Senin, 30 Mei 2011

UU Dana Pensiun Diskriminatif Terhadap Pegawai BUMN

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU Dana Pensiun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (30/5), di Ruang Sidang Pleno MK. Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 25/PUU-IX/2011 adalah Hasanuddin Shahib, Kusnendar Atmosukarto, dan Suharto yang merupakan pensiunan PT Telkom.

Pemerintah yang diwakili oleh Mulabasa Hutabarat menjelaskan permohonan Pemohon tidak jelas dan kabur (obscuur libel). Menurut Mulabasa, dalam positanya, Pemohon juga memohonkan pengujian terhadap peraturan di bawah perundang-undangan, yakni surat Dirut PT Telkom Nomor 485/PS.560/SDM-30/2004 tertanggal 30 Juni 2004. “Pemerintah tidak mendapat gambaran jelas yang menyalahi keberlakuan Pasal 27 Ayat (1) UU Dana Pensiun. Apalagi mengenai dalil Pemohon mengenai adanya kesewenangan dan ketamakan dari peserta. Peserta yang manakah yang dimaksudkan oleh Pemohon? UU Dana Pensiun menjalankan amanah yang diberikan oleh UUD 1945,” urainya.

Pemerintah, lanjut Mulabasa, mempertanyakan tentang kedudukan hukum Pemohon. “Pemerintah menganggap hak konstitusional Pemohon tidak terlanggar akibat keberlakuan Pasal 27 Ayat (1) UU Dana Pensiun. Kami melihat tidak ada causa verband dengan kerugian yang dialami Pemohon. Untuk itu, sepatutnya Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima atau ditolak,” urainya.

Sementara itu, Rianto yang merupakan saksi Pemohon menegaskan bahwa Pasal 27 Ayat (1) UU Dana Pensiun bersifat diskriminatif terutama pada pensiunan PT Telkom per 2001. “Hal ini sebagai dampak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1992 atau UU Dana Pensiun. Terlihat jelas Pasal 27 Ayat (1) UU Dana Pensiun tidak tegas dalam menerapkan rumusan pensiun,” tuturnya.

Hal serupa disampaikan Ahli Pemohon, M. Gamar. Dalam keterangannya, Gamar menuturkan UU Dana Pensiun tidak memenuhi beberapa syarat perundangan, diantaranya dari segi yuridis, sosiologis, dan filosofis. Dari segi yuridis, lanjut Gamar, UU Dana Pensiun tidak memiliki landasan yuridis dan bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasa 28D Ayat (1) UUD 1945. “Secara filosofis, UU Dana Pensiun memiliki lebih banyak keburukan daripada kebaikan  dengan membedakan pensiunan PNS dan pegawai BUMN. Hal ini menyebabkan keterpurukan dalam masalah pensiun,” paparnya.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi “Peserta yang pensiun pada usia pensiun normal atau setelahnya, berhak atas manfaat pensiun yang dihitung berdasarkan rumus pensiun yang berlaku bagi kepesertaannya sampai saat pensiun”. (Lulu Anjarsari/mh)

Rabu, 25 Mei 2011

Pengujian UU MD3: Ahli Pemohon Batal Hadir

Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) kembali digelar Mahkamah Konstitusi, Rabu (25/5), di Ruang Sidang Pleno MK. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 21/PHPU.D-IX/2011 tersebut.

Dalam sidang mendengarkan keterangan Ahli/Saksi Pemohon, Ahli Pemohon tidak bisa hadir dalam persidangan tersebut. “Kami mohon maaf karena adanya perpindahan jadwal sidang, maka Ahli Pemohon tidak dapat hadir. Untuk itu, kami mohon agar Yang Mulia memberikan izin, kalau bisa kesaksian dikirim secara tertulis,” urai Anthon tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD, menyetujui permohonan Pemohon untuk menyampaikan keterangan Ahli secara tertulis. “Ditunggu kesaksian tersebut sampai 1 Juni 2011 pada jam kerja, agar memberi kesempatan pada pemerintah untuk menyanggah. Sesudah itu, nanti saudara diminta mengirim kesimpulan ke sini pada Rabu, 8 Juni 2011. Sidang berikutnya pengucapan vonis tanpa ada lagi sidang pembuktian,” tandas Mahfud.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 354 ayat (2) UU No.27/2009. Pasal 354 ayat (2) menyatakan bahwa “Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota”. Menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD RI Tahun 1945. Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai perseorangan kewarganegaraan mengungkapkan bahwa Pasal 354 ayat (2) UU No.27 /2009 mengandung multitafsir.

Pemohon menilai Pasal 354 ayat (2) memungkinkan pengisian Kursi Pimpinan DPRD secara berlaku surut dan membuka peluang penafsiran penetapan pimpinan DPRD dapat diganti dalam satu periode dengan Partai Politik yang berbeda apabila partai politik yang sementara menempati unsur pimpinan DPRD terjadi pengurangan jumlah kursi karena pengalihan kursi ke daerah pemilihan yang telah menjadi Kabupaten Otonom yang terbentuk sebelum Pemilu Tahun 2009, dan hal penggantian tersebut tidak memenuhi unsur dalam ketentuan Pasal 45 dan Pasal 42 PP 16 Tahun 2010. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5410

PUU Peradilan Agama: Lagi, Pemohon Minta Diberlakukan Pidana Islam

Jakarta, MKOnline - Suryani, seorang buruh di kawasan Serang, Banten, melakukan uji materi terhadap Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini telah diubah melalui UU No. 3/2006. Sebelumnya, pada 2008, dia telah melakukan uji materi terhadap pasal yang sama, yakni Pasal 49 ayat (1) namun Mahkamah Konstitusi menolaknya. Alasan MK saat itu, ketentuan pasal yang diuji tersebut sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal yang diuji tersebut berbunyi, ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi syari’ah.”

Menurut Suryani, permohonannya kali ini berbeda. Salah satu alasan pembedanya adalah batu uji yang digunakan. Dalam uji materi kali ini, Suryani menambahkan satu ayat dalam  UUD 1945 untuk menguji konstitusionalitas pengaturan tentang kewenangan Pengadilan Agama (PA) tersebut. Dalam permohonannya, ia menggunakan batu uji Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), (2) dan (4) serta Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Suryani berpandangan, pasal tersebut telah merugikan haknya karena telah melakukan pembatasan, terhadap dirinya atau bahkan seluruh umat Islam, untuk melaksanakan syariat Islam (baca: hukum pidana Islam). Atau dengan kata lain, dengan berlakunya pasal tersebut, maka telah mengakibatkan dirinya tidak dapat melaksanakan ibadah, yakni berupa pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam. “Menjalankan hukum pidana Islam adalah ibadah, dan semua ibadah harus dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam sidang Pendahuluan, Rabu (25/5) di ruang sidang panel MK.

Ia berkesimpulan, dengan rumusan pasal seperti itu, haknya untuk melaksanakan ibadah, dengan menerapkan hukum pidana Islam, tidak terpenuhi. Pasal tersebut hanya memberi pengakuan atas hukum perdata Islam, tidak hukum pidana Islam. “Kenapa hanya perdata Islam saja. Kenapa ada pembatasan? Kenapa ada amputasi?” imbuhnya. “Pembatasan itu bertentangan dengan UUD 1945.”

Menurutnya, pemberlakuan dan penerapan hukum pidana Islam sama saja dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti sholat misalnya. Toh, menurut dia, penerapan hukum pidana Islam tidak mengikat bagi non-muslim. Sehingga, kalangan non-muslim tak perlu takut akan pemberlakuan hukum Islam. Tidak ada prinsip ibadah manapun yang bertentangan dengan pemberlakuan hukum pidana Islam. “Prinsip keragaman mana yang dilanggar oleh hukum Islam,” tegasnya setengah bertanya.

Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman pun memberikan beberapa saran atas permohonan itu. Salah satunya dari Anggota Panel, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Sodiki mengingatkan, jika permohonan dikabulkan maka konsekuensinya adalah PA tidak berwenang lagi menyelesaikan persoalan-persoalan perdata Islam sebagaimana telah diatur dalam Pasal tersebut. “Pikirkan lagi secara tenang,” pesannya.

Anggota Panel lainnya, Hakim Konstitusi Muhammad Alim pun mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. “Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan Pancasila,” katanya. Meskipun ia mengakui bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk pemeluk agama Islam. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5411

Mahkamah Agung Otonom Kelola Anggaran


Pemohon Prinsipal, Teguh Satya Bhakti dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) terhadap Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Rabu (25/5) di Ruang Sidang Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang bebas berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu dalam hal organisasi, administrasi, dan finansial. Dalam hal finansial, anggaran Mahkamah Agung (MA) diatur dalam ketentuan Pasal 81A ayat (1) UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), menyatakan bahwa anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

“Jadi secara eksplisit pasal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung Memiliki otonomi pengelolaan anggaran meliputi hak kewenangan dan kewajiban dalam pengelolaan anggaran,” kata Teguh mendalilkan.

Demikian dalil yang disampaikan Teguh Satya Bhakti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/5/2011). Teguh memohonkan pengujian Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) terhadap Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, materi UU Keuangan Negara yang diujikan Teguh yaitu Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara menyatakan: “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”

Di depan Panel Hakim, lebih lanjut Teguh yang berprofesi sebagai Hakim PTUN Semarang ini menyatakan, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara tersebut telah mengesampingkan esensi kemandirian kekuasaan kehakiman dalam mengelola anggarannya tersendiri. Hal ini disebabkan karena frasa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) telah membuka penafsiran bahwa semua pengelolaan anggaran Kementerian Negara atau Lembaga Negara, termasuk MA berada di bawah kekuasaan Presiden. “Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem katatanegaraan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, kedudukan Mahkamah Agung, yudikatif merupakan lembaga negara yang berbeda dengan kementerian negara sebagai badan yang berada di bawah presiden atau eksekutif,” tandas Teguh yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum.

Berlakunya ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara tersebut, dalil Teguh, tidak memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi anggaran MA. Hal ini dapat dilihat dari besarnya proporsi kewenangan Pemerintah dalam menentukan pagu anggaran MA. Wewenang pengelolaan anggaran oleh Pemerintah, baik dalam perencanaan dan penganggaran maupun dalam pembahasannya dengan DPR, secara esensial tidak menempatkan MA secara khusus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, sebagai salah satu lembaga penerima anggaran. Selain itu, walaupun demikian baiknya perencanaan yang dibuat oleh MA, bukan jaminan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Mahkamah Agung akan memadai. Karena apa yang sudah direncanakan belum tentu akan disetujui oleh Pemerintah dan DPR.

Ketergantungan ini mengakibatkan minimnya anggaran yang disediakan negara kepada MA. Hal ini secara langsung berdampak sistemik pula terhadap anggaran yang diberikan kepada pengadilan-pengadilan yang berada di bawah MA, termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, tempat Teguh bertugas. “Keadaan ini selanjutnya menyebabkan kerugian bagi Pemohon ketika menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang hakim,” jelas Teguh menjelaskan kerugian konstitusionalnya.

Sidang kali kedua dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Ahmad Sodiki sebgai Ketua Panel, didampingi Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman. Panel Hakim kembali menasihati Teguh mengenai materi pasal yang diujikan dan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Panel Hakim juga menyarankan Teguh agar mempertegas kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya pasal yang diujikan. Terakhir, mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)

Senin, 23 Mei 2011

Penggantian Pimpinan KPK Seharusnya Meniru Penggantian Hakim Konstitusi

Jakarta, MKOnline - Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) harus dijelaskan dalam perspektif hukum tata negara. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra ketika menjadi ahli dalam sidang pengujian UU KPK yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/5), di Ruang sidang Pleno MK. Para pemohon ini, yakni Feri Amsari, Ardisal, Teten Masduki, Zainal Mochtar Husein, dan Indonesian Corupption Watch (ICW). Perkara ini teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 5/PUU-IX/2011.

Menurut Saldi, siapa saja pimpinan KPK, maka masa jabatannya harus  empat tahun, walaupun ia diangkat dari awal ataupun terjadi proses penggantian di tengah jalan. “Saya berpendirian orang yang melanjutkan atau menggantikan pimpinan KPK, harus menjabat sesuai dengan pimpinan yang lain. Hal ini mengandung pengertian, kalau dia diangkat setelah periode yang normal itu berjalan dua atau tiga tahun, maka kemudian dia harus dihitung empat tahun dari periode pengangkatannya ketika menggantikan posisi tersebut,” ujar Saldi.

Selain itu, Saldi memaparkan cara penggantian pimpinan KPK tersebut bisa ditiru dari cara penggantian hakim konstitusi. “Beberapa waktu lalu Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi mengundurkan diri, dan hakim konstitusi pengganti memiliki masa jabatan 5 tahun, tidak melanjutkan masa jabatan bapak Arsyad,” terangnya.

Saldi juga membandingkan dengan jabatan anggota DPR yang bersifat pergantian antarwaktu. Menurut Saldi, jadi pengganti menghabiskan sisa masa jabatan yang ditinggalkan oleh anggota DPR sebelumnya. “Makanya kemudian orang yang menggantikan untuk anggota DPR itu adalah orang yang mempunyai suara terbanyak berikutnya. Seharusnya kalau konsep ini yang digunakan untuk menggati pimpinan KPK, mestinya tidak dilakukan pemilihan baru. Tapi orang yang memperoleh urutan nomor 6 di DPR tempo hari,” urainya.

Menurut Saldi, karakter lembaga negara independen seperti KPK pada umumnya di berbagai negara pergantian pimpinan tidak dilakukan secara serentak. Untuk itulah, lanjut Saldi, MK sesuai dengan posisinya dapat menguatkan pola pergantian tersebut. “Sehingga nanti kelau ada empat komisioner KPK berhenti, masih ada komisioner yang berkesinambungan. Selain itu, untuk pemberhentian, kekuasaan termasuk kekuasaan eksekutif tidak bisa mempengaruhi. Kalau pola yang sekarang terus dipertahankan, akan berakibat pada kesinambungan serta efisiensi pengisian jabatan tersebut,” lanjutnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menganggap hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 34 UU KPK. Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan materi muatan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang ditafsirkan secara keliru oleh DPR-RI dalam tahapan fit and proper test untuk memilih satu pengganti pimpinan KPK. Pemerintah melalui Panitia Seleksi Pimpinan KPK juga telah menafsirkan dan merekomendasikan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun. Tafsir ini didasarkan atas penafsiran secara sistematis terhadap Pasal 21, Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR-RI tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan masa jabatan Pengganti Pimpinan KPK dan hanya berwenang memilih calon pimpinan yang diajukan oleh Presiden, hal tersebut berdasarkan Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK sama sekali tidak membeda-bedakan pimpinan pengganti dengan pimpinan yang digantikannya, hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang menjelaskan tentang prosedur pengajuan calon penggantian pimpinan KPK. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5407

Rabu, 18 Mei 2011

Saksi Pemohon Keberatan Bayar Premi Asuransi Jamsosnas


Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan saksi terkait perkara Pengujian Materi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), Rabu (18/5).

Jakarta, MK Online – Uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/5/2011). Perkara yang teregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Dewan Kesehatan Rakyat, Perkumpulan Serikat Rakyat Miskin Kota, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, dan enam pemohon perseorangan yang merupkan pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Sidang kali keempat ini mengagendakan mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon. Dalam keterangannya di depan Pleno Hakim MK, saksi bernama Rosidah mengatakan membayar Askes Rp 26.000,00 dalam satu bulan. Namun tidak semua anggota keluarganya yang berjumlah empat orang, dijamin oleh Askes. Selain itu, Rosidah masih dikenakan biaya berobat oleh Rumah Sakit atau Puskesmas. Misalnya untuk cek darah, dikenakan biaya Rp 15.000,00. “Katanya untuk beli jarum, musti beli. Terus, kalau periksa darah, kalau umum, Rp. 20.000,00, kalau yang pake Askes, bayar Rp. 15.000,00,” katanya.
Selanjutnya, kuasa hukum Pemohon, Hermawanto, menjelaskan kepada saksi mengenai keberadaan UU SJSN. “Sekarang ada Undang-Undang SJSM, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004. Dalam undang-undang itu ditegaskan, untuk bisa mendapatkan jaminan, harus membayar premi asuransi. Apakah Ibu bersedia, membayar premi asuransi?” tanya Hermawanto. “Kagak, Pak,” jawab Rosidah singkat. Rosidah keberatan jika harus membayar lagi karena untuk kebutuhan harian, dia mengaku sudah pas-pasan. Uang pensiun dari suaminya di TNI AD, tiap bulan secara otomatis dipotong Rp. 26.000,00 untuk Askes.

“Ibu senang enggak, Ibu uangnya dipotong Rp. 26.000,00, sementara tetangga Ibu bisa dapat Gakin, dapat SKTM, dan gratis ketika di Rumah Sakit,” tanya Hermawanto. ”Sejujurnya saya enggak senang, ada Askes kok, kadang-kadang saya masih bayar,” jawabnya.
Saksi Pemohon berikutnya yang diminta keterangannya yaitu Amiruddin. Pengguna kartu Jamsostek ini tiap bulan harus merelakan gajinya gajinya sejumlah Rp. 1.100.000 dipotong Rp. 19.000. “Pernahkah Saudara menggunakan kartu Jamsostek?” tanya Hermawanto. “Pernah, ketika saya kecelakaan,” jawab Amiruddin.
Menurut penuturan Amiruddin, akibat kecelakaan itu, ia masuk rumah sakit dengan total biaya Rp. 36.000.000,00-an. Dari jumlah biaya tersebut, pihak Jamsostek hanya menanggung Rp.12.000.000,00. “Waktu itu saya mengalami kecelakaan, kaki sama tangan saya patah, pulang kerja, enggak jauh dari tempat kerja,” terang Amiruddin.
Senada dengan jawaban Rosidah, Amiruddin yang berpenghasilan pasa-pasan, juga keberatan jika harus membayar premi asuransi untuk mendapatkan jaminan sosial dari negara. “Apakah Anda sepakat kalau Anda ditarik untuk bayar premi asuransi?” tanya Hermawanto. “Kalau seperti Jamsostek, saya enggak setuju, percuma. Saya tiap bulan bayar, tapi, enggak dijamin 100%,” jawabnya. Hal ini menurutnya, sama dengan pengguna SKTM, yaitu ditanggung 50%.
Untuk diketahui, Pemohon dan dalam permohonannya mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 17 UU SJSN. Pasal 17 UU SJSN menyatakan “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu; (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala; (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.” (Nur Rosihin Ana/mh)

Senin, 16 Mei 2011

Pahlawan Nasional Tidak Layak untuk Koruptor dan Pelaku Pelanggar HAM

Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan, kamis (16/5). Sidang panel yang diperluas ini dipimpin oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD. Sidang beragendakan mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Beberapa saksi mengemukakan kriteria pahlawan nasional dan menyatakan koruptor dan pelaku pelanggar HAM tidak boleh dan tidak layak ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.

Sidang perkara ini dimulai pukul 10.00 WIB yang dihadiri Pemohon prinsipal, AH. Wakil Kamal. Pemohon didampingi kuasa hukumnya, yaitu Gatot Goe, Guntoro, Putri Kanesia,  Yati Andriyani, M. Daud Bereuh, dan Indria Fernida. Pemohon pada persidangan kali ini menghadirkan ahli bernama Asvi Warman Adam yang merupakan seorang sejarawan. Pihak Pemohon juga menghadirkan seorang saksi yang juga merupakan korban penculikan pada tahun 1998, yaitu Mugiyanto.

Pihak Pemerintah diwakili dengan hadirnya Mualimin Abdi (Kementerian Hukum dan HAM),  Bhakti Nusantoro (Kepala Pusat Kajian Hukum Kementerian Sosial), Rusli Wahid (Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Kemiskinan), A. Afandi (Brigadir Jenderal, Kepala Biro Hukum Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan), Marsma Aris Santoso (Direktur SDM Kementerian Pertahanan), Budi Harsoyo (Karo. Hukum Kementerian Pertahanan), Heni Susila Wardaya (Kementerian Hukum dan HAM). Pemerintah juga menghadirkan dua orang ahli, yaitu Bambang W. Soeharto (politisi) dan Abdul Syukur.

Saksi Pemohon, Mugiyanto sebagai Ketua Ikatan Keluarga Hilang Indonesia sekaligus korban penculikan aktivis tahun 1998 menceritakan pengalamannya. Tahun 1998, saat peristiwa penculikan terhadap dirinya terjadi, Mugiyanto masih menjadi mahasiswa di UGM dan menjadi aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.

Mugiyanto kemudian mengungkapkap bahwa pada tanggal 13 Maret 1998, ia diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal di daerah Klender, Jakarta Timur. Oleh penculik itu kemudian Mugiyanto dibawa ke suatu rumah lalu mampir Koramil Duren Sawit. Dengan mata tertutup, Mugiyanto tidak mengetahui lagi di mana keberadaannya. Kemudian Mugiyanto mengatakan dirinya dibawa ke suatu tempat dan tinggal di tempat itu selama dua hari dengan tidak hentinya diintrograsi, disekap, dan disiksa.

Dua hari kemudian, tepatnya pada 15 Maret 1998, Mugiyanto mengatakan dirinya diserahkan ke Polda Metro Jaya dan penutup matanya dilepaskan. Selama di Polda Metro Jaya Mugiyanto ditahan dan dijerat dengan pasal-pasal anti-subversif hingga dibebaskan pada 6 Juni 1998.

Menurut Mugiyanto, Komnas HAM telah mendokumentasikan jumlah orang hilang pada tahun 1998. Terdapat 23 korban penghilangan paksa yang satu diantaranya ditemukan meninggal, 9 orang sudah dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang sampai hari ini. Peristiwa yang dialami Mugiyanto membuatnya ”tidak rela” kalau gelar pahlawan diberikan kepada orang yang pernah terlibat atau bertanggung jawab pada pelanggaran HAM. Terlebih, bila orang yang dianugerahi gelar pahlawan tersebut belum mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya secara hukum.

“Hal tersebut (pemberian gelar pahlawan, red), menurut saya akan menghalangi dipenuhinya hak-hak korban yang adalah warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, menurut saya sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru, mereka yang pada masa lalu pernah terlibat atau bertanggung jawab atas tindak pelanggaran hak asasi manusia, tidak bisa mendapatkan gelar pahlawan,” tegas Mugiyanto.

Kriteria Pahlawan
Asvi Warman Adam, Ahli dari Pemohon mendapat kesempatan menyampaikan keterangan di hadapan Panel Hakim. ”Sejak dari tahun 1959 sampai sekarang, selama 51 tahun sudah diangkat 150 orang pahlawan. Jadi kalau dipukul rata, satu tahun tiga orang yang menjadi pahlawan. Tapi yang menarik itu adalah pada masa Orde Lama dan Orde Baru, itu yang diangkat sekitar 100 pahlawan, sedangkan pada masa reformasi yang hanya waktu sekitar 10 tahun, itu 50 pahlawan,” papar Warman terkait jumlah orang yang diberi gelar pahlawan.

Pada masa Orde Lama, kriteria pemberian gelar pahlawan kepada seseorang menurut Warman Adam ada dua sesuai Penetapan Presiden Nomor 33 Tahun 1964. Pertama, Warga Negara RI yang gugur di dalam perjuangan yang bermukim di dalam membela bangsa dan negara. Kedua, Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara, tidak ternoda dengan perbuatan yang membuat cacat perjuangannya. Lebih lanjut, Warman menjelaskan penggunaan istilah ternoda dan cacat sengaja digunakan pada masa Orde Lama dan Orde Baru untuk menghalangi orang yang layak menjadi pahlawan nasional, namun tidak disukai pemerintah.

Setelah UU Penetapan Presiden Nomor 33 Tahun 1964 dicabut dan digantikan dengan UU No. 20 Tahun 2009, kriteria pahlawan diubah juga. Pahlawan dalam UU No. 20 Tahun 2009, yaitu warga negara atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan yang gugur atau meninggal demi membela bangsa dan negara dan semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan serta berprestasi luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara.

“Kriteria ini sangat-sangat umum sehingga memungkinkan orang-orang yang memunyai beberapa aspek yang negatif mungkin juga terpilih sebagai pahlawan. Padahal, di dalam kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pahlawan itu adalah orang yang berani melakukan pengorbanan untuk menegakkan kebenaran. Jadi, keberanian, pengorbanan, dan menegakkan kebenaran yang benar, bukan membela yang bayar. Itu juga merupakan ciri dari pahlawan. Semestinya, kriteria keberanian, pengorbanan, dan kebenaran atau penegakkan kebenaran itu dimasukkan juga di dalam kriteria calon atau pahlawan nasional,” tegas Marwan yang kerap kali menjadi ahli dalam pelbagai persidangan.

Seorang koruptor dan pelaku pelanggaran HAM berat menurut Warman juga tidak boleh menjadi pahlawan nasional. Sebelum mengakhiri keterangannya, Warman mengatakan seseorang yang menyeleksi gelar kepahlawanan yang hendak diberikan haruslah berlatar belakang sejarah dan orang yang mengerti atau memahami tentang gelar tanda jasa dan tanda kehormatan. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5483

Rabu, 11 Mei 2011

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing Bentuk Perbudakan Modern

Jakarta, MKOnline - Pengujian UU (PUU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memasuki sidang kedua dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Rabu (11/5) pukul 14.00 wib. Yang diujikan adalah Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.

Pemohon adalah Didik Supriyadi, Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) di Surabaya, Jatim. Dalam persidangan, kuasa hukum Pemohon memaparkan perbaikan-perbaikan permohonan. Yakni, jika sebelumnya hanya mengujikan satu pasal, yaitu Pasal 59 ayat (1) UU a quo, kali ini Pemohon menambahkan lagi pasal yang diujikan.

Yang ditambahkan adalah Pasal 64 UU 13/2003 berbunyi “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. “Istilah untuk Pasal 64 itu biasanya disebut dengan istilah outsourcing. Kami mengujikan pasal ini karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,” tutur kuasa hukum Pemohon.

Perbaikan lainnya, yakni mengenai alasan pengujian yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon. “Dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing, buruh atau pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas dan barang dagangan. Buruh dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar. Tidak menutup kemungkinan anak cucu kita nanti hanya akan menjadi budak di negeri sendiri,” terang kuasa hukum Pemohon.

Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing juga hanya ditempatkan sebagai faktor produksi semata. “Nanti kalau tidak dibutuhkan lagi, mereka akan diputuskan kontraknya. Mereka hanya sapi perahan para pemilik modal. Padahal UUD 1945 mengatakan perekonomian disusun atas asas kekeluargaan. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,” tambahnya.

Selain itu, Pemohon dalam perbaikannya juga menegaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing adalah bentuk perbudakan modern. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyarankan Pemohon menghadirkan Ahli yang kuat dan mempunyai pandangan luas untuk memperkuat permohonannya. (Yazid/mh)
 

Selasa, 10 Mei 2011

Asas UU Perkebunan, Ideal Tapi Abstrak


 Ahli dari Pemohon Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH, saat memaparkan keahliannya dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2), Selasa (10/5), di ruang sidang Pleno Gedung MK.

Jakarta, Mkonline – Asas-asas pembangunan perkebunan sudah cukup ideal, yaitu asas manfaat, berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, berkeadilan. Namun asas itu masih abstrak dan baru akan menjadi konkret setelah diredaksikan dalam norma. “Nah, apakah sekarang asas-asas ini terwujud dalam norma-norma pasal-pasal selanjutnya?”

Demikian dikatan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH, saat didaulat menjadi Ahli dari Pemohon dalam sidang uji materi UU Perkebunan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (10/5/2011), bertempat di ruang sidang Pleno MK. Sidang kali kelima ini beragendakan mendengar keterangan Ahli.

Permohonan perkara nomor 55/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 18/2004 tentang Perkebunan ini diajukan oleh Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling. Japin dkk. merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.” Menurut Pemohon, ketentuan pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.

I Nyoman Nurjaya dalam keterangannya menyatakan, paradigma pembangunan nasional sampai sekarang masih dianut adalah economic growth development, pembangunan yang diorientasikan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Berfokus kepada target pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan aspek proses pembangunan. “Paradigmanya menurut saya tidak salah, tetapi harus dilihat ada dimensi target dan dimensi proses. Nah, yang selama ini yang saya cermati, termasuk juga dukungan hukumnya lebih mengutamakan dimensi targetnya dan mengabaikan dimensi prosesnya,” paparnya.

Lebih lanjut Nyoman berbicara mengenai implikasi pembangunan dengan mengabaikan keseimbangan tujuan pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Fokus pertumbuhan ekonomi pada target berorientasi eksploitasi. Kemudian salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah prosesnya. Wujudnya, mengabaikan, menggusur, memarjinalisasi hak ekonomi sosial dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat adat yang berada di dalam kawasan usaha-usaha untuk memanfaatkan sumber daya alam. “Nah ini yang saya sebut dalam politik pembangunan hukum Indonesia, sebagai political of ignorance (politik pengabaian). Politik pembangunan yang penuh nuansa pengabaian dan penggusuran, biasanya dikemas dengan nama, atas nama atau demi pembangunan nasional. Dan kemudian, akan muncul pembangunan yang sarat dengan konflik nilai, norma, kepentingan,” tambah Nyoman.

Menurutnya, kewajiban hukum yang mendahului pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan menjadi kewajiban yang harus dilakukan dan tujuannya untuk mencapai kesepakatan, sehingga status tanahnya jelas. Kalau itu belum diselesaikan, ada reaksi, resistensi dari masyarakat yang hak-haknya dilanggar. “Dan itu menjadi hal yang bisa kita cermati bersama di berbagai daerah. Bagaimana resistensi dari masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar, tetapi kemudian dalam undang-undang ini dikriminalisasi,” terangnya.

Sementara Ahli dari Pihak Terkait, Sosiolog Prof. Afrizal memaparkan hasil penelitiannya yang memperlihatkan penyebab langsung perlawanan penduduk berkaitan dengan mekanisme pengambilalihan atau penyerahan lahan ulayat penduduk nagari. Biasanya masyarakat hukum adat punya mekanisme internal penyerahan hak wilayah. “Dalam penelitian saya, saya menemukan kesepakatan yang disebut sebagai kesepakatan itu sebenarnya melanggar mekanisme adat yang telah berlaku. Oleh sebab itu, sepertinya praktik-praktik pengambilalihan lahan hak wilayah yang dipraktikkan selama ini agak berlawanan dengan Pasal 9 ayat (2),” terangnya.

Menurutnya, tindakan perusakan yang dilakukan warga sekitar perusahaan perkebunan atau industri pengolahan hasil perkebunan, tidak selalu wajar untuk dikriminalisasi dan dikenai sanksi pidana. Karena perbuatan mereka di banyak tempat merupakan dari strategi perjuangan anggota masyarakat hukum adat memperjuangkan hak-hak atas tanah ulayat mereka. “Biasanya perbuatan merusak atau mengganggu kegiatan perusahaan mereka lakukan setelah usaha-usaha lobby dan pengaduan kepada aparat pemerintah tidak membuahkan hasil,” tandasnya. (Nur Rosihin Ana/mh)

Senin, 09 Mei 2011

Pemerintah Nilai PHK Karyawan Hotel Papandayan Bandung Tak Tepat

Jakarta, MKOnline – Berdalih renovasi untuk meningkatkan kualitas Hotel Papandayan Bandung dari bintang empat menjadi bintang lima, berakibat di-PHK-nya karyawan. Padahal, di antara karyawan ada yang sudah bekerja selama 20 tahun di hotel tersebut.
Di antara mereka yang di-PHK, Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih dan Bambang Mardiyanto. Ketiganya mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker). Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).”
Pada Senin (9/5/2011), untuk kali ketiga MK menggelar sidang yang dimohonkan oleh Asep Ruhiyat dkk. Sidang Pleno MK yang dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi dan Ahli Pemohon.
Di hadapan Majelis Hakim, Sunarno, Kuasa Hukum Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyatakan, pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh, serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah PHK yang semena-mena, maka Pemerintah melalui UU Tenaker telah mengatur bahwa pengusaha tidak dapat melakukan PHK tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah batal demi hukum,” tegas Sunarno
Sunarno yang menjabat Kepala Biro Hukum Kemenakertrans ini menambahkan, sebagaimana diketahui, Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Saat ini, lembaga tersebut telah terbentuk di seluruh Indonesia.

Larangan PHK
Ketentuan dalam UU Tenaker mengatur tentang  larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Selain itu, mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mem-PHK, beserta besaran hak-hak pekerja buruh yang terkena PHK serta proses penyelesaian hubungan kerja.
Sebelum pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terang Sunarno, maka maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja, serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. “Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” urainya.
Mengenai hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, besarannya berbeda antara perusahaan tutup karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur) dengan perusahaan tutup karena perusahaan tersebut melakukan efisiensi. Pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa, maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Sedangkan bagi pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, maka berhak atas uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Adanya perbedaan besaran hak tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pekerja buruh yang di-PHK karena perusahaan tutup, merugi atau keadaan memaksa atau (force majeur) dan perusahaan tutup karena alasan lain.
Tak Tepat
Tindakan PHK dengan alasan efisiensi perusahaan saat terjadi renovasi Hotel Papandayan Bandung, menurut Pemerintah, dapat dimungkinkan operasional perusahaan tersebut berhenti. Namun terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tersebut tutup. “Sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah tidak tepat,” tegas Sunarno.
Namun, Menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker telah menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak terbukti. Karena yang terjadi adalah pengusaha yang dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan Bandung, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai, para Pemohon dapat melakukan upaya hukum yang tersedia. Sehingga menurut Pemerintah, hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas keberlakuan norma UU Tenaker.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon Majelis Hakim Konstitusi agar menolak seluruh permohonan atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Selain itu, menyatakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Namun demikian, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya,” kata Sunarno berharap.  (Nur Rosihin Ana/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5369

Kamis, 05 Mei 2011

PUU Advokat: Ahli Nyatakan Wadah Tunggal Konstitusional

Jakarta, MKOnline - Tujuan pembentukan Undang-Undang No. 18/2003 tentang Advokat adalah untuk mewujudkan organisasi advokat yang kuat dan mandiri. Karena, advokat setara dengan para penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa dan hakim. Oleh karenannya, pengangkatan advokat diserahkan kepada organisasi advokat. “Agar tidak ada intervensi oleh negara,” ujar Yusril Ihza Mahendra dalam sidang mendengarkan keterangan ahli, Kamis (5/5) siang, di ruang sidang Pleno MK. Selain Yusril, hadir pula ahli lainnya: Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Fajrul Falaakh.

Sedangkan terkait Pasal 28 UU Advokat, menurut Yusril, menyebutkan dibentuk organisasi advokat dengan huruf o dan a besar (huruf kapital). Dan itu artinya, lanjut Yusril, merupakan sebuah nama. Jadi, bukanlah kata biasa ataupun genus. Sedangkan sekarang, faktanya, tidak ada satupun organisasi advokat dengan nama Organisasi Advokat sebagaimana maksud dari rumusan tersebut. Yang ada malah nama-nama organisasi advokat lainnya, seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) atau Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Ia tidak memungkiri bahwa dengan begitu pasal tersebut dapat dikatakan multitafsir. Ia pun kemudian berpendapat, jika memang pasal tersebut multitafsir, namun hal itu tidak otomatis menjadikan pasal tersebut inkonstitusional. “Bisa inkonstitusional, tapi tergantung pada kondisi-kondisi tertentu,” ungkapnya. Jika memang ada perdebatan tentang tafsir mana yang benar, kata Yusril, serahkan saja kepada Mahakamah Konstitusi untuk menentukan tafsir mana yang konstitusional.

Kemudian, berkaitan dengan pewadahtunggalan (organisasi) profesi advokat, menurut Yusril, tidaklah melanggar hak asasi manusia. Karena, berdasarkan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945, pembatasan hak dapat dilakukan dengan mengaturnya dalam sebuah Undang-Undang. Dan, ia juga menegaskan, organisasi profesi advokat tidaklah sama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas). Sehingga, menurutnya, organisasi profesi, dalam hal ini organisasi advokat, tidaklah tunduk pada UU tentang ormas. “Organisasi advokat tidak perlu pendaftaran atau pengakuan seperti ormas,” tegasnya.

Hampir senada dengan pendapat itu, Fajrul Falaakh bependapat, Pasal 28 UU Advokat akan inkonstitusional jika frasa satu-satunya dimaknai dengan mengharuskan pembubaran organisasii advokat lainnya. Atau, jika melarang advokat untuk ikut salah satu organisasi advokat yang ada. Manurutnya, meskipun advokat sebenarnya boleh membentuk organisasi, namun untuk organisasi advokat yang memiliki kewenangan regulator sebaiknya cukup satu saja.

Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara, berpendapat, pewadahtunggalan profesi advokat tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, ketentuan dalam UU Advokat merupakan siasat pembentuk UU dalam mengombinasikan kebutuhan ideal dengan realita sosial. Di mana, UU Advokat bermaksud untuk menyeimbangkan antara menjaga profesi advokat sesuai standardisasi ideal dengan tetap memandang realita banyaknya profesi advokat yang telah ada.

Ia juga menegaskan, dalam UU Advokat, tidak ada pasal yang menyebutkan organisasi advokat harus didirikan melalui kongres. “Tidak ada satupun,” ujarnya. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5358

Rabu, 04 Mei 2011

Uji Materi UU Perkawinan: Nasab Anak Kepada Bapak Kandungnya

Machica Mochtar dan anaknya Iqbal didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), Rabu (4/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.

Jakarta, MK Online – Permohonan Hj. Aisyah Mochtar (40) atau yang akrab disapa Machica‎ Mochtar, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/5/2011). Pedangdut yang sempat ngetop dengan tembang berjudul “Ilalang”, ini hadir di MK bersama anaknya, Iqbal dan didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto, serta Machica juga menghadirkan Ahli yaitu DR. H. Muhammmad Nurul Irfan, M.Ag. Selain itu, sidang juga dihadiri Pihak Pemerintah yaitu dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Agama. Sidang kali keempat untuk perkara yang diregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 46/PUU-VIII/201 ini mengagendakan mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Machica.

Dalam presentasinya di depan Sidang Pleno, Muhammad Nurul Irfan memaparkan seputar Perkawinan yang sah dan status anak sah menurut Hukum Islam. Pengertian nikah dalam Bahasa Arab, mencakup dua hal. Pertama, disebut sebagai akad (al-‘Aqdu). “Jumhur ulama seperti, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, menyebut bahwa nikah adalah akad. Karenanya kalau tidak ada akad, maka tidak akan membentuk nasab atau hubungan kekerabatan antara anak dengan bapak,” kata Irfan.

Kedua, nikah disebut sebagai hubungan badan. Ini diyakini oleh Imam Abu Hanifah. Ketika nikah dipahami dengan hubungan badan, maka bisa membentuk nasab (hubungan kekerabatan), dan hubungannya dengan persoalan status anak.
Sahnya sebuah pernikahan menurut hukum Islam adalah jika telah terpenuhi seluruh syarat dan rukun-rukunnya. Memperkuat pendapatnya, Irfan menyebutkan literatur dari kalangan Madzhab Syafi’iyyah, misalnya dalam kitab al-Iqnâ’ (Hâsyiyah al-Bujairimî 'alal-Khâthib) karya Sulaiman al-Bujairimi, disebutkan bahwa syarat atau rukun-rukun nikah meliputi lima hal: ijab kabul, calon mempelai wanita, calon mempelai pria, wali, dan dua orang saksi yang hadir. Demikian halnya, lanjut Irfan, dalam ijmâ’ dari kalangan mazhab Hambali, Maliki, dan Hanafi, yaitu meliputi lima syarat di atas. Hanya ada pengecualian dari mazhab Hanafi yaitu, jika yang dinikahi seorang janda, maka  bisa tanpa wali.

Kaitannya dengan UU Perkawinan, Irfan melihat adanya ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam, yaitu Pasal 42 UU Perkawinan. “Seorang anak dianggap sah dan memiliki nasab atau hubungan kekerabatan kepada ayah kandungnya jika anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid (rusak), wathi’ syubhat, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atas nasab, bukan anak yang lahir akibat perzinahan,” terangnya.

Tradisi Jahiliah
Ajaran Islam membatalkan cara-cara penetapan nasab oleh masyarakat jahiliyah yang menganggap perzinaan sebagai cara menetapkan nasab. Hal ini, kata Irfan, didasarkan hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menyatakan: al-waladu lil-firâsyi walil-’âhiri al-hajaru (seorang anak hanya bisa bernasab kepada pemilik atau tempat tidur yang sah dalam hal ini suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh kesialan atau batu hukuman).

Berdasarkan hadits tersebut, lanjutnya, Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Fiqhul Islamî wa Adillatuhû, menjelaskan bahwa nasab anak kepada bapak kandungnya bisa ditetapkan atas dasar tiga hal, yaitu perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atau pengakuan adanya hubungan nasab. Secara tegas beliau katakan nasab anak terhadap ibu kandunganya bisa ditetapkan atas dasar kelahiran semata-mata, baik lahir secara syar’i maupun tidak secara syar’i melalui pernikahan atau perzinahan. Adapun nasab anak terhadap ayah kandungnya bisa ditetapkan atas dasar perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, atau atas dasar ikrar atau pengakuan nasab.

Sedangkan anak yang lahir dalam nikah di bawah tangan atau nikah siri, menurut Wahbah Az-Zuhaili tetap mempunyai hubungan nasab dengan ayah kandungnya. Wahbah, Guru Besar Bidang Hukum Islam di Syiria dalam pendapatnya mengatakan: “Pernikahan yang sah atau fâsid merupakan sebab ditetapkannya nasab secara teknis. Cara penetapan nasab ini dilihat dari ada atau tidaknya perkawinan. Jika memang telah nyata-nyata terjadi perkawinan, walau dalam nikah fâsid yaitu nikah yang rusak karena syarat dan rukunnya tidak sempurna atau karena status hukumnya diperdebatkan seperti nikah muth’ah, kawin kontrak dan lain-lain, atau dalam perkawinan adat atau dalam perkawinan yang terjadi secara khusus yakni perkawinan yang tidak terdaftar pada lembaga atau instansi perkawinan yang resmi. Maka tetap saja nasab anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut bisa ditetapkan dengan ayah kandungnya.” “Ini pendapat Prof. Wahbah Az-Zuhaili,” kata Irfan.

Terkait dengan status anak sah, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menurut Irfan, berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman Jahiliyah. Rumusan pasal tentang kedudukan anak Pasal 42 UU Perkawinan yang berbunyi,“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” menurut Irfan, kata “dalam” yang pada rumusan pasal ini ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. “Sebab dengan adanya kata ‘dalam’ maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti mengakui atau mengizinkan dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah,” tandasnya.

Mengakhiri paparannya, Irfan menandaskan, jika keberadaan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung mudharat tapi untuk menghapuskannya juga mengandung mudharat, maka menurut kaidah hukum Islam, pilih mudharat yang paling ringan. Yang diamaksudkan Irfan adalah kaidah: ijma’ul muslimîna ‘alartikâbi akhâfid dharûraini (Konsensus kaum muslimin menyatakan bahwa memilih dan mengutamakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat yang ada). “Dasar kepatuhan kaidah ini adalah tindakan Rasullulah SAW, yang membebaskan Abdullah Bin Ubay Bin Salul dari hukuman qadzaf, hukuman menuduh zina. Dia termasuk tersangka yang menuduh Aisyah berselingkuh dengan Sufyan Bin Mu'athal, tetapi dibebaskan oleh Nabi. Dengan pertimbangan bahwa dendam para pengikut  Abdullah Bin Ubay akan lebih besar mudharat-nya dari pada sekedar mengabaikan pemberlakuan sanksi atas dirinya,” terang Irfan.

Untuk diketahui, Machicha mengujikan konstitusionalitas Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Machica mendalilkan pensyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap kebebasan berkehendak sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar nikah. Ketentuan pasal tersebut menyebabkan anak Machica, Iqbal, tidak bisa mencantumkan nama ayahnya dalam akta kelahiran. Menurutnya, Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

MK Tolak Seluruh Permohonan Uji Materi UU TNI

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Undang-Undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Menurut Mahkamah, Dalil-dalil para Pemohon dalam pokok permohonan tidak beralasan hukum. Demikian dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan No. 9/PUU-IX/2011, yang dibacakan dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (4/5) sore, di ruang sidang Pleno MK. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.

Permohonan tersebut diajukan oleh Moh. Riyadi Setyarto, seorang pengusaha barang dan jasa beserta seorang buruh, Rasma A. W. Pemohon beranggapan hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 3 ayat (2), Pasal 15 ayat (7), ayat (8), ayat (9), Pasal 66 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 ayat (2) UU TNI. Menurut mereka, ketentuan dalam UU tersebut telah memberi peluang dan kesempatan lebih besar kepada negara asing dan warga negara asing dan/atau menjadikan mereka lebih berani untuk melanggar wilayah dan mencoba menguasai sebagian wilayah Indonesia serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Namun Mahkamah berpendapat berbeda. Mahkamah menilai, dalil para Pemohon tersebut tidak tepat karena tidak ada hubungan kausalitasnya. “Namun hanya bersifat co-accident saja, tidak ada bukti, dan hanya berdasarkan asumsi para Pemohon belaka,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim. 

Sedangkan terkait keberadaan Kementerian Pertahanan yang secara konstitusional ada kaitannya dengan keberadaan TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, pengaturan hubungan organisatoris antara kedua unit organisasi pemerintahan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang dapat ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang.

“Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, pada pokoknya mengatur tata organisasi Tentara Nasional Indonesia yang merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk Undang-Undang dalam hal ini adalah DPR bersama-sama dengan Presiden,” tegas Alim.

Pengaturan tersebut meletakkan manajemen tentang dukungan administrasi pertahanan kepada Kementerian Pertahanan yang juga merupakan unit organisasi yang secara langsung membantu pelaksanaan tugas-tugas Presiden. Dengan demikian, lanjut Alim, dalil para Pemohon bahwa TNI harus berada langsung di bawah Presiden tidak benar dan tidak pula mengurangi efektivitas peran dan fungsi substansinya hanya karena Kementerian Pertahanan mengurus soal-soal dukungan administrasi terhadap TNI. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5347

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More