juga mengenai uji materi UU Kesehatan, saat ini sudah selesai pemeriksaannya dan tinggal menunggu pengucapan putusan. Menurut Alim, sebaiknya pemeriksaan perkara 43/PUU-IX/2011 menunggu pengucapan putusan perkara 34/PUU-IX/2010. Sebab, perkara 34/PUU-IX/2010 yang mempermasalahkan “tafsir zat adiktif” pada tembakau, materi yang diujikan juga sama, yaitu Pasal 114 UU Kesehatan dan penjelasannya.

Sementara itu, kuasa hukum para Pemohon, Tubagus Haryo Karbianto, mengakui kemiripan uji materi UU Kesehatan yang diujikan kliennya dengan permohonan Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, dkk (perkara Nomor 34/PUU-IX/2010). Namun dia memohon Mahkamah mempertimbangkan perbedaan sudut pandang (angle) dari dua permohonan tersebut. “Kami mohon sebagai Pemohon untuk tetap mempertimbangkan angle-nya yang agak berbeda dari Perkara Nomor 34 Tahun 2010 kemarin,” pinta Tubagus.

Seperti diketahui, pada Senin (18/7/2011) lalu, Mahkamah menggelar sidang perdana Uji materi Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diajukan oleh Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, beserta Ikatan senat mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI). Para Pemohon menganggap peringatan berupa tulisan bahaya rokok yang tertera pada bungkus rokok, tidak efektif.

Pemohon menganggap penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 199 ayat (1) UU yang sama. Pada Pasal 199 ayat (1) dinyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

Sedangkan penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”. Adanya kata ”dapat” dalam penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut menurut Pemohon menjadikan peringatan pada Pasal 199 tidak bersifat mutlak. Sehingga, produsen rokok bisa menggunakan peringatan bahaya rokok dalam bentuk tulisan saja tanpa menyertakan gambarnya. Padahal, menurut Pemohon, peringatan dalam bentuk gambar lebih efektif dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok dibanding hanya menuliskan peringatan tersebut. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 10 Agustus 2011

Syarat Perceraian Potensial Disalahgunakan

Ahli dari Pemohon Uji Materi UU Perkawinan, Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono saat persidangan yang dimohonkan oleh Halimah Agustina binti Abdullah Kamil di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/8).
Jakarta, MKOnline – Pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang diajukan Halimah Agustina binti Abdullah Kamil, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/8/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengegendakan mendengar keterangan ahli.
Di hadapan sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD, kuasa Pemerintah, H. Tulus menyatakan, perkawinan dalam bahasa agama disebut mitsâqan ghalîzhan yaitu suatu perjanjian yang kuat, menghalalkan yang haram dan menjadikan ibadah. Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan sejahtera., serta merupakan bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT.
“Untuk itu, dalam perkawinan diperlukan adanya saling pengertian, kesepahaman, kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakînah, mawaddah, dan wa rahmah,” kata Tulus membacakan keterangan tertulis Pemerintah.

Jalan Terakhir
UU Perkawinan, in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan, menurut pemerintah, telah memberikan rambu-rambu yang cukup memadai guna memberikan jalan keluar bagi para pihak suami-istri apabila tidak dapat mempertahankan kerukunan rumah tangganya. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
“Ketentuan ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh apabila kedua belah pihak tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya,” jelas Tulus.
Menurut Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi antara Pemohon (Halimah Agustina binti Abdullah Kamil) dengan suaminya (Bambang Trihatmodjo bin H.M. Soeharto) adalah terkait dengan implementasi praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini Hakim pada Pengadilan Agama dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Mahkamah agar menolak permohonan Halimah. “Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya,” pinta Tulus.

Potensi Disalahgunakan
Pada kesempatan yang sama, Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham dan Laica Marzuki, menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Bismar Siregar, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono. Bismar Siregar, dalam keterangannya mengatakan, perceraian antara Bambang Tri Soeharto dengan Halimah setelah sekian puluh tahun mereka membina kehidupan rumah tangga, memunculkan pertanyaan. Sebab permohonan Kasasi Bambang diperiksa dan diadili oleh Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hubungan antara Bambang dengan Halimah tidak sesuai dengan kerukunan. Oleh karena itu, Bambang berhak untuk menjatuhkan talak.
Sementara itu Marzuki Darusman mengatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan berpotensi untuk disalahgunakan. “Masalah yang mungkin timbul di antaranya, terutama adalah akibat dari adanya perbuatan salah satu pihak, pada umumnya laki-laki dalam hubungan dengan pihak ketiga yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya, pada umumnya pihak perempuan. Dalam praktik, keadaan inilah yang menyebabkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f lebih banyak merugikan pihak perempuan dan mengakibatkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak asasi manusia menjadi rentan,” jelas Marzuki.
Senada dengan Marzuki, ahli Pemohon Makarim Wibisono menyatakan, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f tersebut merugikan kaum perempuan dan istri karena tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya persamaan hak bagi kaum perempuan dan istri dengan hak suami. Para suami dapat dengan mudah menceraikan istrinya dengan alasan terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.
“Karena ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai siapa penyebabnya, siapa pemicunya, atau apa yang menjadi klausa primanya. Ini adalah hal yang tidak adil, siapa pun kaum perempuan atau istri yang membangun rumah tangga dengan dasar luhur, bersumber dari rasa cinta dan kasih sayang tidak akan dapat menerima jika suaminya selingkuh dan menjalani hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain (WIL),” tandas Makarim. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Kamis, 04 Agustus 2011

Ahli Pemohon: Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan Multitafsir

Anna Erliana, ahli dari Pemohon sedang memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim terkait Uji Materi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pada Kamis (4/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU Ketenagakerjaan, Kamis (4/8). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Dua ahli diajukan oleh Pemohon, yaitu Anna Erliana dan Surya Chandra. Keduanya merupakan dosen di Fakultas Hukum UI dan Atmajaya.

Anna Erliana mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya terkait permohonan Pemohon. Pertama, Anna menyampaikan bahwa mengenai penafsiran gramatikal atas frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) memiliki tiga penafsiran yang berkembang di lapangan. ”Pertama, upah proses hanya 6 bulan. Kedua, upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama. Ketiga, upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” jelas Anna mengenai penafsiran frasa “belum ditetapkan”.

Pasal 155 ayat (2) sendiri berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.

Mengenai upah proses yang ditafsirkan hanya diberikan selama 6 bulan, Anna menjelaskan dalam prakteknya berkembang lebih luas lagi. Bagi para pekerja yang di-PHK dan kemudian mencari keadilan menurut Anna dapat menggunakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 itu berbunyi, “Pembayaran upah proses atau upah yang  biasa diterima dan upah skorsing maksimal 6 bulan”.

Selanjutnya, Anna menyampaikan bahwa berdasarkan pencermatannya terhadap Pasal 155 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan secara jelas diatur mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja selama proses perselisihan PHK berlangsung.

Namun, bila penafsiran secara gramatikal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya masih tidak jelas maka dapat dilakukan penafsiran secara sistematis, yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat (2) dengan ketentuan hukum lainnya. ”Pasal 155 tentang Upah Proses selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 56 yang menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial memeriksa dan memutus pada butir (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.” papar Anna.

Ahli Pemohon lainnya, Surya Chandra mendapat kesempatan kedua untuk menyampaikan keterangannya terkait permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Surya mengatakan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja buruh harus melaksanakan segala kewajibannya. Artinya, pekerja harus tetap bekerja dan pengusaha harus tetap membayar upah atau hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja.
Lebih lanjut Surya mengatakan frasa ”belum ditetapkan” itu mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri (PPHI). Namun, dalam prakteknya frasa itu bisa ditafsirkan bermacam-macam. Karena itu Surya setuju agar frasa ”belum ditetapkan” dipertegas lagi sehingga tidak menimbulkan kerancuan seperti yang selama ini terjadi.

”Dengan memperjelas tafsiran itu saya kira akan membantu hakim-hakim di pengadilan hubungan industrial khususnya, sehingga punya pilihan yang tegas. Juga, saya mendukung juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Anna bahwa pasal ini penting untuk diberi kepastian hukum, khususnya bagi pihak pekerja. Yang memang secara sosilogis lemah walaupun secara hukum sama kedudukannya,” tutup Surya. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More