Kamis, 30 Juni 2011

BUMN Belum Laksanakan Amanat UU SJSN


Jakarta, MKOnline - BUMN yang ada di Indonesia belum melaksanakan sepenuhnya program jaminan sosial sebagai bagian menyesuaikan amanat dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). 

Hal ini disampaikan oleh Sulastomo sebagai Ahli dari Pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 pada sidang lanjutan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (30/6). Kepaniteraan MK mencatat dengan registrasi dengan Nomor 8/PUU-VIII/2011dengan sebelas Pemohon, yakni Mudhofir, Parulian Sianturi, Edward P. Marpaung, Markus S. Sidauruk, Supardi, Herikson Pakpahan, Zulkifli S. Ekomei, Elly Rosita Silaban, Nikasi Ginting, Ully Nursia Pakpahan, serta Lundak Pakpahan.

“UU No 40/2004 ini menggariskan dua hal agar BPJS Jamsostek itu yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. Dalam hal badan hukumnya sudah harus menyesuaikan diri, selambat-lambatnya tanggal 19 Oktober 2009 karena badan hukum Jamsostek yang diatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, adalah badan hukum PT Persero dan BUMN yang tentu tujuannya mencari untung. Sedangkan menurut Undang-Undang Dasar yang dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, BPJS Jamsostek itu yang harus menyesuaikan diri itu, dia adalah badan hukum nirlaba, gotong-royong, dana amanah, dan dananya sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan peserta, dalam hal ini buruh,” papar Sulastomo di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.

Menurut Sulastomo, Pemerintah sudah melakukan beberapa hal, di antaranya dengan membentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, sambung Sulastomo, seharusnya segera disertai dengan perubahan BUMN menjadi badan penyelenggara jaminan sosial. “Khusus mengenai Jamsostek, mestinya harus sudah mulai mempersiapkan diri untuk melengkapi programnya dengan jaminan pensiun. Dan selain itu, juga menyempurnakan program jaminan kesehatan yang selama ini sudah diberikan, tapi belum sesuai dengan UU No 40/2004. Jadi, untuk PT. Jamsostek, 2 program ini yang harus selayaknya segera dimulai dirintis,” paparnya.

Dalam sidang yang mengagendakan mendengarkan keterang Ahli dan Saksi, Pemohon menghadirkan lima orang saksi, yakni Muhammad Firman, Suwarto, Sukarningsih, Nursana Marpaung, serta Priyo Djatmiko. Kelima saksi Pemohon tersebut menerangkan pentingnya untuk disegerakannya implementasi UU No 40/2004 di lapangan.  

“Karena itu (implementasi UU SJSN, red.) akan lebih meng-cover dan melindungi buruh dalam jangka waktu yang panjang terutama setelah purna tugas. Kemudian ketika dia (buruh, red.) memasuki usia pensiun, dia akan menerima uang pensiun setiap bulannya dan jika dia mengalami sakit setelah dia tidak bekerja itu akan ditanggung oleh negara,” papar Muhammad Firman.

Pada persidangan sebelumnya, Pemohon berpendapat UU Jamsostek bertentangan dengan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Pasalnya, program Jamsostek saat ini tidak mencakup dana pensiun seperti yang diperintahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 yang mengharuskan Jamsostek mencakup program pensiun. “Peserta Jamsostek yang sudah meninggal tidak dapat dana pensiun. Berarti presiden menyengsarakan rakyat yang seharusnya mendapat dana pensiun menjadi tidak dapat dana pensiun. Seperti saya, kalau tidak ada Undang-Undang Jamsostek yang nantinya disesuaikan ini, saya akan pensiun tiga tahun lagi sebagai peserta Jamsostek. Berarti, tiga tahun lagi saya tidak menerima dana pensiun,” jelas Muchtar pada persidangan pertama (24/1) lalu. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5535

Kamis, 23 Juni 2011

Pemerintah: Bidang Perikanan Perairan Laut Indonesia Masuk Objek PBB




Majelis Hakim Konstitusi saat mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah pada sidang uji materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), Kamis (23/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
 Jakarta, MKOnline – Objek usaha bidang perikanan perairan laut wilayah Indonesia, adalah termasuk dalam pengertian bumi sebagai objek PBB, sehingga wajar untuk dikenakan PBB. Di lain pihak, setiap orang pribadi atau badan yang mempunyai suatu hak atau memperoleh manfaat atas perairan laut wilayah Indonesia, ditetapkan sebagai subjek PBB atas objek dimaksud. Paparan disampaikan Endiarto Judowinarso saat didaulat sebagai Ahli Pemerintah dalam sidang pleno pengujian konstitusional materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) di Mahkamah Konstitusi (MK), (Kamis, 23/6/2011). Sidang Pleno yang dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara 77/PUU-VIII/2010 ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah.

Keputusan Diretur Jendral Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998, antara lain mengatur tata cara perhitungan NJOP usaha bidang perikanan laut: 1) NJOP areal penangkapan ikan sebesar 10 kali hasil bersih usaha dalam satu tahun pajak berjalan; 2) NJOP areal pembudidayaan ikan sebesar 8 kali hasil bersih usaha dalam satu tahun pajak berjalan; 3) NJOP areal emplasemen dan areal lainnya sebesar NJOP berupa bumi sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya; dan 4) NJOP berupa pajak berupa bangunan sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik.


Ahli lainnya yang dihadirkan Pemerintah yaitu Suryandto Budisusilo. Penilai Publik ini dalam paparannya menyatakan, perusahaan pemegang SIPI, pada dasarnya adalah pemilik akses untuk eksploitasi pemanfaatan area wilayah laut tertentu, sesuai koordinat yang diberikan Pemerintah. Pemegang SIPI adalah identik para pemegang hak penggunaan lahan di daratan atau di bumi. “Dalam kelaziman internasional, suatu orang atau badan yang memegang hak atau akses penggunaan lahan, dikenakan suatu pajak tertentu atau lazim di luar disebut adalah property tax. Jadi setiap siapa yang menguasasi suatu area tertentu, dia ada wajib terkena suatu property tax atau di Indonesia ini adalah disebutnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan,” papar Suryanto.


Ahli selanjutnya, Makhfatih, menerangkan sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dalam ekonomika publik disebut sebagai common goods, yaitu barang yang rival namun tidak eksklusif. Barang yang bersifat rival adalah barang yang membutuhkan tambahan biaya ketika ketika orang yang mengonsumsinya bertambah. “Barang yang tidak eksklusif adalah barang yang dapat dikonsumsi oleh siapa pun,” terangnya.


Pada tahun 1968, lanjut Makhfatih, Hardin membuat artikel yang bagus sekali berjudul The Tragedy of Commons, mengemukakan bahwa tanpa campur tangan Pemerintah atau campur tangan yang tidak tepat, pengelolaan sumber daya yang bersifat common goods akan berdampak pada kepunahan sumber daya tersebut. Sudah banyak kasus kepunahan dan ancaman kepunahan dialamatkan pada berbagai common goods ini. Penangkapan yang berlebihan menjadi penyebab utama kepunahan dan ancaman kepunahan 10% dari sekitar dari 30.000 ikan yang dikenal di dunia, seperti Ikan Kod di laut utara Kanada, Ikan Sturgeon di Rusia.


PBB Kelautan, menurutnya, dimaksudkan untuk mendorong, menginternalisasikan eksternalitas yang terjadi dan ini dibenarkan dan memiliki dasar teori yang sahih. “Sehingga pemanfaatan sumber daya dari laut dapat secara efisien secara sosial. Kalau ternyata masih terjadi penangkapan ikan yang berlebihan, sangat dimungkinkan karena tarif PBB Kelautan yang masih kurang tinggi,” paparnya.


Ahli Pemerintah selanjutnya, Gunadi. Menurutnya, pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan usaha perikanan laut dan PBB bidang usaha perikanan laut serta PNBP pungutan perikanan laut, merupakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara dan karena itu masing-masing diatur dengan undang-undang. Sehingga secara legalitas formal, telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945.


Menurutnya, secara yuridis tidak ada pajak berganda dari PPH, PBB, dan PNBP pungutan perikanan. Karena jenis pajak dasar hukum pemungutan dan objek pajaknya berbeda. Berlakunya UU Pajak Penghasilan, UU PBB, dan UU Perikanan, serta PNBP adalah bertambahnya jumlah beban yang harus dibayar perusahaan perikanan laut untuk memberikan keringanan atas beban PBB dan PNBP pungutan perikanan. “PBB dan PNBP pungutan perikanan dipungut secara pasti, jelas, dan tidak semena-mena karena dengan undang-undang dan merata kepada semua wajib pajak dengan jumlah yang diketahui dengan jelas dan pasti, sehingga tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” pungkas Gunadi.


Untuk diketahui, uji materi UU PBB ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB. Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5509

Rabu, 22 Juni 2011

Hak Konstitusional Dirugikan, UU Tenaker Kembali Diujikan

Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/6). Tiga pemohon, yakni Ugan Gandar, Eko Wahyu, dan Rommel Antonius Ginting , tercatat dalam buku registrasi perkara Kepaniteraan MK sebagai pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-IX/2011.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, para Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ecoline Situmorang, menyatakan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 155 Ayat (2). Pasal 155 Ayat (2) menyatakan “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”. “Klausula ‘belum ditetapkan’ dalam pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Ada penafsiran yang tidak tegas dalam klausula tersebut. Apakah ‘belum ditetapkan’ itu terbatas pada pengadilan hubungan industrial tingkat pertama atau sampai tingkat kasasi bahkan Mahkamah Agung?” ujar Ecoline.
Ecoline menjelaskan bahwa   Pasal 155 Ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) karena pada implementasinya di lapangan, pasal tersebut menimbulkan dua penafsiran. “Penafsiran pertama, yakni  ‘belum ditetapkan’ berarti hanya sampai pada pengadilan hubungan industrial tingkat pertama. Ada pula penafsiran kedua sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Inilah yang dirasakan oleh Pemohon,” urainya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 155 ayat (2) dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).“Sepanjang klausula 'belum ditetapkan' dalam Pasal 155 ayat (2) ditafsirkan sampai pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Majelis Hakim Panel MK yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva memberikan beberapa nasihat kepada Pemohon. M. Akil Mochtar menyarankan agar Ugan Gandar selaku Pemohon I mengubah kedudukan hukumnya. "Akan lebih baik jika kedudukan hukum (legal standing) diubah menjadi perseorangan warga negara sehingga lebih mudah dibuktikan. Jika menggunakan badan hukum seperti sekarang akan sulit membuktikannya," jelasnya.
Majelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. "Majelis hakim panel sudah memberikan saran sesuai yang diamanatkan UUD 1945. Terserah kepada Pemohon, apakah saran-saran tersebut akan dimasukkan dalam perbaikan," tandas Anwar di akhir persidangan. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5505

Senin, 20 Juni 2011

Masa Jabatan Pengganti Pimpinan KPK Empat Tahun


Jakarta, MKOnline – “Apakah secara konstitusional masa jabatan anggota Pimpinan KPK yang menggantikan anggota yang telah berhenti menurut Pasal 34 UU KPK hanya meneruskan masa jabatan pimpinan yang digantikan atau mendapatkan masa jabatan yang penuh selama empat tahun?” Demikian pokok permasalahan yang hendak dipaparkan Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan pengujian UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Mahkamah dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (20/6/2011) bertempat di ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 34 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya.
Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benar-benar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, jika pimpinan pengganti itu hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan, maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan.
Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD. Pasal 217 ayat (3) UU 27/2009 tentang MPR, DPR dan DPRD yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”.
Masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya dilakukan serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun.
Uji konstitusionalitas Pasal 34 UU KPK ini diajukan oleh Feri Amsari, Ardisal, Teten Masduki, Zainal Arifin Muchtar Husein, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam pengucapan putusan perkara nomor 5/PUU-IX/2011, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar punya pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Akil, materi pasal UU KPK yang diujikan, sama sekali tidak berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon (legal standing). (Nur Rosihin Ana/mh)



Rabu, 15 Juni 2011

Lahan Kelapa Sawit ‘Diambil’ Negara, Pemohon Ujikan UU Kehutanan

Jakarta, MKOnline - Merasa hak miliknya diambil alih oleh Menteri Kehutanan dengan berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad mengajukan pengujian terhadap UU tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 34/PUU-IX/2011 ini pada Rabu (15/6).

Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ali Dharma Utama, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan. Menurut Ali Dharma, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), 28D Ayat (3), serta 28H Ayat (4) UUD 1945. Pasal 4 Ayat 92) UU Kehutanan menyatakan “(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:  (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan”. “Implementasi pasal a quo bisa dipastikan Pemohon terhalang haknya untuk mengelola lahan kepala sawitnya sesuai dengan izin yang telah dimiliki. Oleh karenanya, harus ada uji norma hukum dari pasal a quo terhadap UUD 1945,” jelas Ali Dharma.

Menurut Ali Dharma, pasal a quo memberikan keleluasaan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan sebagai kawasan hutan yang demikian telah memberi peluang kepada Menteri Kehutanan untuk melanggar hukum dengan cara memanipulasi serta merekayasa tanah menjadi alih fungsi yang berada di kawasan luar hutan yang belum menjadi kawasan hutan. Seperti yang terjadi pada tanah perkebunan Pemohon yang berada pada kawasan budidaya pertanian oleh Menteri Kehutanan sudah dialihfungsikan sebagai hutan tanaman industri.

“Kebijakan tersebut melanggar Pasal 5 peraturan pemerintah No.7/1990 bahwa Menteri Kehutanan tidak mempunyai kewenangan mencadangkan HTI di wilayah pertanian. Hal tersebut jelas merugikan hak dan kewenangan konstitusional Pemohon. Masyarakat Provinsi Jambi tertindas dan teraniaya dengan dikeluarkannya kebijakan Menteri Kehutanan melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 1998/Menhut-IV/1997 tersebut,” urainya.

Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan anggota Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Anwar Usman menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonan. Sodiki menjelaskan agar Pemohon memperjelas mengenai kewenangan Pemerintah (Menteri Kehutanan, red.) mengubah kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan telah merugikan Pemohon. “Kalau Saudara ingin Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan dicabut, berarti pasal a quo itu hilang. Pertanyaannya, dalam hal menentukan suatu hutan menjadi kawasan bukan hutan maupun sebaliknya, maka wewenang itu terletak pada siapa? Kalau bukan Pemerintah, lalu siapa yang akan melaksanakan kewenangan ini? Ini perlu diperhatikan. Kemudian, apakah benar kerugian konstitusional Pemohon terlanggar akibat berlakunya Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan atau karena adanya surat keputusan?” tanyanya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertanyakan kepada Pemohon mengenai kaitan Pasal 4 Ayat (2) huruf  b UU Kehutanan dengan Pasal 33 UUD 1945. “Kalau pasal a quo dicabut, bagaimana dengan amanah Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara? Dalam hal ini, pasal a quo menjalankan amanah dari Pasal 33 tersebut melalui Menteri Kehutanan. Secara konstitusional, memang diatur oleh negara. Sesungguhnya, yang Saudara alami adalah kasus konkret. Jika hal itu merupakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang merugikan Saudara, maka wilayahnya adalah PTUN,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5475 

Selasa, 14 Juni 2011

Pemohon Uji Materi UU Peradilan Agama Perbaiki Permohonan

Jakarta, MKOnline - Perkara pengujian Undang - Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2006, kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa 14/6) di ruang sidang Panel MK. Hadir pada kesempatan itu, Pemohon, Suryani, seorang buruh di kawasan Serang, Banten. Dalam permohonannya, Suryani menguji Pasal 49 ayat (1) UU tersebut.

Pasal tersebut berbunyi, ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi syari’ah.”

Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun MK menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam sidang mendengarkan perbaikan permohonan kali ini, Pemohon menegaskan bahwa dirinya tidak mengubah banyak pokok-pokok permohonannya. “Tidak ada perubahan yang berarti,” katanya. “Hanya beberapa penyesuaian saja sesuai saran Majelis Hakim,” lanjutnya.

Ia meyakini, permohonannya telah cukup argumentatif dan dapat meyakinkan Mahkamah untuk menerima dalil-dalilnya. “Argumentasi sudah sesuai dengan logika hukum, logika akal, logika agama, dan logika sejarahnya pun sudah ada,” tegasnya kepada Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Ia berharap, MK tidak menolak permohonannya kali ini dengan alasan yang sama. “kalau pun saya salah, tolong dijelaskan salahnya dimana,” katanya. Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun MK menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam permohonannya, Pemohon berpandangan, pasal yang diuji tersebut telah merugikan haknya karena membatasi dirinya atau bahkan seluruh umat Islam, untuk melaksanakan syari’at Islam (baca: hukum pidana Islam). Atau dengan kata lain, dengan berlakunya pasal tersebut, maka telah mengakibatkan dirinya tidak dapat melaksanakan ibadah, yakni berupa pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam. “Menjalankan hukum pidana Islam adalah ibadah, dan semua ibadah harus dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam sidang Pendahuluan, Rabu (25/5) di ruang sidang panel MK.

Ia berkesimpulan, dengan rumusan pasal seperti itu, haknya untuk melaksanakan ibadah, dengan menerapkan hukum pidana Islam, tidak terpenuhi. Pasal tersebut hanya memberi pengakuan atas hukum perdata Islam, bukan hukum pidana Islam. “Kenapa hanya perdata Islam saja. Kenapa ada pembatasan? Kenapa ada amputasi?” imbuhnya. “Pembatasan itu bertentangan dengan UUD 1945,” pada sidang pendahuluan.

Namun, sebelum persidangan ditutup, Hakim Konstitusi Muhammad Alim, selaku Anggota Panel, mengingatkan Pemohon. Alim menjelaskan, berdasarkan Pasal 60 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. “Kecuali ada alasan lain,” tegasnya. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5467

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More