Rabu, 27 Juli 2011

Halimah Agustina Kamil Ajukan Bukti Uji Materi UU Perkawinan

Chairunnisa Jafizham Kuasa Hukum dari Halimah Agustina Kamil, mantan istri Bambang Trihatmodjo, saat membacakan permohonan pada sidang uji materi Undang-Undang (UU) nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Rabu (27/7) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Permohonan Halimah Agustina Kamil, mantan istri Bambang Trihatmodjo, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (27/7/2011). Persidangan untuk perkara Nomor 38/PUU-IX/2011 mengenai pengujian konstitusionalitas materi UU 1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ini dilaksanakan oleh sebuah Panel Hakim yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi, didampingi Achmad Sodiki dan Harjono.


Halimah yang diwakili kuasa hukumnya, Chairunnisa Jafizham menyatakan, setelah melakukan telaah lebih dalam mengenai proses persidangan pendahuluan uji UU Perkawinan, kliennya memutuskan tidak mengajukan perbaikan permohonan. “Majelis Hakim Yang Mulia, setelah kami melakukan telaah pada sidang pertama, kami beranggapan bahwa perbaikan, kami tidak lakukan,” kata Chairunnisa dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.


Selanjutnya, Halimah melalui Chairunnisa memperkuat dalil-dalil permohonan dengan mengajukan bukti P-1 sampai P-8. Bukti tersebut berisi: Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Kasasi Mahkamah Agung, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, Surat nikah, KTP dan Kartu Keluarga, UU 1/1974 tentang Perkawinan, dan terakhir surat pindah rumah. “Dengan demikian untuk bukti-bukti itu dianggap telah disahkan pada hari ini,” kata Ahmad Fadlil Sumadi seraya mengetokkan palu satu kali pertanda bukti disahkan.


Selain bukti, Halimah juga mengajukan enam orang ahli untuk didengar keterangannya pada persidangan berikutnya. Chairunnisa menyebut seorang ahli yang akan dihadirkan yaitu Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid.


Untuk diketahui, pada Jum’at (8/7/2011) lalu Mahkamah membuka persidangan pendahuluan uji materi UU Perkawinan yang diajukan oleh Halimah Agustina Kamil. Halimah mengujikan ketentuan mengenai syarat perceraian yang termaktub dalam Pasal 39 Ayat (2) huruf f UU  Perkawinan sepanjang frase “antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri” bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 45.


Menurut Halimah melalui kuasanya, Chairunnisa, istri seringkali menjadi pihak yang dikorbankan dalam pertengkaran dan perselisihan. Padahal, faktanya perselisihan dan pertengkaran paling sering disebabkan ulah suami, misalnya suami mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain. (Annisa Anindya/Nur Rosihin Ana/mh)
 

Pemerintah: Kewajiban Pekerja-Pengusaha Selama Proses Perselisihan untuk Lindungi Pekerja


Perwakilan dari Pemerintah, Mualimin Abdi (Kemenkumham) saat membacakan jawaban Pemerintah atas dalil-dalil permohonan Pemohon pada sidang uji materi Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Rabu (27/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Uji Materi Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah, Rabu (27/7). Sidang pleno perkara nomor 37/PUU-IX/2011 ini diketuai Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
 
Hadir dalam persidangan kali ini wakil dari pemerintah, yaitu Mualimin Abdi (Kemenkumham), Heni Susila Wardaya (Kemenkumham), Budiman (Kemenakertrans), Hutri (Kemenakertrans), Agung (Kemenakertrans), dan Liana (Kemenkumham).
 
Dalam kesempatan itu, Mualimin Abdi menjadi juru bicara pihak pemerintah. Ia membacakan jawaban pemerintah atas permohonan Pemohon yang menganggap pasal  yang diujikan mengandung arti atau makna bahwa pekerja berhak atas upah dan hak-hak lainnya sampai jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan tetap dalam proses perselisihan hubungan industrial. 

Selain itu Pemohon juga menganggap tidak adanya tafsir yang tegas terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, utamanya terhadap frasa ”belum ditetapkan”. Menurut pemerintah, justru Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu bentuk perlindungan kepada tenaga kerja. ”Jadi menurut hemat Pemerintah, justru ketentuan Pasal 155 ayat (2) itu memberikan suatu kepastian. Jadi normanya sebetulnya memberikan kepastian agar pengusaha itu tidak ingkar dan tetap memenuhi kewajibannya untuk memberikan hak-hak kepada pekerja selama dalam proses perselisihan di dalam pengadilan hubungan industrial itu sendiri,” ujar Mualimin.
 
Lebih lanjut, Mualimin menjelaskan bahwa dalam pelaksaaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja seringkali timbul perselisihan yang dapat menyebabkan adanya pemutusan hubungan kerja. Sebelum memutuskan hubungan kerja, pengusaha bersangkutan diwajibkan untuk merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat pekerja, serikat buruh atau langsung dengan pekerja yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.
 
Selanjutnya, masih seperti yang dibacakan Mualimin, dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja apabila tidak mencapai kesepakatan, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
 
”Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sebagaimana ditentukan dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, atau melalui arbiter. Dan apabila kedua belah pihak tidak dapat menerima hasil mediasi, konsiliasi, maupun arbiter, maka para pihak atau yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan dapat melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,” jelas Mualimin mengenai mekanisme penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
 
Mualimin juga menegaskan bahwa selama proses penyelesaian persilisihan pemutusan hubungan kerja, baik pengusaha maupun pekerja atau buruh, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pekerja  atau pengusaha tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dan tetap memperoleh hak-haknya. Meski begitu, Mualimin mengakui, dalam praktiknya kerap ditemui pemutusan hubungan kerja yang sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap, para pengusaha “nakal” sudah tidak melakukan kewajibannya lagi.
 
“Menurut pemerintah hal demikian adalah ada di dalam lapangan atau tatanan implementasi yang semestinya itu bisa diinformasikan kepada Kementerian Tenaga Kerja karena Kementerian Tenaga Kerja juga memiliki apa yang disebut dengan PPNS untuk melakukan penilaian, untuk melakukan penelitian, mengapa pengusaha tidak melakukan atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada pekerja itu sendiri, Yang Mulia,” tandas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5617

Selasa, 26 Juli 2011

Uji UU Kehutanan: Pemerintah Anggap Permohonan Kabur

Kuasa Hukum Pemohon, Muhammad Ali Dharma Utama saat mendengarkan keterangan dari Pemerintah dalam sidang pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Selasa (26/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Permohonan tidak jelas dan kabur (obscuur libel) karena Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kedudukan hukum pemohon. Hal ini disampaikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Gunardo Agung Prasetyo dalam jawaban terhadap permohonan pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad mengajukan pengujian terhadap UU tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-IX/2011 ini pada Selasa (26/7).
“Dalam uraian permohonannnya, Pemohon tidak menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan atau WN atau sebagai badan hukum privat mengingat Pemohon mendalilkan sebagai pemilik PT Ricky Mas Jaya. Pemohon tidak menjelaskan kedudukannya dan juga tidak menjelaskan kedudukannya dalam perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kedudukan pemohon dianggap kabur dan tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” ujar Gunardo.
Selanjutnya, Gunardo memaparkan bahwa konstruksi pelanggaran hak konstitusional yang digambarkan Pemohon tidak tegas terurai. Pemohon mendalilkan bahwa timbulnya kerugian diakibatkan adanya peralihan fungsi lahan perkebunan milik Pemohon oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Jika hal tersebut benar, lanjut Gunardo, keputusan a quo berada pada domain kewenangan pejabat tata usaha negara, sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. “Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mestinya upaya hukum yang dilakukan oleh Pemohon adalah melalui lembaga peradilan lain, yaitu PTUN atau Pengadilan Negeri,” jelasnya.
Menurut Gunardo, khusus terhadap kewenangan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menampung adanya dinamika pembangunan, baik di luar sektor kehutanan maupun di dalam sektor kehutanan sendiri. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan adanya penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai penetapan wilayah tertentu menjadi kawasan hutan atau kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. “Ketentuan Pasal 4 ayat (3) undang-undang a quo menentukan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Di samping itu penguasaan hutan oleh negara, lanjut Gunardo, Pemerintah juga memperhatikan adanya hak-hak atas tanah yang ada. Terhadap dalil adanya kerugian Pemohon yang diderita akibat ditahan berdasarkan putusan dari badan peradilan umum, menurut Pemerintah bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU MK, tetapi terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Pemohon, yaitu dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan perusakkan barang milik orang lain. “Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memberi putusan menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum standing atau legal standing yang jelas.  Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard,” paparnya.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua MK Moh Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya mengesahkan 40 lembar alat bukti. “Kalau begitu, sidang berikutnya itu akan dibuka kalau Pemohon mau mengajukan saksi atau ahli. Jadi, Bapak tanggal 2 paling lambat itu sudah mendaftarkan kalau menghadirkan ahli. Kalau tanggal 2 tidak mendaftarkan ahli atau saksi, berarti menganggap pemeriksaan ini cukup, sehingga jadwal sidang berikutnya adalah pengucapan putusan. Dan untuk itu kalau memang pengucapan putusan, maka tentu baik Pemerintah maupun Pemohon, paling lambat tanggal 9 menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan jalannya sidang ini,” urai Mahfud.
Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ali Dharma Utama, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan. Menurut Ali Dharma, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), 28D Ayat (3), serta 28H Ayat (4) UUD 1945. Pasal 4 Ayat 92) UU Kehutanan menyatakan “(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:  (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan”. Pemohon beralasan pasal tersebut memberikan keleluasaan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan sebagai kawasan hutan yang demikian telah memberi peluang kepada Menteri Kehutanan untuk melanggar hukum dengan cara memanipulasi serta merekayasa tanah menjadi alih fungsi yang berada di kawasan luar hutan yang belum menjadi kawasan hutan. Seperti yang terjadi pada tanah perkebunan Pemohon yang berada pada kawasan budidaya pertanian oleh Menteri Kehutanan sudah dialihfungsikan sebagai hutan tanaman industri. (Lulu Anjarsari/mh)
 

Salim Alkatiri Uji Aturan Putusan MK Final dan Mengikat

Pemohon Prinsipal, Salim Alkatiri saat membacakan perbaikan Permohonannya pada sidang uji materi Pasal 10 ayat 1 huruf a, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Selasa (26/7) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Uji konstitusional materi UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (26/7/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri, Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua Panel, didampingi Achmad Sodiki dan Anwar Usman. Persidangan untuk perkara Nomor 36/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Salim Alkatiri. Materi yang diujikan Salim yaitu Pasal 10 ayat 1 huruf a, UU 24/2003 yang mengatur kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Di hadapan Panel Hakim Konstitusi, Salim memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. “Hal-hal yang paling penting adalah pada poin 3, dari kedudukan hukum legal standing,” kata Salim.

Salim merasa dirugikan dengan keputusan MK Nomor 224/PHPU.D VIII/2010 mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Kab. Buru Selatan yang diucapkan tanggal 31 Desember 2010 lalu. Dalam amar putusan Nomor 224/PHPU.D VIII/2010, Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Salim Alkatiri-La Ode Badwi  tidak dapat diterima.

Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Hal inilah yang menjadi halangan bagi Salim untuk melakukan banding, sehingga Salim tidak bisa lolos sebagai calon peserta Pemilukada Buru Selatan karena pernah menjadi narapidana dengan vonis 2 tahun penjara. Salim mendalilkan MK merubah putusannya sendiri, yaitu Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, sehingga mengakibatkan dia tidak bisa mengikuti Pemilukada Buru Selatan.

Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 telah menentukan syarat mengenai ketentuan Pasal 58 huruf f UU 12/2008 mengenai persyaratan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 58 huruf f UU 12/2008 poin 3 menyatakan, “Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan Terpidana”.

Salim mengaku sudah mengungkap jati dirinya sebagai mantan narapidana. “Kami telah mengemukakan secara terbuka pada publik di koran Suara Maluku di Ambon, Provinsi Maluku,” terang Salim.

Menurutnya, MK telah melanggar putusan Nomor 4/PUU-VII/2009. “Mahkamah Konstitusi melanggar putusan yang dia buat sendiri,“ lanjutnya. Padahal, tambah Salim, putusan Pengadilan Negeri Kelas I Ambon memperbolehkan pasangan Salim Alkatiri-La Ode Badwi mengikuti Pemilukada Buru Selatan Tahun 2010. (Nur Rosihin Ana/mh)
 

Rabu, 20 Juli 2011

Ahli Pemohon: Piagam ASEAN Menggusur Daulat Rakyat

Sri Edy Swasono saat menjadi Ahli dari Pemohon pada Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara0 [Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n], Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Keberadaan Piagam Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang disahkan oleh Undang-Undang No. 38/2008, telah mengeliminasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Dengan kata lain, ketentuan dalam Piagam tersebut, khususnya Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n, telah ‘melikuidasi’ keberadaan negara. Demikian dinyatakan oleh Sri Edy Swasono, ketika menjadi ahli dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (20/7) di ruang sidang Pleno MK. “Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat,” ungkapnya.

Menurutnya, pendapat yang menyatakan free trade (perdagangan bebas) akan mensejahterakan rakyat, hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya itu, kebijakan pasar tunggal ataupun pasar bebas di ASEAN, menurutnya, hanya akan meminggirkan orang miskin, bukan menghilangkan kemiskinan. “Yang terjadi adalah proses pemiskinan dan pelumpuhan,” tegasnya. Ia menekankan bahwa perjanjian internasional seharusnya selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama terkait ekonomi, haruslah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pada kesempatan itu, Pemohon tidak hanya menghadirkan Edy Swasono sebagai ahli. Sebenarnya, menurut Pemohon, ada tujuh ahli dan tiga saksi yang akan dihadirkan oleh pihaknya. Namun, yang dapat hadir pada persidangan kali ini hanyalah empat ahli dan dua saksi. Untuk ahli, selain Edy, hadir Syamsul Hadi, Khudori dan Ichsanudin Noorsy. Sedangkan saksi, hadir Nurul Hidayati dan Surati. Keduanya merupakan pembuat dan pedagang batik yang dianggap merasakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar bebas.

Dalam keterangannya, Syamsul Hadi, juga sependapat dengan Edy. Menurutnya, kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membangun pasar tunggal yang terintegrasi, hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang sudah mapan. Adanya pasar dan basis produksi tunggal di kawasan ASEAN mengakibatkan kompetisi dan persaingan yang tidak seimbang.

Bahkan, menurut dia, kesepakatan serta perjanjian yang tertuang dalam Piagam ASEAN terlalu normatif dan mengawang-awang. “Tidak mewakili kepentingan masyarakat akar rumput di ASEAN,” ujarnya saat menjelaskan kontribusi Piagam ASEAN dalam aspek sosial dan budaya. Faktanya, ASEAN sulit melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dibeberapa negara anggota ASEAN. “Seperti kudeta di Thailand dan pelanggaran HAM di Myanmar,” ia memberi contoh.

Senada, Ichsanuddin Noorsy, berpendapat, kesepakatan membangun pasar bebas dan pasar tunggal di ASEAN merupakan seting ekonomi global yang menganut ideologi neoliberal. Dan, ideologi ini, dapat dikatakan bertentangan dengan semangat ekonomi pro rakyat yang diamanahkan oleh Konstitusi.

Dalam persidangan, ia tak lupa memperkuat argumentasinya dengan menyitir pendapat para ekonom pemenang nobel serta sajian data dari beberapa penelitian. Ia bahkan sempat menantang perwakilan Pemerintah yang hadir saat itu untuk membantah data dan pendapatnya. “Rontokkan data ini,” pintanya. Akhirnya, ia menutup paparannya dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertmbangkan masak-masak sebelum menjatuhkan putusan. Ia berpesan agar MK tidak hanya menguji dengan menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 saja, melainkan juga Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan Khudori, dalam paparannya, lebih menyoroti dampak perdagangan bebas di ASEAN terhadap nasib pertanian di Indonesia. Ia memberi judul keterangan ahlinya, “Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN terhadap Pertanian di Indonesia”. Ia pun berkesimpulan, UU 38/2008 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Posisi Sulit

Pada kesempatan yang sama, hadir pula perwakilan Pemerintah. Mereka terdiri dari tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Keterangan Pemerintah disampaikan oleh Linggawaty Hakim.

Linggawaty, pada intinya, menyampaikan, pengesahan Piagam ASEAN melalui UU 38/2008 tidak secara otomatis menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai norma hukum nasional. “Tidak ada ketentuan hukum di Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional menjadi Undang-Undang mentransformasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai norma hukum nasional,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, berlaku mengikatnya Piagam ASEAN tidak tergantung pada UU 38/2008. “(UU 38/2008) hanyalah landasan hukum Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN,” katanya. Dampak jika MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Linggawaty, akan mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi sulit. Ia menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, ketentuan nasional tidak dapat digunakan untuk membenarkan sebuah negara yang gagal dalam melaksanakan sebuah perjanjian internasional. “Indonseia akan tetap memiliki kewajiban hukum internasional dan terikat pada ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tersebut,” jelasnya. (Dodi/mh). 





Sri Edy Swasono saat menjadi Ahli dari Pemohon pada Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nation (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara0 [Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n], Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Keberadaan Piagam Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang disahkan oleh Undang-Undang No. 38/2008, telah mengeliminasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Dengan kata lain, ketentuan dalam Piagam tersebut, khususnya Pasal 1 Ayat (5) dan Pasal 2 Ayat (2) huruf n, telah ‘melikuidasi’ keberadaan negara. Demikian dinyatakan oleh Sri Edy Swasono, ketika menjadi ahli dalam sidang perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Rabu (20/7) di ruang sidang Pleno MK. “Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat,” ungkapnya.

Menurutnya, pendapat yang menyatakan free trade (perdagangan bebas) akan mensejahterakan rakyat, hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya itu, kebijakan pasar tunggal ataupun pasar bebas di ASEAN, menurutnya, hanya akan meminggirkan orang miskin, bukan menghilangkan kemiskinan. “Yang terjadi adalah proses pemiskinan dan pelumpuhan,” tegasnya. Ia menekankan bahwa perjanjian internasional seharusnya selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama terkait ekonomi, haruslah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pada kesempatan itu, Pemohon tidak hanya menghadirkan Edy Swasono sebagai ahli. Sebenarnya, menurut Pemohon, ada tujuh ahli dan tiga saksi yang akan dihadirkan oleh pihaknya. Namun, yang dapat hadir pada persidangan kali ini hanyalah empat ahli dan dua saksi. Untuk ahli, selain Edy, hadir Syamsul Hadi, Khudori dan Ichsanudin Noorsy. Sedangkan saksi, hadir Nurul Hidayati dan Surati. Keduanya merupakan pembuat dan pedagang batik yang dianggap merasakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar bebas.

Dalam keterangannya, Syamsul Hadi, juga sependapat dengan Edy. Menurutnya, kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membangun pasar tunggal yang terintegrasi, hanya menguntungkan negara dengan ekonomi yang sudah mapan. Adanya pasar dan basis produksi tunggal di kawasan ASEAN mengakibatkan kompetisi dan persaingan yang tidak seimbang.

Bahkan, menurut dia, kesepakatan serta perjanjian yang tertuang dalam Piagam ASEAN terlalu normatif dan mengawang-awang. “Tidak mewakili kepentingan masyarakat akar rumput di ASEAN,” ujarnya saat menjelaskan kontribusi Piagam ASEAN dalam aspek sosial dan budaya. Faktanya, ASEAN sulit melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dibeberapa negara anggota ASEAN. “Seperti kudeta di Thailand dan pelanggaran HAM di Myanmar,” ia memberi contoh.

Senada, Ichsanuddin Noorsy, berpendapat, kesepakatan membangun pasar bebas dan pasar tunggal di ASEAN merupakan seting ekonomi global yang menganut ideologi neoliberal. Dan, ideologi ini, dapat dikatakan bertentangan dengan semangat ekonomi pro rakyat yang diamanahkan oleh Konstitusi.

Dalam persidangan, ia tak lupa memperkuat argumentasinya dengan menyitir pendapat para ekonom pemenang nobel serta sajian data dari beberapa penelitian. Ia bahkan sempat menantang perwakilan Pemerintah yang hadir saat itu untuk membantah data dan pendapatnya. “Rontokkan data ini,” pintanya. Akhirnya, ia menutup paparannya dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertmbangkan masak-masak sebelum menjatuhkan putusan. Ia berpesan agar MK tidak hanya menguji dengan menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 saja, melainkan juga Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan Khudori, dalam paparannya, lebih menyoroti dampak perdagangan bebas di ASEAN terhadap nasib pertanian di Indonesia. Ia memberi judul keterangan ahlinya, “Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN terhadap Pertanian di Indonesia”. Ia pun berkesimpulan, UU 38/2008 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Posisi Sulit

Pada kesempatan yang sama, hadir pula perwakilan Pemerintah. Mereka terdiri dari tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Keterangan Pemerintah disampaikan oleh Linggawaty Hakim.

Linggawaty, pada intinya, menyampaikan, pengesahan Piagam ASEAN melalui UU 38/2008 tidak secara otomatis menjadikan perjanjian internasional tersebut sebagai norma hukum nasional. “Tidak ada ketentuan hukum di Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional menjadi Undang-Undang mentransformasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai norma hukum nasional,” tegasnya.

Bahkan, menurutnya, berlaku mengikatnya Piagam ASEAN tidak tergantung pada UU 38/2008. “(UU 38/2008) hanyalah landasan hukum Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN,” katanya. Dampak jika MK mengabulkan permohonan Pemohon, ujar Linggawaty, akan mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi sulit. Ia menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, ketentuan nasional tidak dapat digunakan untuk membenarkan sebuah negara yang gagal dalam melaksanakan sebuah perjanjian internasional. “Indonseia akan tetap memiliki kewajiban hukum internasional dan terikat pada ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tersebut,” jelasnya. (Dodi/mh)

sumber:

MK Tolak Seluruh Permohonan Susno Duadji

Selasa, 19 Juli 2011

Ahli Pemohon: UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Langgar HAM

Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan dari Komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadi sebagai Ahli dari Pemohon dalam Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Selasa (19/7), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 tentang  Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/7), di Ruang Sidang Pleno MK.  Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Ray Rangkuti, Muhammad Chozin Amirullah. Asep Wahyuwijaya, AH. Wakil Kamal, Edwin Partogi, Abdullah, Arif Susanto, Dani Setiawan, Embay Supriyanto, Abdul Rohman dan Herman Saputra.

Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan Ahli Pemohon ini, menghadirkan Komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadi sebagai Ahli Pemohon. Dalam keterangannya, Kabul mengungkapkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 25, dan Pasal 26 UU 20/2009 disharmonisasi dengan hukum mengenai hak asasi manusia. “Mengacu pada undang-undang, seseorang yang melakukan pelanggaran HAM dan aturan normatif masih dapat menerima tanda jasa dan bintang kehormatan,” jelasnya.

Selain itu, Kabul mengungkapkan perspektif HAM dalam UUD 1945 yang tercantum pada Pasal 28J, harus tertuang secara ketat bagi mereka yang berhak menerima gelar tanda jasa maupun bintang jasa. “Relasi penguasa dengan rakyat yang otoriter kepada warga negaranya dan juga penguasa yang menyalahgunakan kewenangan seharusnya dibatasi hak dan kewenangannya untuk menerima gelar tanda jasa maupun bintang kehormatan,” urainya.

Kemudian, Kabul merasa keberadaan militer maupun akademisi di dewan gelar belum tentu menjamin orang-orang yang terpilih menerima gelar tanda  jasa maupun bintang kehormatan. “Keberadaan kalangan militer maupun akademisi dalam dewan gelar belum tentu menjamin kualitas orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan gelar tanda jasa maupun bintang kehormatan,” katanya.

Dalam sidang sebelumnya, melalui kuasa hukumnya, Gatot Goei mengungkapkan bahwa Pemohon merasa hak konstitusional terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa, Tanda Kehormatan. Terutama hak konstitusional yang diberikan oleh pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif untuk membangun kemajuan masyarakat bangsa dan negara. (Lulu Anjarsari/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5595

Senin, 18 Juli 2011

Pasangan Calon Gubernur Sulut Uji Materi UU Pemda Ditolak MK

Jakarta, MKOnline - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh pasangan calon Gubernur Sulut Linneke Syennie Watoelangkow-Jimmy Stefanus Wewengkang ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan dengan Nomor 11/PUU-IX/2011 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Senin (18/7), di Ruang Sidang Pleno MK.


“Menyatakan, dalam Provisi, menolak permohonan provisi  Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Mahfud.


Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah menolak permohonan provisi Pemohon meminta Mahkamah untuk menerbitkan putusan sela yang memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk menghentikan atau setidak-tidaknya menunda penetapan calon Wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon. Mahkamah beralasan kewenangan menghentikan atau setidak-tidaknya menunda penetapan calon wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon bukan merupakan kewenangan MK.


“Bahwa selain itu, permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan  a quo. Pertama, dalam Pengujian Undang-Undang  (judicial review),  putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti menghentikan atau menunda penetapan calon Wakil Kepala Daerah Tomohon sebagai Kepala Daerah Tomohon. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret yang tertuju hanya terhadap satu kasus seperti dalam permohonan  a quo karena kalau hal itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut. Ketiga, putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga amar putusan Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang sudah berlangsung. Berdasarkan alasan-alasan tersebut  di atas, Mahkamah menolak permohonan provisi yang dimohonkan Pemohon,” papar Hamdan.


Sedangkan mengenai pokok permohonan, Hakim Konstitusi Muhammad Alim menguraikan bahwa mengenai Pasal 108 ayat (4) UU 32/2004 yang menentukan bahwa kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih, menurut Mahkamah karena calon wakil kepala daerah terpilih kemudian dilantik menjadi kepala daerah sesuai ketentuan Pasal 108 ayat (3) UU 32/2004, adalah pihak yang dipilih  oleh rakyat, maka ia yang mengusulkan dua calon  wakilnya yang sejalan dengan rencana pembangunan daerah yang telah dibuatnya. Pengajuan dua calon wakil kepala daerah tersebut dimaksudkan untuk memberi alternatif bagi DPRD untuk memilih salah satu dari calon yang diusulkan tersebut. 


“Pasal 108 ayat  (5) UU 32/2004 yang menentukan bahwa dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil  kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari. Pengajuan dua pasangan calon untuk dipilih oleh DPRD yang bersangkutan menurut Mahkamah juga adalah cara yang demokratis, berbeda dengan permohonan Pemohon yang menganggap Pasal 108 ayat (5)  UU 32/2004 juga tidak konstitusional,” ujar Alim.


Alim menjelaskan bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor  22/PUU-VII/2009, tanggal 17 November 2009 mempertimbangkan perbedaan sistem pemilihan kepala daerah baik tidak langsung maupun langsung tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah  tidak langsung, tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya. Keduanya merupakan kebijakan negara tentang sistem pemilihan kepala daerah yang sama demokratisnya sesuai dengan  Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 


“Selain itu, karena berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 Pemilihan Umum  diselenggarakan setiap lima tahun sekali, dan berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilukada termasuk rezim pemilihan umum, maka ketentuan Pasal 108 ayat (4) dan ayat (5) UU 32/2004 yang menetapkan pemilihan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah oleh DPRD, dengan demokrasi perwakilan, telah memenuhi  ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yakni Pemilu hanya sekali setiap lima tahun, sekaligus menyelenggarakan Pemilukada secara demokratis memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 108 ayat (3), ayat  (4), dan ayat (5) UU 32/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” urai Alim. (Lulu Anjarsari/mh)

Lagi, UU Otsus Papua Diuji ke MK

Jakarta, MKOnline – Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) kembali diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/7). Pemohon perkara yang teregristrasi dengan nomor 41/PUU-IX/2011, Habel Rumbiak menganggap Pasal 17 ayat (1) UU Otsus Papua mengandung frasa yang multitafsir sehingga menimbulkan ketidakjelasan.

Pemohon, Habel Rumbiak, melalui kuasa hukumnya Libert Cristo menganggap frasa “dapat dipilih kembali” menimbulkan ketidakjelasan. Pasalnya, frasa tersebut dapat diartikan seseorang yang telah mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada satu kali pemilihan, pada periode berikutnya dapat mencalonkan diri kembali. Pasal tersebut berbunyi, “(1)  Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya”.

Padahal, menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Cristo, seseorang yang sudah mencalonkan diri sebanyak dua kali tidak bisa mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah berikutnya. “Tidak ada ketegasan dalam frasa itu sehingga bisa memunculkan pemahaman orang dapat mencalonkan diri lebih dari dua kali. Untuk itu, kami minta ketegasan saja dalam pasal ini,” ujar Cristo.

Seusai Pihak pemohon menyampaikan pokok permohonannya, Panel Hakim kemudian memberikan saran yang dapat digunakan atau tidak oleh Pemohon pada perbaikan permohonannya. Anggota Panel Hakim, M. Akil Mochtar dalam kesempatan itu menyarankan agar Pemohon menjelaskan mengenai legal standing Pemohon. ”Tolong dijelaskan legal standing Pemohon. Apakah warga negara biasa, apakah pernah jadi kepala daerah, apakah pernah mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Itu tolong dijelaskan,” ujar Akil menyarankan.

Akil juga menyarankan agar Pemohon mencantumkan tentang kerugian konstitusional yang diderita Pemohon akibat multitafsirnya frasa pada Pasal 17 ayat (1) UU Otsus Papua tersebut. Dengan menjelaskan kerugian konstitusional yang dirasakan Pemohon, Akil mengatakan para hakim mendapati gambaran yang utuh mengenai perkara yang dimohonkan.

Mengenai legal standing dan kerugian konstitusional yang diderita Pemohon, Ketua Panel Hakim Hamdan Zoelva juga menegaskannya. ”Soal legal standing itu perlu untuk diuraikan. Karena kalau tidak ada, pokok permohonan saudara bisa tidak diperiksa. Legal standing juga berkaitan erat dengan hak atau kerugian konstitusional Saudara. Jadi tolong dijelaskan,” saran Hamdan seraya mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak sidang kali ini berakhir. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Intervensi Kemandirian Profesi Advokat, Pasal 65 UU MK Diuji

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) - Perkara No.42/PUU-IX/2011 - pada Senin (18/7) siang di ruang sidang MK. Pemohon adalah Suhardi Somomoelyono, S.H.M.H selaku Ketua Umum Kolektif Pimpinan Pusat Komite Kerja Advokat Indonesia (KPP KKAI) dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (DPP HAPI).


Pemohon mengajukan permohonan uji materil terhadap muatan Pasal 65 UU MK karena muatan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal 65 UU MK disebutkan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.


Dalam legal standing Pemohon dijelaskan bahwa Pemohon adalah pendiri sekaligus Ketua Umum KPP KKAI dan Ketua Umum DPP HAPI. Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) - di dalamnya terdapat 7 organisasi advokat antara lain IKADIN, AAI, IPHI, SPI - sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan semua advokat/pengacara/konsultan hukum/penasehat hukum warga negara Indonesia yang menjalankan profesi advokat.


Kemudian diberlakukannya UU No.18/2003 tentang Advokat, maka dimasukkanlah satu organisasi profesi advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) yang tertuang dalam Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat. Dengan demikian, terdapat 8 organisasi profesi advokat yang dikenal dalam UU Advokat. 


Delapan organisasi profesi advokat tersebut merupakan bentuk federasi, keterkaitan dengan dengan Pasal 28 Ayat (1) UU No.18/2003 yang berbunyi “Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat”.


Pemohon menjelaskan, badan negara yang disebut KKAI diatur dalam UU No.18/2003 tentang Advokat. Sedangkan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Pemohon, KKAI selaku badan negara merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung. “Baik KKAI dan Mahkamah Agung masing-masing memiliki kemandirian dan kewenangan dalam arti tidak ada intervensi kewenangan masing-masing,” ungkap Pemohon.


Intervensi Kewenangan KKAI
Pemohon melanjutkan, meski Mahkamah Agung dan KKAI masing-masing memiliki hak dan kewenangan, tapi dalam praktik ketatanegaraan, Mahkamah Agung selalu mengintervensi kewenangan KKAI dengan menerbitkan surat Mahkamah Agung No.089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 Jo. Surat Ketua Mahkamah Agung No.052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011. Surat tersebut menyebutkan “Pada intinya organisasi advokat yang disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)”.


Menurut Pemohon, perkataan Mahkamah Agung dalam surat tersebut tidak sejiwa dengan 8 organisasi profesi advokat diatur dalam Pasal 32 Ayat 3, ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 22 Ayat (3) ditetapkan tanggal 23 Mei 2002, disahkan dalam Pasal 33  UU No.18/2003 tentang Advokat. “Oleh karena itu KKAI adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang disengketakan sesuai amanat Pasal 61 Ayat (1) UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” imbuh Pemohon. 


Bahwa badan yang disebut sebagai KKAI yang dibentuk berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 merupakan staats fundamental norm (norma dasar negara) sebagai pelaksana UU diatur dalam Pasal 34 UU No.18/2003 tentang Advokat yang berbunyi “Peraturan pelaksana yang mengatur mengenai advokat tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana UU ini”.


Dikatakan Pemohon, dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan bahwa peran serta 8 organisasi profesi advokat termuat dalam Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat dapat dijalankan. Selain itu, ketentuann Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 22 Ayat (3) yang mengatur KKAI, kemudian disahkan dalam Pasal 33 UU No.18/2003 tetap berlaku.


“Oleh karena itu terbentuknya organisasi KKAI selaku badan negara yang mewakili 8 organisasi profesi advokat tetap sebagai induk organisasi KKAI serta sebagai pelaksana UU Advokat,” tegas tim kuasa hukum Pemohon, Dominggus Maurits Luitnan, SH, dkk. (Nano Tresna A./mh)
 

Peringatan Bahaya Merokok Tidak Efektif, UU Kesehatan Diuji di MK

Jakarta, MKOnline – Dua orang dokter yang fokus pada bahaya tembakau pada rokok, Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, beserta Ikatan senat mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Senin (18/7). Pemohon menganggap peringatan pada bungkus rokok dengan tulisan tidak efektif. 

Pemohon menganggap penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 199 ayat (1) UU yang sama. Pada Pasal 199 ayat (1) dinyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah.”

Sedangkan penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”.

Adanya kata ”dapat” dalam penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut menurut Pemohon menjadikan peringatan pada Pasal 199 tidak bersifat mutlak. Sehingga, produsen rokok bisa menggunakan peringatan bahaya rokok dalam bentuk tulisan saja tanpa menyertakan gambarnya. Padahal, menurut Pemohon, peringatan dalam bentuk gambar lebih efektif dan terbuka dalam menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok dibanding hanya menuliskan peringatan tersebut.

Mustakim, kuasa hukum Pemohon, mengatakan seharusnya penjelasan pasal 114 UU kesehatan berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’peringatan kesehatan’ dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan disertai gambar atau bentuk lain.”

Panel Hakim yang terdiri dari Muhammad Alim selaku ketua serta didampingi Anwar Usman dan Ahmad Fadlil Sumadi selaku anggota dalam sidang perdana tersebut menyampaikan saran kepada Pemohon. Alim menyarankan agar Pemohon menegaskan kembali penggunaan istilah frasa atau kata yang lebih tepat digunakan pada penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan tersebut. Sedangkan Fadlil meminta pemohon untuk menjelaskan pasal mana yang diuji oleh Pemohon atau pasal mana yang bertentangan dengan penjelasan pasal lainnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Nasabah Kartu Kredit Citibank Ajukan Pengujian UU Bea Materai

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara pengujian undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (Pasal 6), Jumat (18/3) di gedung MK. Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan. Pemohon dalam perkara ini, yaitu Hagus Suanto seorang Wiraswastawan yang merasa dirugikan dengan pungutan pajak bea materai oleh bank swasta asing (Citibank).

Hagus Suanto di hadapan panel hakim mengatakan UU Bea Materai menjelaskan bahwa pungutan pajak dapat dilakukan sebagai pajak negara, pajak pusat, dan bea materai dalam dokumen. Hagus juga mengatakab bahwa ia juga dipungut pajak dari lembar tagihan kartu kredit yang dilakukan oleh Citibank. Pemohon sendiri merupakan nasabah kartu kredit Citibank.

Pemohon selaku nasabah Citibank menganggap Citibank tidak berhak secara yuridis memungut pajak tersebut. “Pajak itu adalah kewenangan negara sehingga yang berhak memungut pajak yaitu negara,” ujar Hagus.

Lebih lanjut, Hagus menjelaskan mengenai definisi pajak. Ia mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasar undang-undang dan bersifat dapat dipaksakan. Berdasar Pasal 6 UU Bea Materai kemudian Citibank memungut pajak dokumen. Pasal 6 UU Bea Materai sendiri berbunyi, “Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.”.

Hagus melanjutkan, ia mengaku telah menjadi nasabah yang baik dengan melunasi tagihan pokok transaksinya yang menggunakan kartu kredit. Meski begitu, dirinya tetap dianggap dianggap mempunyai hutang oleh Citibank. Hutang itu berasal dari pengutan terhadap pajak bea materai yang berasal dari pajak dokumen.

“Seharusnya pajak dokumen itu melekat pada dokumennya dan tidak harus dibebankan kepada nasabahnya. Karena kami selama ini menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran transaksi itu tidak pernah melakukan transaksi bea materai. Dan menurut kami bea materai adalah pajak, bukan benda yang dapat ditransaksikan secara umum,” ujar Hagus beragumen.

Terakhir dalam penjelasannya, Hagus mempertanyakan mengapa bank swasta asing yang tugasnya menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ternyata dapat memungut pajak kepada masyarakat tanpa beradasarkan UU. Padahal, negara saja dalam memungut pajak menurutnya berdasar UU.

Terhadap keterangan Pemohon mengenai pokok permohonannya, Panel Hakim yang terdiri dari, Ahmad Fadil Sumadi (ketua), Ahmad Sodiki (anggota), dan Hamdan Zoelva (anggota) memberikan nasihat yang dapat dipertimbangkan oleh Pemohon. Ketiganya mengingatkan Pemohon agar mempertimbangkan kembali petitumnya yang meminta Pasal 6 UU Bea Materai untuk dibatalkan. “Kalau dibatalkan itu berarti hilang. Lalu dasar negara untuk memungut pajak dari mana?” ujar Sodiki.

Hal yang sama juga ditegaskan Zoelva sembari mengingatkan agar Pemohon menjelaskan legal standing Pemohon beserta kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Kamis, 14 Juli 2011

MK Gelar Sidang Lanjutan Uji UU Tenaker

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/7). Kepaniteraan MK meregistrasi perkara tersebut dengan Nomor 37/PUU-IX/2011 yang diajukan oleh tiga pemohon, yakni Ugan Gandar, Eko Wahyu, dan Rommel Antonius Ginting.

Dalam sidang perbaikan permohonan, para Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan yang disarankan oleh Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan Anggota Panel Hakim Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan M. Akil Mochtar. Dalam sidang sebelumnya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 155 Ayat (2). Pasal 155 Ayat (2) menyatakan “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”. 

Pada sidang tersebut, Pemohon juga mengajukan alat bukti. “Pemohon mengajukan 13 alat bukti dari P-1 sampai dengan P-13. Dan, satu tambahan alat bukti lagi, maka ada 14 alat bukti. Maka alat bukti ini, disahkan,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai Pasal 155 Ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) karena pada implementasinya di lapangan, pasal tersebut menimbulkan dua penafsiran. Penafsiran pertama, yakni  ‘belum ditetapkan’ berarti hanya sampai pada pengadilan hubungan industrial tingkat pertama. Ada pula penafsiran kedua sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dalam tuntutan atau petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 155 ayat (2) dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).“Sepanjang klausula 'belum ditetapkan' dalam Pasal 155 ayat (2) ditafsirkan sampai pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap," ujar kuasa hukum Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)

Majelis Hakim Ingatkan Uji Materi UU Parpol Sudah Pernah Diputus MK

Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku Ketua Panel saat membuka Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) [Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Ayat (2) huruf c, dan Pasal 51 Ayat (1) huruf a], Kamis (14/7) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Sidang uji materi UU 2/2011 tentang Perubahan UU 2/2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (14/7/2011) siang. Permohonan ini diajukan oleh Dana Iswara Basri, Fikri Jufri, M. Husni Thamrin, Budi Arie Setiadi, Susy Rizky Wiyantini, Goenawan Susatyo Mohamad, Sony Sutanto, Damianus Taufan, dan Abdul Rahman Tolleng.

Para Pemohon melalui kuasa hukumnya, A. Muhammad Asrun menyampaikan hal yang menurutnya urgen menyangkut kepentingan permohonan kliennya, yaitu mendaftarkan partai yang didirikan sebagai badan hukum. Sehingga Asrun berharap kepada Mahkamah agar proses persidangan dipercepat. “Kami ingin agar sidang ini dipercepat mengingat batas akhir pendaftaran tanggal 22 Agustus 2011, pendaftaran partai politik baru. Jadi mohon juga kepentingan kami diakomodir untuk percepatan sidang,” pinta Asrun.

Persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai oleh Anwar Usman, didampingi Anggota Panel Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi. Hakim Konstitusi Harjono mengingatkan kepada Pemohon bahwa Mahkamah pernah memutus pasal yang diujikan, yaitu putusan Nomor 15/PUU-IX/2011. “Saudara Pemohon, sebelum perbaikan Anda ini diperiksa oleh Majelis, ini sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 51 ayat (1a) itu dan pasal-pasal berikutnya, (yaitu) Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011,” kata Harjono mengingatkan.

Sebelum menutup persidangan untuk perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 ini, Ketua Panel Anwar Usman mengesahkan alat bukti Pemohon. Bukti yang disahkan yaitu bukti P-1 sampai P-15.

Untuk diketahui, pada persidangan sebelumnya terungkap maksud permohonan uji materi UU Parpol. Para Pemohon mengujikan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol. Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3).

Para pemohon merasa ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan pendirian Parpol yang diatur dalam UU Parpol sangat potensial melanggar hak konstitusional Pemohon. Hak yang dimaksudkan yaitu hak kebebasan berserikat dan berkumpul berupa pendirian Parpol, hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif, dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Para Pemohon yang tengah mempersiapkan berdirinya sebuah partai, yaitu Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI) ini menilai persyaratan yang dibebankan untuk mendirikan partai sangat berat, memerlukan biaya sangat besar, dan waktu yang disediakan pun sangat singkat. (Nur Rosihin Ana/mh)

Pemohon Uji UU Kehutanan Menilai Menhut Melanggar Hukum

Jakarta, MKOnline - Surat Menteri Kehutanan Nomor 1.198 tentang Penambahan Hutan Tanaman Indistri (HTI) PT. Wira Karya Sakti seluas 76.100 hektar di Provinsi Jambi, dipersoalkan oleh Maskur Anang Bin Kemas Anang Muhamad, selaku Pemohon dalam perkara Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU Kehutanan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (14/7).

Dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Achmad Sodiki, dengan didampingi Anwar Usman dan Harjono yang masing-masing sebagai anggota, melalui kuasa hukumnya M. Ali Darma Utama dan Ferry AS, Pemohon mendalilkan bahwa Menteri kehutanan telah melanggar hukum dengan melakukan manipulasi dan merekayasa alih fungsi atas area tanah di luar kawasan hutan yang peruntukkannya belum ditentukan sebagai kawasan hutan menjadi hutan cadangan. ”Fakta tersebut terjadi pada area perkembunan milik Pemohon,” kata Ali.

Pemohon menjelaskan area perkembunan miliknya ada pada kawasan budi daya pertanian. Namun, oleh Menteri Kehutanan dialihfungsikan dan ditetapkan sebagai cadangan hutan tanaman industri. ”Kebijakan tersebut selain melanggar Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 yang mengatakan bahwa Menteri Kehutanan tidak mempunyai kewenangan mencadangkan HTI pada kawasan budi daya pertanian,” jelas Pemohon melalui kuasa hukumnya.

Pemohon melihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan tersebut akibat adanya ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Huruf b dan Ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberikan keluasan terhadap Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan.

”Pasal tersebut sangat merugikan hak dan kewengan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28G Ayat 1, dan Pasal 28H Ayat 4 UUD 1945,” ucap Ali membacakan isi Permohonan.

Oleh sebab itu, Pemohon mendalilkan bahwa perlu dilakukan uji norma hukum pada Pasal 4 Ayat 2 Huruf b dan ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini dikarenakan implementasi dari pasal tersebut sangat merugikan Pemohon sebagai pemilik tanah perkebunan.

Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Pasal 4 Ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 oleh Mahkamah ditambahi sehingga berbunyi, “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaan ‘hak atas tanah yang terbebani hak berdasarkan UU’ serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.”

Dalam nasehatnya, Ketua Sidang Panel, Achmad Sodiki, mengatakan kepada Pemohon bahwa Mahkamah tidak mempunyai wewenang untuk membuat kalimat-kalimat dalam pasal. ”Mahkamah hanya bisa menafsirkan atau mencoret,” terangnya. (Shohibul Umam/mh)

Senin, 11 Juli 2011

UU Penertiban Perjudian Konstitusional

Jumat, 08 Juli 2011

Untuk Kedua Kali Yoseph Ly Uji Materi KUHAP


Pemohon Prinsipal Yoseph Ly pada sidang uji materi Pasal 7 ayat (1) huruf i dan Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jum’at (8/7) di ruang Sidang Panel Gedung MK.

Jakarta, Mkonline – Konstitusionalitas materi UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali diuji di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (8/7/2011). Permohonan perkara nomor 39/PUU/-IX/2011 ini diajukan oleh Yoseph Ly. Yoseph sebelumnya pernah mengujikan materi Pasal 109 ayat (2) KUHAP di MK. Dalam amar putusan yang dibacakan pada 20 Januari 2011 lalu, MK menyatakan permohonan Yoseph tidak dapat diterima. Mahkamah berkesimpulan, Yoseph tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji pasal tersebut.

Kali ini, Yoseph hadir di persidangan MK untuk menguji materi Pasal 7 ayat (1) huruf i dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Pasal 7 ayat (1) huruf i menyatakan, “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: i. mengadakan penghentian penyidikan.”

Kemudian Pasal 109 ayat (2) menyatakan, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”

Menurut Yoseph, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dalam pokok permohonan (petitum), Yoseph meminta Mahkamah mengabulkan permohonannya.

Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar sebagai Ketua Panel, diampingi Anggota Panel Muhammad Alim dan Anwar Usman. Dalam nasihatnya, Ketua Panel M. Akil Mochtar menyatakan Pasal 109 ayat (2) tidak bisa diujikan kembali, karena MK sudah pernah memutusnya. “Jadi Bapak hanya bisa menguji Pasal 7 ayat (1) huruf i itu saja,” kata Akil.

Setelah memeriksa lebih lanjut, Akil menyatakan, yang menjadi pokok permasalahan  Yoseph yaitu mengenai surat ketetapan. “Bapak mempersoalkan soal ketetapan itu bertentangan dengan undang-undang, itu bukan wewenang Mahkamah,” kata Akil.

Selanjutnya Akil menyarankan Yoseph agar mengajukan permasalahannya ke Mahkamah Agung (MA). “Saran saya, ajukan ini permohonannya ke Mahkamah Agung,” lanjut Akil. (Nur Rosihin Ana/mh)

Syarat Perceraian dalam UU Perkawinan Diuji di MK

Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (8/7). Kali ini syarat perceraian dalam Pasal 39 ayat (2) huruf f (Penjelasan, Red) UU Perkawinan dimohonkan oleh Halimah Agustina Binti Abdullah Kamil kepada MK untuk dilakukan pengujian terhadap UUD 1945.

Dalam Sidang Pendahuluan Perkara No. 38/PUU-IX/2011, Halimah selaku Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Choirunnisa Jafizham, mendalilkan pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Achmad Sodiki, dengan didampingi Anwar Usman dan Harjono, masing-masing sebagai anggota, Pemohon mengatakan bahwa Pasal 39 Ayat (2) haruf f tentang perkawinan sepanjang frase “antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri” bertentang dengan UUD RI 1945.

“Padahal konstitusi, yaitu Pasal 28D ayat 1 UUD 45 mengatakan, ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.’ Begitu juga dalam  Pasal 28H ayat 2 UUD 45 yang berbunyi, ‘Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’,” ujar Choirunnisa selaku kuasa hukum Pemohon.

Lebih lanjut dalam permohonanya, Pemohon mendalilkan dengan melihat kebanyakan peristiwa yang terjadi, kebanyakan pihak istri yang dikorbankan dalam pertengkaran dan perselisihan. Menurutnya, suami menjadi penyebab yang paling sering dalam perselisihan dan pertengkaran, misalnya suami mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain, tentu akan terjadi pertengkaran dalam rumah tangga tersebut.

Choirunnisa membandingkan ketentuan dalam pasal tersebut dengan ketentuan yang ada di dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Dalam BW tidak dicantumkan lagi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sebagai alasan perceraian. “Pasal 209 BW menetapkan alasan perceraian, yaitu telah terjadi zina, meninggalkan tempat kediaman bersama secara etikad buruk, dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan; pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya,” kata Choirunnisa saat membacakan permohonan Pemohon.

Lebih lanjut Choirunnisa mengatakan bahwa syariat Islam juga mengatur perceraian, yaitu karena alasan istri berzina, atau istri nusus meskipun telah dinasihati berulangkali, istri pemabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang dapat mengganggu kerukunan rumah tangga.

Oleh karenanya, dalam permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 39 Ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974  tentang Perkawinan tidak menjamin perlindungan dan kepastian hukum, serta keadilan bagi seorang istri. Untuk itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat pasal tersebut.

Terhadap permohonan tersebut, Achmad Sodiki selaku pimpinan Sidang menunggu adanya perbaikan terhadap permohonan pemohon selama 14 hari. “jadi ibu menunggu sidang yang akan datang,” katanya. (Shohibul Umam/mh)

Kamis, 07 Juli 2011

Ketua MRP: Pemimpin di Papua Harus Orang Asli Papua

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) mendengarkan keterangan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Yoram Wambrauw pada persidangan pengujian UU No. 35 Tahun 2008, Kamis (7/7). Dalam persidangan itu, Yoram mengatakan pemimpin pemerintahan daerah di Papua, termasuk anggota MRP haruslah orang asli Papua.

Perkara yang memiliki nomor registrasi 29/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Kepala Suku Yawaonad, Kab. Kepulauan Yapen, Papua, David Barangkea (Pemohon I) dan Komarudin Watubun Tanawani Mora (Pemohon II). Para Pemohon didampingi kuasa hukumnya, Abdul Rahman Upara.

Pada persidangan yang beragendakan mendengarkan keterangan MRP, hadir Ketua MRP, yaitu Yoram Wambrauw. Yoram menjelaskan mengenai syarat seseorang dapat menjadi pemimpin di lingkungan pemerintahan daerah Papua, termasuk untuk menjadi Gubernur.

Menurut Yoram, seseorang yang mau menjadi gubernur ataupun wakil gubernur, harus memenuhi syarat sebagai orang asli Papua. ”Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun rumpun ras Melanesia, orang dari suku-suku asli di Provinsi Papua, dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua,” jelas Yoram mengenai syarat menjadi Gubernur Papua maupun anggota MRP sebagai representasi masyarakat Papua.

Yoram juga menjelaskan bahwa secara fisik seseorang yang dapat memimpin Papua haruslah yang berciri fisik kulit hitam dan rambut keriting. Namun, Yoram juga mengatakan masyarakat Papua yang tinggal di Sorong maupun Fakfak yang tidak memiliki rambut keriting boleh menjadi pemimpin di Papua. Hanya saja, orang-orang tersebut harus memiliki pertalian darah dengan suku asli Papua dan sudah tinggal lama di Papua.

Selain itu, orang yang hendak menjadi pemimpin di Papua dan bukan warga asli Papua harus sudah mengikuti upacara inisasi di salah satu masyarakat adat. Untuk menentukan apakah seseorang itu memiliki garis keturunan orang Papua dan apakah orang tersebut benar sudah mengikuti upacara inisiasi, maka disediakanlah seorang Antropolog yang memeriksa hal tersebut.

”Saudara-saudara di Fakfak, Sorong, dan Raja Ampat banyak yang berasal dari luar Papua. Tapi mereka sudah lama bercampur dengan warga asli Papua selama berabad-abad.  Sehingga untuk jadi pemimpin tidak terlalu keluar jauh dari syarat-syarat tadi. Kalau sudah kawin-mengawin, sudah tinggal lama, ada hubungan darah, dan dijelaskan garis keturunannya oleh masyarakat adat boleh saja menjadi pemimpin,” ujar Yoram.

Dalam kesempatan sama, Yoram mengakui bahwa ada perbedaan pengertian orang asli Papua yang diatur dalam Perdasus No. 4  tahun 2008 dengan yang dimengerti oleh orang asli Papua. ”Dalam rumusan UU No. 21 tahun 2001, frasa orang yang diterima dan diakui orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua, dihilangkan. Frasa yang dipakai untuk keperluan pemilihan anggota MRP adalah orang yang berasal dari ras melanisia dan suku-suku asli di Papua,” tukas Yoram.

Sebelumnya, Pemohon yang merupakan Bakal Calon Wakil Gubernur Papua merasa dirugikan. Pasalnya, ia tidak diterima menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua karena dianggap bukan sebagai warga asli Papua meski diakui Pemohon sudah menerima pengakuan dari masyarakat adat Papua. (Yusti Nurul Agustin/mh)


Rabu, 06 Juli 2011

Pemerintah: PKWT dan Outsourcing Amanat Konstitusi


Jakarta, MKOnline - Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing yang diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 64 UU No. 13 tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dinilai sebagai bagian dari kewajiban pemerintah untuk memberi kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan layak sebagaimana diamanatkan Pasal 27 Ayat 2 UUD RI 1945.

Pendapat tersebut disampaikan oleh Sunarno, Kepala Biro Hukum Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selaku Pihak Pemerintah di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Moh. Mahfud MD dalam Sidang Pleno Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 13 tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan, Rabu (6/7).

Dalam kesempatan itu, Sunarno juga menolak dalil Pemohon, yang disampaikan dalam sidang sebelumnya, bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, pasal tersebut justru memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam hubungan kerja, guna mendapatkan imbalan yang layak dan setimpal dengan pekerjaan yang dilaksanakannya. “Sehingga diberlakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing,” terangnya.

Bagi perkerja outsourcing, menurut Sunarno, bisa menggunakan seluruh kemampuannya dalam bekerja. Menurutnya, mereka akan mendapatkan keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya dan jika telah memiliki kemampuan tersebut, maka pekerja akan menambah kemampuan mereka dengan bekerja di outsourcing. “Pekerjaan tersebut akan lebih bermanfaat jika dalam bekerja mampu untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan dari perusahaan yang mereka terima,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Pemohon menghadirkan saksi Moh. Fadli Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso, pekerja pembaca meter PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kepada Majelis Hakim Konstitusi, Fadli dan Yunus mengeluhkan bagaimana susahnya menjadi pekerja outsourcing. Menurut Yunus, sebelum diberlakukan sebagai pekerja outsourcing dirinya menjadi pegawai karyawan koperasi. “Setelah ada aturan baru, kami merasa kurang ada jaminan karena tiap tahun perusahan pemenang tender outsourcing berganti. Sehingga kami seolah-olah menjadi karyawan baru terus menerus,” ucap Yunus.

Yunus menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan yang menaunginya berbeda dalam sistem penggajian. Sejak tahun 2004 sampai sekarang dirinya sudah berganti pada 3 perusahaan, yaitu PT Data Energi Info Media, PT. Bukit Alam Barisani, dan PT Mustika Berkah Abadi. “Pergantian manajemen pemenang outsourcing di PLN ternyata menyebabkan gaji turun. Saya pernah bertanya kepada pihak perusahaan, kenapa harus turun, kan seharusnya naik. Mereka menjawab bahwa mereka punya manajemen sendiri yang berbeda dengan sebelumnya,” jelas Yunus. (Shohibul Umam/mh)


Senin, 04 Juli 2011

Uji UU MK: Sifat Final Putusan MK Dipersoalkan


Jakarta, MKOnline - Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, khusunya menguji UU terhadap UUD, sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat 1 huruf a UU MK, dipersoalkan oleh Salim Alkatiri.

Dalam Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 36/PUU-IX/2011, Salim mendalilkan bahwa ia dirugikan atas berlakuknya Pasal 10 Ayat 1 huruf a tersebut. “Oleh karenanya, saya mengajukan pengujian pasal tersebut ke Mahkamah,” terangnya pada Sidang Pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Senin, (4/7).

Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Fadlil Sumadi selaku pimpinan sidang menegaskan bahwa sidang pendahuluan adalah untuk memberikan nasehat perbaikan permohonan. “Sidang ini untuk menjalankan kewajiban hakim memberi nasihat kepada Pemohon supaya permohonan itu lebih lengkap dan jelas,” terangnya kepada Salim.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Anwar Usman, memberi masukan kepada Pemohon bahwa isi permohonan Pemohon kurang lazim dipakai dalam suatu permohonan pengujian UU. “Seperti segi penulisan huruf yang awal Pasal 10 Ayat 1 A, tetapi paragaraf berikutnya Pasal 10 Ayat 1 F,” jelasnya.

Lebih lanjut Anwar mengatakan, “Pemohon harus menjelaskan lebih rinci terkait legal standing Pemohon dalam permohonan ini.” Menurutnya, walupun Pemohon merasa dirugikan, Pemohon harus melihat hubungan implikasi dengan norma yang dimohonkan untuk dibatalkan.

Hal senada juga disampaikan oleh Achmad Sodiki, selaku hakim anggota. Menurutnya, apabila Pasal 10 Ayat 1 huruf a yang berisi kewenangan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang sifatnya mengikat dan final dibatalkan, maka MK tidak punya wewenang lagi untuk mengadili. “Kalau ada orang lain melakukan pengujian UU, maka ‘MK tolak’ karena Mahkamah tidak mempunyai wewenang lagi, termasuk Bapak,” tegasnya.

Sebelum sidang berakhir, Ahmad Fadlil Sumadi, selaku pimpinan sidang kembali menegaskan bahwa Mahkamah sudah melaksanakan kewajiban untuk memberi nasehat dengan lengkap dan jelas. “Tetapi hak pemohon menggunakan nasihat itu atau tidak. Bapak diberi kesempatan 14 hari untuk memperbaiki permohonanya, tetapi kalau tidak diperbaiki maka hak tersebut tidak berlaku lagi,” terangnya. (Shohibul Umam/mh)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More