Selasa, 22 Februari 2011

Uji Materi UU Serikat Pekerja: Pelaporan Dugaan Korupsi Berbuah PHK

Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel) sedang memeriksa permohonan uji materi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh, Selasa (22/2/11).
Jakarta, MKOnline – Berbagai upaya hukum telah ditempuh Idrus Nawawi dan Haimingsi Hapsari untuk mencari keadilan. Namun semuanya tidak berpihak sebagaimana harapan keduanya.
Idrus dan Haimingsi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Direksi PT Semen Baturaja, sebuah BUMN tempat di mana mereka bekerja. Idrus dan Hamingsi menilai tindakan Direksi PT Semen Baturaja yang mem-PHPK mereka bertentangan dengan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Demikian paparan Pemohon dalam sidang pendahuluan uji materi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/2/2011).
Pemohon Idrus Nawawi dan Hamingsi Hapari adalah mantan Ketua dan mantan Sektretaris PUK SP KEP SPSI PT Semen Baturaja Site Baturaja. Keduanya memohonkan uji materil Pasal 1 Ayat (8) UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam paparannya di depan sidang panel MK, Idrus menyatakan, sewaktu menjabat Ketua dan Sekretaris SPSI PT Semen Baturaja, Idrus dan Haimingsi melaporkan dugaan korupsi di tubuh PT Semen Baturaja. Pelaporan ini mengakibatkan keduanya di-PHK. Merasa diperlakukan tidak adil, keduanya pun melakukan upaya hukum yaitu melaporkan Direksi PT Semen Baturaja ke Polda Sumatera Selatan (Sumsel) dengan tuduhan menghalang-halangi kegiatan Serikat Pekerja dengan cara mem-PHK. Namun, Polda Sumsel menghentikan penyidikan dengan alasan tindakan Direksi PT Semen Baturaja bukan ranah pidana. “Kami tidak menerima penghentian penyidikan atas laporan kami,” imbuh Idrus menyampaikan keberatan.
Selanjutnya, Idrus menempuh jalur hukum mempra-peradilan-kan SP3 Polda Sumsel ke PN Palembang. Namun putusan PN Palembang No.01/Pra-Per/Akte-Pid/2006 tanggal 10 Februari 2006 antara lain menyatakan, SP3 yang dikeluarkan oleh Polda Sumsel adalah sah menurut hukum. Tidak terima dengan putusan PN Palembang, Idrus pun mengajukan kasasi ke MA, namun permohonannya juga ditolak. “Permohonan kasasi kami ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan perkara yang tidak dapat diajukan kasasi antara lain putusan tentang praperadilan,” terangnya.
Akhirnya, Idrus mengajukan PK ke MA. Lagi-lagi permohonannya ditolak. “Karena itu kami melakukan upaya hukum yang terakhir untuk menentukan apakah benar kapasitas kami di dalam menjalankan kegiatan ini dilindungi oleh UU, khususnya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,” lanjut Idrus.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dari Dinas Tenaga Kerja Kab. OKU Prov. Sumsel, terang Idrus, bahwa PT Semen Baturaja yang merupakan perusahaan BUMN, tidak tunduk pada UU 21/2000. Pasal 1 ayat (8) UU 21/2000 menyatakan: “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dalam tuntutannya, Idrus dan Haimingsi memohonkan agar Pasal 1 ayat (8) UU 21/2000 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta tindakan Direksi PT. Semen Baturaja yang mem-PHPK Pemohon, tunduk pada UU Serikat Pekerja tersebut.
Selanjutnya, Pemohon juga meminta MK menyatakan Ketetapan tentang penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Termohon dengan No. Pol: S.Tap/89.b/XI/2005/Um/Dit. Reskrim SS, tgl 18 November 2005 tidak sah menurut hukum dan memerintahkan Kepolisian Negara RI melanjutkan penyidikan terhadap laporan para Pemohon kepada Polda Sumsel No. Pol: LP/159-K/III/2002 Yanmas Polda Sumsel Tanggal 28 Maret 2002. “Kami mengharapkan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI kiranya berkenan memberikan putusan yang seadil-adilnya,” pinta Idrus di akhir paparannya.

“Salah Kamar”
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 13/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh panel hakim Achmad Sodiki sebagai Ketua Panel, didampingi Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi dan M. Akil Mochtar. Achmad Sodiki menyarankan Pemohon menghubungi Panitera MK untuk mendapatkan arahan mengenai format permohonan yang benar. Sodiki juga menjelaskan mengenai pengujian UU di MK. “Yang menjadi wewenang Mahkamah adalah pengujian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Sodiki. Selain itu, Sodiki menyarankan Pemohon menguraikan tentang kerugian konstitusional yang dideritanya.    
    
Mengkritisi permohonan, M. Akil Mochtar menyatakan permohonan belum memenuhi syarat untuk diajukan ke MK. Sebab, kata Akil, yang diuji di MK adalah pasal atau ayat dalam UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. “Sementara petitum Saudara malah menyatakan bahwa Pasal Pasal 1 angka 8 itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini salah kamar” kata Akil. Sedangkan Ahmad Fadlil Sumadi menilai hak yang dimaksudkan Pemohon bukanlah termasuk hak konstitusional. Senada dengan Akil, Fadlil juga menilai permohonan “salah kamar”. (Nur Rosihin Ana). 
 
Sumber:

Kamis, 17 Februari 2011

Wadah Tunggal Profesi Advokat Langgar Hak Konstitusional

Hakim Konstitusi Moh. Alim (ketua panel) didampingi Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar (masing-masing sebagai anggota) memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, Kamis (17/2/11)
Jakarta, MKOnline - Ricuh terkait wadah tunggal profesi advokat berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk kesekian kalinya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji ke MK. Para Pemohon, melalui kuasanya menegaskan, permohonan mereka kali ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Setidaknya, menurut Pemohon perkara No. 79/PUU-VIII/2010 ini, terdapat perbedaan dalam hal legal standing dan batu uji. Demikian dinyatakan oleh salah satu kuasa hukum Pemohon, Taufik Basari, dalam persidangan perbaikan permohonan, Kamis (17/2) di ruang sidang pleno MK.
Taufik menuturkan, pihaknya telah melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya, Rabu (29/12/2010). “Kami telah uraikan perbedaan-perbadaan permohonan kami dengan permohonan-permohonan lainnya. Kami telah berikan tabelnya juga,” ungkap Taufik. Hal-hal yang ditambahkan tersebut, kata Taufik, dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim sebagai alasan penguat untuk melanjutkan dan mengadili permohonan Pemohon.
Ia pun menegaskan, pengujian ini tidak dapat dikategorikan sebagai nebis in idem (mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya). Karena, para Pemohon prinsipal adalah para calon advokat yang telah lulus ujian advokat namun tak kunjung dilantik. Dan, objek permohonan dalam hal ini tidak menguji Pasal 28 ayat (1) UU Advokat secara keseluruhan. “Kami hanya menguji frasanya saja,” tegas Taufik.
Frasa yang dimaksud adalah frasa “satu-satunya” dalam pasal tersebut. Adapun Pasal 28 ayat (1) UU Advokat itu berbunyi, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.”
“Batu ujinya juga belum pernah digunakan untuk menguji UU Advokat. Serta dalam perkara sebelumnya (yang menguji) adalah para advokat, bukan calon advokat,” papar Taufik. Setidaknya, menurut dia, frasa itu telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2); Pasal 28; Pasal 28C ayat (1) dan (2); Pasal 28D ayat (1) dan (2); serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Sebelumnya, Mahkamah telah memutuskan uji materil terhadap UU Advokat dalam perkara nomor 14/PUU-IV/2006. Dalam putusannya, MK menolak seluruh permohonan Pemohon. “Saat itu yang dipersoalkan adalah dalam hal kebebasan berserikatnya,” jelas Taufik.
Alasan utama pengajuan uji materi ini, tutur Taufik, karena, dengan adanya frasa tersebut, menyebabkan kekisruhan antar advokat, khususnya organisasi yang membawahi profesi advokat. Dan, lebih parah lagi, kekisruhan tersebut berimplikasi pada ketidakjelasan serta ketidakpastian nasib dan masa depan para calon advokat. “Telah memunculkan kemudharatan,” ujarnya.
Selain itu, ia beralasan, frasa tersebut juga telah mengakibatkan para Pemohon terlanggar hak-hak konstitusionalnya. Diantaranya: hak untuk bekerja, hak untuk diperlakukan sama, dan hak untuk berkumpul serta berserikat. “Pewadahtunggalan advokat itu belum disepakati oleh advokat di Indonesia,” salah satu kuasa Pemohon lainnya, Ronggur Hutagalung, menambahkan. (Dodi/mh)

Sumber:

Rabu, 16 Februari 2011

Pemerintah Berhak Mengatur Izin Penyelenggaraan Hutan

Saksi dari Pemerintah Bambang Soepijanto MM dalam persidangan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (16/2/11).
Jakarta, MKOnline - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 72/PUU-VIII/2010 dimohonkan oleh Bupati Penajam Paser Utara Andi Harahap.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan Saksi pemohon, Pemerintah yang diwakili oleh Bambang Soepijanto meminta agar Pemohon membuktikan bahwa Pemohon sebagai pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g. Menurut Bambang, sesuai Pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan kehutanan sesuai dengan adil, lestari, semangat kerakyatan, keadilan dan berkelanjutan. “Maka dengan penyelenggaraan hutan seperti itu, maka negara berhak menguasai hutan demi kemakmuran rakyat dan mengatur hubungan hukum atas tanah. Atas dasar hak itulah, maka Pemerintah berwenang untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk kegiatan kehutanan maupun kegiatan lain yang harus menggunakan hutan. Untuk itu setiap kegiatan yang memanfaatkan hutan diberikan secara selektif dan terencana,” jelasnya.
Bambang pun menuturkan bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU kehutanan sesuai dengan Pasal 1 butir 15. Selain itu, larangan untuk mengeksplorasi hutan tanpa izin menteri kehutanan berlaku untuk semua pihak. “Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian,  Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Bambang.
Selain itu, Bambang juga menuturkan jika permohonan Pemohon dikabulkan oleh MK, maka akan menimbulkan dampak negatif, yakni pengrusakan hutan dalam suatu wilayah tertentu akan berakibat buruk pada daerah lain, pemberian kebijakan tertentu dalam suatu daerah dikhawatirkan akan mengacaukan pemberian izin dalam suatu daerah yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia. “Ketiga, akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap izin yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan seperti yang diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan. Akan sulit mengendalikan ekosistem karena masing-masing kabupaten atau kota hanya akan mempertimbangkan faktor ekonomi,” paparnya.
Dalam persidangan tersebut, Pemohon menghadirkan beberapa orang saksi, di antaranya Sugino yang mengungkapkan lamanya perizinan untuk melakukan eksplorasi. “Kami selalu kesulitas dalam mengurus perizinan. Banyak yang mengeluh jika ingin mengurus pinjam–pakai. Mengurus perizinan terlalu lama. Kadang sampai bertahun-tahun karena dari bupati harus merekomendasikan kepada gubernur sebelum tembusan kepada kemeneterian kehutanan,” ujarnya.
Sementara itu, saksi Pemohon lainnnya Eddy mengungkapkan bahwa dirinya mengajukan izin eksplorasi sejak akhir tahun 2008, tapi belum selesai hingga sekarang. “Kerancuan ada di peraturan kementerian kehutanan, mau mengajukan izin harus diselidiki dulu. Selain itu, harus izin ke bupati juga harus izin ke menteri kehutanan,” jelasnya.
Pada sidang ini, Pemohon juga meminta kepada Mahkamah untuk diizinkan menghadirkan Ahli. Hal tersebut disetujui oleh Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki. (Lulu Anjarsari/mh)

Sumber:

Rabu, 09 Februari 2011

Diberhentikan Tidak Hormat, Persoalkan Hak Pensiun PNS

Pemohon Prinsipal, Widodo Edy Budianto seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Administrator Pelabuhan Tegal ini mempermasalahkan hak pensiunnya sebagai seorang PNS setelah diberhentikan dengan tidak hormat, Rabu (9/2/2011)
Jakarta, MKOnline - Widodo Edy Budianto kembali hadir di persidangan  Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/2/2011) untuk menjalani sidang lanjutan uji materi UU Hak Pensiun Pegawai. Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Administrator Pelabuhan Tegal ini mempermasalahkan hak pensiunnya sebagai seorang PNS setelah diberhentikan dengan tidak hormat. Pemohon mengaku saat dirinya diberhentikan dengan tidak hormat, usianya menginjak 50 tahun dengan masa kerja selama 24 tahun.
Widodo mengujikan materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai yang menyatakan, “pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri berhak menerima pensiun pegawai, jikalau ia pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun.” Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) huruf a UU 11/1969 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945.
Sidang untuk perkara Nomor 7/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Achmad Sodiki sebagai (ketua panel), Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Widodo menjelaskan beberapa dalil yang melatarbelakangi permohonannya.
Pertama, tidak ada ketentuan dalam UU maupun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pemberhentian PNS, baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat karena alasan melanggar disiplin. “Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa semua pegawai negeri sipil diberhentikan atau harus diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri karena tidak masuk atau melanggar disiplin,” kata Widodo mendalilkan.
Kedua, Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) mengenai pemberhentian terhadap dirinya secara tidak hormat berdasarkan PP 30/1980. “Saya dijerat dengan PP 30 Tahun 1980,” kata Widodo. Berdasarkan PP 30/1980, jelas Widodo, tidak terdapat pasal tentang penjatuhan sanksi, baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat. “Dengan demikian maka SK Menhub itu tidak ada landasan hukumnya,” lanjutnya.
Setelah mengemukakan dalil-dalil permohonan, Widodo menyampaikan perbaikan permohonan. Pertama, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat melanggar UUD 1945 dan Pancasila. “Karena Pemohon tidak melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan tidak melakukan penyelewengan ideologi Negara Pancasila, UUD 1945 dan tidak melakukan kegiatan menentang Negara atau Pemerintah,” ujarnya.
Seharusnya, menurut Widodo, dirinya diberhentikan sementara dan mendapatkan uang tunggu. Kemudian, setelah mencapai usia 56 tahun dan mempunyai masa kerja 10 tahun, maka dia berhak mendapat uang pensiun. “Karena Pemohon sudah bekerja 13 tahun dan telah melebihi batas usia pensiun yang telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8/1974 disempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 32/1979 pasal 18,” papar Widodo.
Dalam perbaikan permohonan, Widodo meminta Mahkamah menyatakan SK pemberhentian dengan tidak hormat, yaitu SK 18/KT 602/PHB/1998 yang disempurnakan dengan SK 399/2001 tidak mungkin dilaksanakan. “Seharusnya yang diberlakukan SK pemberhentian dengan hormat dengan berhak atas pensiun sebagaimana dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian atau Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041 disempurnakan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1979 pasal 18, sebagai penggantinya,” pungkas Widodo. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:

Pemerintah dan DPR Anggap Permohonan Machica Mochtar Tidak Berdasar

Machica Mochtar yang didampingi kuasa hukumnya, Rusdianto, Miftachul Ikhwan Al-Annur usai persidangan Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Rabu (9/2/11).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010, Rabu (9/2). Perkara Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Sebagaimana dalam permohonannya, negara dianggap mendiskriminasikan anak yang lahir di luar nikah dengan diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Hal itu ditegaskan Aisyah Mochtar atau yang lebih dikenal dengan Machica Mochtar selaku Pemohon dalam pengujian UU ini.

Machica yang didampingi kuasa hukumnya, Rusdianto, Miftachul Ikhwan Al-Annur, dan Ferdinand Robot menganggap persyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap kebebasan berkehendak, sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dengan UU tersebut akan dianggap sebagai anak di luar nikah. Pasal-pasal tersebut membuat Machica mengalami kerugian konstitusional berupa tidak dicantumkannya nama ayah di akte kelahiran anaknya. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Atas permohonan Machica tersebut, kemudian pihak Pemerintah, DPR, dan Saksi Ahli dari Pemohon dan Pemerintah pada persidangan kali ini, Rabu (9/2) memberikan keterangannya. Staf Ahli Kementerian Agama, Tulus, menjelaskan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2), dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Artinya menurut undang-undang a quo, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing. Namun, suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Tulus.

Lebih lanjut, ia mengatakan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk menertibkan administrasi perkawinan, memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak, dan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan,  seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran dan lain-lain.
“Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara, melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya,” ujar Tulus.

Tulus juga mengatakan bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing. Pasalnya, kasus yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah kasus konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Tulus mengatakan kasus tersebut terjadi karena Pemohon dalam melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang telah beristri tidak memenuhi prosedur, tata cara, dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU a quo serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pencatatan Perkawinan
Pieter C. Zulkifli Simabuea, Anggota Komisi III DPR RI dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan keterangan terkait UU Perkawinan. satu, bahwa perlu dipahami oleh Pemohon bahwa untuk memahami UU perkawinan terkait dengan ketentuan pasal UU a quo, Pemohon harus memahami dahulu pengertian dari perkawinan. Menurut Pieter, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ketentuan ini mengandung makna bahwa perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita, berhubungan erat dengan agama/kerohanian. Jika dilihat dari pengertiannya, maka setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama adalah sah, namun jika dikaitkan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, serta keturunan, maka akibat dari perkawinan memunculkan hak dan kewajiban keperdataan,” jelas Pieter.

Pieter melanjutkan bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang telah timbul dari akibat perkawinan yang sah, maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya, seperti kewajiban memberi nafkah dan hak waris.

Di akhir keterangannya, Pieter mengatakan bahwa DPR berpendapat dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, merupakan anggapan yang keliru dan tidak berdasar. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber:

Selasa, 08 Februari 2011

Uji Materi UU Kesehatan: Tembakau Bukan Zat Adiktif


Pemohon prinsipal Bambang Sukarno (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010) menghadirkan saksi fakta, Dr. Subagyo dalam persidangan uji materi Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan, Selasa (8/2/11).
Jakarta, MKOnline - Masuknya frasa ”....tembakau, produk yang mengandung tembakau,....”, dalam Pasal 113 ayat (2) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan, secara struktural tidak tepat. Sebab, pelembagaan Pasal 113 ayat (2) mengkategorisasi bentuk zat adiktif yang diatur dalam ayat (1). Sehingga pembacaan sesungguhnya adalah kategorisasi yang menunjukkan zat dalam bentuk padat, cair maupun gas. Demikian presentasi Zaenal Arifin Muchtar dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (8/2/2011). Sidang pleno dengan agenda mendengar keterangan ahli ini dihadiri Pemohon prinsipal Bambang Sukarno (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010), Pemohon prinsipal Nurtanto Wisnu Brata (perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010) dan kuasanya, A.H. Wakil kamal dan Iqbal Tawakkal Pasaribu.
Pemohon perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 menghadirkan 5 orang pakar, yaitu Prof. Dr. Muzdakkir, SH, MH, Ir. Purwono, MS, Dr. Revrisond Baswir, SE, Zaenal Arifin  Muchtar, SH. L.LM, Dan Prof. Dr. Saldi Isra, SH. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 menghadirkan 2 orang Saksi Fakta, Ala Sulistiono, dan dr. Subagyo. Hadir pula pihak terkait dan kuasanya yaitu Tulus Abadi dari YLKI, Muhammad Joni, Kuasa Pihak Terkait Komnas Perlindungan Anak, Sudaryatmo Kuasa Pihak Terkait dari Yayasan Kanker Indonesia, Tubagus  Haryo Karbianto, kuasa Pihak Terkait  dari Yayasan Jantung Indonesia, serta Ari Subagio Wibowo dari forum warga kota Jakarta. Sedangkan dari Kemenkum dan HAM (Pemerintah) tampak hadir antara lain, Heni Susila Wardoyo, Budi Sampurna.
Sebagaimana dalam permohonan, Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 mengujikan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan Pemohon perkara 34/PUU-VIII/2010 mengujikan norma Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa ”....tembakau, produk yang mengandung tembakau,....”, Pasal 114, dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan.
Ahli Pemohon Mudzakkir dalam presentasinya mengatakan, perumusan norma hukum pada Pasal 113 ayat (2) mengandung unsur ketidakjelasan atau kesalahan dalam perumusan norma. Hal ini, lanjutnya, akan tampak jelas jika dihubungkan dengan norma hukum Pasal 113 ayat (1). Menurutnya, norma hukum pada Pasal 113 ayat (1) sudah tepat yaitu memuat norma hukum yang bersifat umum, yang dapat mendasari pengaturan lebih lanjut dalam UU pelaksanaannya. “Pengertian zat adiktif bermakna umum, genus, tidak merujuk pada benda atau objek tertentu, tidak hanya berlaku pada satu objek saja. Namun rumusan Pasal 113 ayat (2) ternyata secara eksplisit menyebutkan kata-kata ‘tembakau, produk yang mengandung tembakau’. Jelas ini susunan norma yang tidak tepat. Tembakau dan produk yang mengandung tembakau bukan zat adiktif. Karena zat adiktif adalah kandungan yang terdapat dalam tembakau,” paparnya.
Seharusnya, lanjut Mudzakkir, semua tanaman yang mengandung unsur zat adiktif disebutkan dalam Pasal 113 ayat (2). “Ini susunan yang kacau, karena satu sisi menyebutkan tembakau, sementara tanaman-tanaman lain yang mengandung unsur zat adiktif tidak dimasukkan di dalamnya,” lanjutnya.
Ahli selanjutnya, Purwono memaparkan mengenai konversi tanaman tembakau ke tanaman lainnya. Menurutnya, secara biofisik, konversi lahan tembakau ke tanaman lain bisa dilakukan jika ditemukan jenis tanaman yang mampu berkembang di areal tembakau. Akan tetapi, secara sosial-ekonomi, hal ini memerlukan upaya-upaya terkait bagaimana merubah perilaku dan budaya petani. “Petani harus dibina tentang tekhnik penguasaan tanaman yang baru. Kemudian harus ada jaminan pasar, kalau memang harus pindah ke komoditi yang lain,” papar pakar agronomi ini. 
Pertarungan Bisnis Rokok
Sementara itu, dari sisi ekonomi dan bisnis Revrisond Baswir menyoroti tiga aspek pertarungan bisnis dalam hal ini. Pertama, pertarungan antar sesama pengusaha rokok nasional. “Pertarungan terjadi antara produsen rokok putih dengan rokok kretek,” jelasnya. Kedua, antara pengusaha rokok domestik dan multinasional. “Perusahaan rokok multinasional ingin masuk ke Indonesia dan mendominasi pasar di tanah air. Pada tahap tertentu, pertarungan itu berakhir dengan diambilalihnya pabrik rokok nasional oleh sebuah pabrikan dari mancanegara,” lanjutnya. Ketiga, antara perusahaan rokok dengan perusahaan farmasi. “Perusahaan-perusahaan farmasi inilah yang besar kemungkinan secara terus menerus berkampanye bukan anti nikotin, tapi anti cara mengkonsumsi nikotin dari cara konvensional ke cara baru yang lebih menguntungkan secara bisnis,” tandas Revrisond. Selanjutnya Revrisond menyerahkan sebuah buku karya Wanda Hamilton, “Nicotine War” untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti pertarungan bisnis dalam industri rokok.
Pakar hukum tatanegara Saldi Isra yang juga didapuk sebagai ahli Pemohon, menjelaskan adanya rumusan pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang menurutnya diskriminatif. “Perumusan Pasal Pasal 113 ayat (2) itu terkategori sebagai indirect discriminatioan,” kata Saldi. “Gagasan niliai mulia yang ada di dalam konsideran nilai “Menimbang”, tercederai oleh rumusan Pasal 113 ayat (2),” lanjutnya.
Pesan yang ingin disampaikan dalam UU Kesehatan menurut Saldi, bertujuan memelihara HAM, terutama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, pemeliharaan HAM yang diinginkan oleh pembentuk UU ternyata dalam perumusan norma, terutama dalam Pasal 113 ayat (2), mencederai HAM lain pula. “Setidak-tidaknya, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan serta hak untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif,” papar Saldi. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More