Rabu, 27 Oktober 2010

UU Minerba Untungkan Pemilik Modal Besar

Teguh Pamuji, Staf Ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Rabu (27/10).
Jakarta, MKOnline - Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/10) pagi, diruang sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, dalam persidangan kali ini tidak dihadiri DPR.

Dalam Panel Khusus yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki tersebut, hadir para Pemohon yang diwakili para kuasanya. Ada tiga Pemohon dengan nomor perkara yang berbeda, yakni: Pemohon dengan nomor perkara 25/PUU-VIII/2010, 30/PUU-VIII/2010, serta 32/PUU-VIII/2010. Beberapa Pemohon tersebut adalah para penambang, organisasi penambang serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka diantaranya: Fatriansyah Aria, Fahrizah, APTI, ASTRADA Prov. Kepulauan Bangka Belitung, WALHI, PBHI, KPA, KIARA, Solidaritas Perempuan, Nur Wenda dkk.

Dalam permohonannya, pada intinya, para Pemohon menyatakan, beberapa pasal pada UU Minerba lebih cenderung menguntungkan para investor asing serta pemilik modal besar. Sedangkan, penambang rakyat ataupun penambang bermodal kecil, kurang atau bahkan tidak dijamin dan dilindungi oleh UU Minerba untuk bisa menjalankan usaha secara adil. Oleh karena itu, UU  Minerba, menurut Pemohon, dianggap telah diskriminatif.

Menurut Dharma Sutomo, salah satu kuasa Pemohon (perkara no. 30), mengungkapkan, pada UU Minerba terdapat persyaratan-persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh para penambang (bermodal) kecil. “Persyaratan tersebut tidak realistis dan rasional,” pungkasnya. Salah satu syarat yang ditentukan adalah memiliki lahan minimal 5 ribu hektar. Pada praktiknya, ketentuan ini sangat sulit dipenuhi para penambang dengan modal kecil.

Menurut para Pemohon, setidaknya Pasal 6 ayat 1 huruf e jo Pasal 9 ayat (2); Pasal 10 huruf b; Pasal 22 huruf f; Pasal 38; Pasal 52 ayat (1); Pasal 55 ayat (1); Pasal 58 ayat (1); Pasal 61 ayat (1); Pasal 75 ayat (4); Pasal 172; serta Pasal 173 ayat (2) UU Minerba telah bertentangan dengan Konstitusi, terutama dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan ekonomi.

Kuasa Pemohon lainnya (perkara no. 32), Asep Yunan Firdaus, menyatakan, pasal-pasal pada UU Minerba telah memungkinkan hilangnya hak-hak konstitusional warga negara. “Pasal-pasal tersebut berpotensi mengurangi hak yang telah dijamin oleh konstitusi,” tegas Asep yang juga Ketua Tim Advokasi Hak Atas Lingkungan.

Asas Partisipatif
Sebaliknya, dalam keterangannya, Pemerintah menyatakan, pengaturan dalam UU Minerba malah dimaksudkan untuk melindungi para pengusaha kecil/rakyat serta menjamin kepastian hukum. Menurut Pemerintah, dalam hal persaingan usaha, UU Minerba telah memberikan kedudukan yang sama dan adil bagi para pengusaha, baik kecil maupun besar. “Salah satu asas dalam UU Minerba adalah pastisipatif,” ujar Pemerintah. Pemerintah juga menyatakan, “Dibuka seluas-luasnya sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.”

Begitu pula terkait adanya lelang dalam pengelolaan lahan tambang. Menurut Pemerintah, sistem lelang sama sekali tidak bermaksud untuk menghalang-halangi ataupun menghadap-hadapkan pengusaha kecil dengan pengusaha besar. Dan, perlu diketahui, lanjut Pemerintah, usaha tambang merupakan usaha yang memiliki resiko tinggi serta membutuhkan modal yang tidak sedikit. “Solusinya adalah, salah satunya, badan usaha kecil dapat menggabungkan usahanya untuk ‘melawan’ badan usaha besar,” ungkap salah satu juru bicara Pemerintah. “Usaha tambang memang high risk dan high technology,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Pemerintah banyak mendapat pertanyaan dari Majelis Hakim. Para Hakim Konstitusi banyak menyoroti tentang beberapa ketentuan dalam UU Minerba yang memang dirasakan lebih menguntungkan para pengusaha asing dan pemodal besar. “Cenderung neolib,” ungkap Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, saat meminta penjelasan pada Pemerintah. (Dodi/mh).
 
Sumber:

Selasa, 26 Oktober 2010

Alternatif Pemidanaan Anak: "Community Service Order"

Tampak di layar Ahli dari Pemohon, Adi Fahrudin saat presentasi di hadapan sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Selasa (26/10).
Jakarta, MKOnline - Community service order (CSO) atau program pelayanan masyarakat, merupakan bentuk pemberian hukuman kepada anak dengan memberikan kewajiban kepadanya untuk memberikan pelayanan sukarela kepada masyarakat yang ditentukan oleh pengadilan. 
 
"Program community service order ini sesuai diterapkan untuk anak, menggantikan sistem pemenjaraan yang ada selama ini."
 
Demikian disampaikan ahli Pemohon, Adi Fahrudin, saat presentasi di hadapan sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Selasa (26/10) di ruang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi RI.  
 
Uji materi UU 3/1997 ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM).  Materi yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 2 huruf b,  Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 Ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 Ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Sebagai batu ujinya adalah Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
 
Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli yang diajukan pemohon perkara nomor 1/PUU-VIII/2010 ini dihadiri Ketua KPAI Hadi Supeno, ahli Pemohon, dan kuasa Pemohon, Muhammad Joni dkk. Dari pihak Pemerintah yang hadir, Heni Susilo Wardoyo, Alfiani, dan Radita Aji, ketiganya dari Direktorat Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
 
Adi Fahrudin, dalam presentasi dengan tema " Community Service Order: Model Alternatif Rehabilitasi Sosial Anak Pasca Putusan Pengadilan" ini menyajikan kecenderungan yang terjadi di dunia terkait pemidanaan anak. Tawaran alternatif pidana, misalnya dari Union International de Droit Penal dalam kongres pertamanya di brussel 7-8 agustus 1889 mengeluarkan resolusi agar mengembangkan berbagai alternatif pidana jangka pendek (alternatives to short custodial sentence).
 
"Kemudian dari PBB, merekomendasikan dibatasinya pidana penjara jangka pendek," sambung ahli Pemohon, Adi Fahrudin.
 
Lebih lanjut konsultan profesional di Malaysia ini memaparkan kecenderungan berdasarkan perkembangan terkini di dunia internasional untuk mencari alternatif pidana dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisionment) ke dalam bentuk sanksi alternatif (alternative sanction). Selain itu juga mengenai alternatif pemidanaan berupa “community service order”.
 
Adi lalu mencontohkan penerapan CSO di bebeberapa negara. Di Italia, Jerman dan Swiss, pidana CSO dapat menggantikan pidana penjara pengganti apabila terpidana denda gagal membayar dendanya. "Di beberapa negara Eropah, CSO dapat menjadi syarat diterapkannya grasi," ujar Adi mencontohkan.
 
Di belanda, papar Adi, grasi dapat dijatuhkan atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus melaksanakan CSO. Kemudian di jerman, pidana CSO dapat menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan sebagai akibat denda tidak terbayar dengan melalui grasi.
 
Namun, penerapan program CSO menurut Adi, setidaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, berkaitan dengan tindak pidana tertentu/tidak berat. Kemudian, crime againt property, masa hukuman tidak melebih waktu tertentu, misalnya Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan Luxemburg 9-12 bulan, Belanda dan Portugal 4 bulan.
Syarat lainnya yang juga perlu mendapat perhatian yaitu, pelaku masih anak. Penerapan pidana CSO harus memperhatikan UU tenaga kerja karena usia anak dilarang untuk melakukan kerja.
 
Sedangkan mengenai kelebihan program CSO, menurut Adi yaitu, pidana CSO menisbikan proses  stigmatisasi. Pidana CSO akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Dari segi ekonomi, kata Adi, CSO jauh lebih murah. Kemudian, dapat menghindarkan stigmatisasi.
 
Anak yang menjalani pidana CSO masih dapat menjalankan kehidupan secara normal, seperti termasuk sekolah, pergaulan sosial. Sehingga proses dehumanisasi bisa dihindari. "Dapat menghindari “de-humanisasi” yang selalu menjadi efek negatif dari pidana perampasan kemerdekaan," tegas Adi Fahrudin. 
 
Sidang Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Achmad Sodiki sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, M. Arsyad Sanusi, Hamdan Zoelva, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)
 
Sumber:

Senin, 25 Oktober 2010

Pasal tentang Peninjauan Kembali (PK) Kembali Diuji

Agus Nurudin dan Azi Widianingrum, Kuasa Hukum dari Sigit Sugiarto bin Ong Ting Kang Direktur CV. Kurnia Abadi, menguji konstitusionalitas pasal yang mengatur tentang Peninjauan Kembali (PK), Senin (25/10).
Jakarta, MKOnline - Merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Direktur CV. Kurnia Abadi, Sigit Soegiarto (Pemohon), mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon bermaksud menguji konstitusionalitas pasal yang mengatur tentang Peninjauan Kembali (PK). Pasal itu berbunyi,“Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”

Pemohon, melalui  kuasanya, Agus Nurudin, menyatakan, berlakunya pasal tersebut telah memunculkan ketidakadilan bagi Pemohon. “Pemohon merasa dizholimi atas undang-undang tersebut,” ungkapnya. Pemohon merasa dirugikan karena merek dagang yang telah didaftarkannya secara sah telah dicoret dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang diajukan oleh PT. Inax International Corporation. 

Selain itu, dalam persidangan pendahuluan, Senin (25/10) siang, di ruang sidang Panel MK, Pemohon juga menguji konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua pasal tersebut juga berkaitan dengan tidak adanya PK setelah putusan PK, atau dengan kata lain, tidak ada PK yang kedua.

Menurut Pemohon, tidak ada PK yang kedua itu telah melanggar hak-hak konstitusionalnya. Oleh karena itu, Pemohon menguji pasal-pasal tersebut dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. ”Penekanan kami pada prinsip-prinsip keadilannya,” terang Agus.

Terhadap permohonan itu, Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Muhammad Alim serta Harjono, memberikan beberapa saran dan masukan untuk perbaikan permohonan. Menurut Hamdan, yang penting untuk dipertimbangkan oleh Pemohon adalah batas pengajuan PK itu sendiri. “Apakah dua, tiga, empat atau berapa?” jelasnya kepada kuasa Pemohon. Karena, lanjut Hamdan, yang juga disampaikan Alim, pengaturan PK tersebut salah satunya dalam rangka memberikan kepastian hukum. Dan, kepastian hukum merupakan salah satu prinsip yang diakui dalam konstitusi.  

“Anda dirugikan haknya karena apa? Karena kekhilafan hakim, atau rugi karena ada pasal itu. Ini harus jelas. Karena MK tidak menguji putusan MA, MK hanya menguji norma,” tegas Harjono juga mengingatkan. 

Selanjutnya, Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. “Ada beberapa Pemohon juga yang menguji pasal ini. Silahkan anda (Pemohon, red) lihat untuk mengelaborasi permohonan. Mungkin juga nanti akan disidangkan bersama-sama,” tutur Hamdan sesaat sebelum menutup sidang. (Dodi/mh)
 
Sumber:

Uji Konstitusionalitas Keberadaan Ombudsman

Kuasa Hukum Pemohon, Adnan Buyung Aziz menguji Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), Senin (25/10).
Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/10), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 62/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (Pemohon I), Lembaga Ombudsman Kota Makassar (Pemohon II), Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi DIY (Pemohon III), Lembaga Ombudsman Swasta Provinsi DIY (Pemohon IV), Ombudsman Daerah Kab.Asahan (Pemohon V), LSM KOPEL (Pemohon VI) dan Bahar Ngintung (Pemohon VII).

Dalam permohonannya, Pemohon melalui kuasa hukumnya Adnan Buyung Aziz mengungkapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman serta Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik bertentangan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), pasal 28E dan Pasal 28F UUD 1945. Dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman menyatakan bahwa “(1) Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota;(2) Perwakilan Ombudsman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan”. Sementara Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Pelayanan Publik menyatakan bahwa “(3) Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang bersifat hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi ombudsman dalam kegiatan pelayanan publik; (4) Pembentukan perwakilan ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

“Setelah dua tahun disahkannya UU tersebut, Pemohon I sampai Pemohon V tidak diperkenankan untuk menggunakan nama Ombudsman. Jika tetap mengunakan, maka dianggap tidak sah. Tak hanya itu, dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman terdapat kata ‘dapat’ dan pada Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik menggunakan kata ‘wajib’. Dari ketentuan tersebut, menurut kami ambivalen dan ambiguitas,” ujarnya.

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sebagai Ketua Panel menyarankan agar Pemohon memperbaiki salah satu petitumnya yang meinta agar MK mensahkan para Pemohon untuk menjadi Ombudsman di daerah masing-masing. “MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas pasal. Dalam pandangan kami, petitum Pemohon bukan masuk wilayah kami untuk menentukan keberadaan sebuah institusi atau lembaga,” ujarnya 

Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan Pemohon harus menguraikan secara jelas bahwa Ombudsman yang dimiliki Pemohon sudah disesuaikan dengan UU a quo. “MK tidak mempunyai kewenangan menambahkan norma baru. Tapi kalau Pemohon menginginkan pasal a quo konstitusional bersyarat, maka Pemohon harus menguatkan argumentasi bahwa ombudsman yang sudah didirikan Pemohon sama seperti yang diamanatkan dalam UU a quo. Kalau tidak begitu, maka nanti akan ada ombudsman-ombudsman di daerah lain yang tidak sesuai dengan amanat yang ada dalam pasal a quo,” urainya. 

Sedangkan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan Pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukumnya (legal standing). “Legal standing adalah pintu masuknya permohonan ini. Hal ini tidak diuraikan dengan jelas oleh Pemohon. Tidak cukup hanya menyebutkan pasal-pasal yang menjamin hak konstitusional Saudara (Pemohon, red.) dalam UUD 1945, tapi juga harus diuraikan konstruksinya. Apalagi Pemohon dalam perkara ini banyak, ini berarti mempunyai kedudukan hukum yang berbeda-beda pula,” paparnya.

Menurut Akil, Pemohon lebih memfokuskan pokok permohonan pada penamaan Ombudsman sendiri. Hal ini, lanjut Akil, lebih mengarah pada open legal policy (kebijakan hukum dari pembuat UU yang bersifat terbuka). “Apa ini termasuk masalah konstitusionalitas pasal? Lalu, masalah penggunaan kata ‘dapat’ dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Ombudsman dan kata ‘wajib’ pada Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik, saya kira ini masalah legal drafting saja. Bukan masalah konstitusional pasal,” ujarnya. 

Pemohon diberikan waktu perbaikan permohonan selama 14 hari dan selanjutnya akan digelar sidang perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)
 
SUmber:

Jumat, 15 Oktober 2010

Menyoal Pelaksanaan Ketentuan Calon Perseorangan di Aceh

Dalam Uji materi terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Kuasa Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menghadirkan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar pada persidangan berikutnya, (15/10).
Jakarta, MKOnline - Uji materi terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh kembali digelar oleh MK pada Jum’at (15/10) siang, di ruang sidang pleno MK. Pada kesempatan itu, Pemohon melalui kuasanya menyampaikan perbaikan dari permohonan yang diajukan.
Meskipun ada perbaikan, Pemohon menyatakan masih menguji Pasal 256 UU tersebut. “Ada perbaikan pada identitas terkait domisili Pemohon, kedudukan hukum, dan perubahan pada beberapa poin,” ungkap salah satu kuasa hukum Pemohon.


Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tersebut berbunyi: “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.”


Adapun Pemohon, pada persidangan sebelumnya, Rabu (15/6), menyatakan Pasal 256 tersebut telah bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 3, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pertentangan tersebut, lanjut Pemohon, khususnya terhadap frasa ‘hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan’. Menurut Pemohon, seharusnya pencalonan kepala daerah untuk calon perseorangan di Aceh tidak hanya berlaku untuk pemilihan kepala daerah yang pertama saja. Karena, lanjut Pemohon, telah atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.


Pada kesempatan yang sama, hadir pula Pihak Terkait, yakni Fajrul Rahman. Fajrul menyampaikan, pihaknya akan menghadirkan ahli dan saksi terkait perkara pengujian UU ini. Ahli yang akan dihadirkan diantaranya Refly Harun, Irman Putra Sidin dan Yudi Latif; sedangkan sebagai saksi yaitu Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Namun, permintaan untuk menghadirkan ahli dan saksi tersebut akan dibahas lebih lanjut oleh Mahkamah. “Ini persoalan sederhana. Apakah kita memerlukan ahli? Kita lihat nanti, apakah perlu menghadirkan ahli atau tidak. Kami kan sudah ahli semua,” seloroh Ketua Panel Hakim, M. Akil Mochtar setengah bercanda, disambut dengan senyum kecil para Pemohon dan Fajrul. (Dodi/mh).
 
Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4657

Kamis, 14 Oktober 2010

Mantan Anggota DPR Uji Pasal 40 UU KPK



Majelis Hakim Konstitusi, H.M. Akil Mochtar, Harjono, dan Hamdan Zoelva sedang memeriksa permohonan uji materi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Jakarta (14/10).
Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali di uji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon adalah Hengky Baramuli seorang mantan Anggota DPR RI yang terjerat kasus suap travel cheque pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Menurut Pemohon, Pasal 40 UU 30/2002 tersebut telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.


Dalam sidang pendahuluan, Kamis (14/10) pagi, di ruang sidang panel MK, Pemohon diwakili kuasanya, dari kantor hukum Farhat Abbas & Rekan, menyampaikan pokok-pokok permohonannya.


Farhat mengungkapkan, Pasal 40 UU 30/2002 yang berbunyi ‘Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi’ telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon. “Atau berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon,” ungkapnya. 


Farhat mengungkapkan, karena adanya norma tersebut Pemohon tidak bisa mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3). “Pemohon sebagai perorangan warga Negara Indonesia telah ditetapkan sebagai Tersangka bersama 25 Anggota DPR RI lainnya terkait kasus suap Cek Pelawat (Travel Cheque) yang seharusnya dihentikan penyidikannya oleh pihak Komisi Pemberantasan Korupsi,” paparnya.


Hal tersebut, menurut Farhat, telah menimbulkan diskriminasi. Karena, sambungnya, terkait SP3 sebenarnya telah diatur dan dibenarkan secara hukum, yakni dalam Pasal 109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 


Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 40 UU 30/2002 bertentangan dengan UUD 1945. “Atau setidaknya menghilangkan frasa/kata ‘tidak’,” tegas Farhat.


Pada kesempatan itu panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Akil Mochtar memberikan beberapa saran perbaikan atas permohonan. “Petitum perlu diperbaiki,” saran Akil. (Dodi/mh) 


Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4647

Rabu, 13 Oktober 2010

Enam LSM Uji UU APBN

Kuasa Pemohon membacakan permohonan pengujian UU No. 2 Tahun 2010 tentang APBN 2010 didepan Majelis Hakim, (13/10).
Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/10) di ruang sidang panel MK. UU tersebut adalah tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2010. Agenda sidang masih memasuki tahapan pendahuluan.

Panel hakim yang menyidangkan perkara tersebut ialah Hakim Konstitusi Harjono (Ketua Panel), beserta M. AKil Mochtar dan Muhammad Alim (Anggota Panel).

Para Pemohon terdiri dari beberapa organisasi non-pemerintah yang dikenal memperjuangkan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam bidang anggaran negara. Mereka adalah Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Prakarsa Masyarakat Untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (Prakarsa), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perkumpulan Inisiatif, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Mereka didampingi oleh kuasanya, M. Taufikul Mujib, Janses E. Sihaloho dkk. yang tergabung dalam  Tim Advokasi Tolak UU APBNP 2010.

Dalam pokok permohonannya, para Pemohon menguji UU No. 2 Tahun 2010 secara formil maupun materil. Menurut Pemohon, UU tersebut, secara formil, telah bertentangan dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”

Selain itu, lanjut Pemohon, secara materiil UU tersebut telah bertentangan dengan Pasal 18A Ayat (2); Pasal 23 Ayat (1); Pasal 28H Ayat (1); serta Pasal 34 Ayat (2) dan (3) UUD 1945.

“Bahwa undang-undang a quo setelah memasukkan belanja gaji masih jauh dari amanat pasal 171 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Porsi belanja Kesehatan pada APBNP 2010 sebagaimana diuraikan dalam tabel hanya sebesar 2,2% dari total APBN-P 2010. Selain itu, porsi belanja kesehatan dalam APBN-P 2010 masih jauh dari memadai yaitu kurang 1% dari PDB,” papar Janses.

“Dengan tidak terpenuhinya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 171 Ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 berarti APBN-P tahun 2010 tidak memberikan penyediaan fasilitas kesehatan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945, sehingga undang-undang a quo bertentangan dengan konstitusi,” lanjutnya.

Kemudian, kuasa hukum Pemohon lainnya, Mujib, juga mengungkapkan bahwa Pasal 20 Ayat (9) UU 2/2010 telah bertentangan dengan konstitusi. “Dengan diberikannya kewenangan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan alokasi anggaran dalam prkatiknya dilaksanakan dengan tidak adil sehingga bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945,” terangnya.

Selanjutnya, para Pemohon pun mendapatkan nasihat dari Panel Hakim. Dan, Pemohon pun menyatakan akan melaksanakan nasihat dari Panel untuk memperbaiki beberapa hal terkait permohonannya. “Menurut kami, masukan dan saran Hakim relevan dan signifikan,” tutur Janses. (Dodi/mh)
 
Sumber:

Selasa, 12 Oktober 2010

Batas Waktu Peninjauan Kembali Diuji di MK

Kuasa Pemohon dari Ngadino Hardjosiswojo mendengarkan nasehat Majelis Hakim dalam Sidang perdana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), (12/10).
Jakarta, MKOnline - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) kembali diajukan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/10) di Gedung MK RI. Ngadino Hardjosiswojo merupakan Pemohon dari perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 56/PUU-VIII/2010 ini.
 
Diwakili kuasa hukumnya Bakti Prasetiyo, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 67 huruf b dan Pasal 69 huruf b UU MA. Pasal 67 huruf b UU MA menyatakan “Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: (b) apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan”. Sementara itu, Pasal 69 huruf b UU MA menyatakan “Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk: (b) yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang”. Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (30 UUD 1945.


“Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena kedua pasal ini menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK),” ujar Bakti.


Bakti menjelaskan Pemohon menemukan bukti baru dalam proses banding, tapi permasalahannya perkara Pemohon belum inkracht serta bukti Pemohon tersebut belum mencapai 180 hari. “Alat bukti Pemohon juga dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jadi, Pemohon tidak bisa mengajukan PK,” jelasnya.


Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan bahwa Pemohon harus mengurai hak konstiusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 yang terlanggar akibat berlakunya pasal a quo. “Tolong ditunjukkan ketentuan UUD 1945 mana yang menjadi alasan seharusnya kerugian konstitusional Anda ini tidak perlu terjadi. Kalau hanya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 itu sangat umum. Pemohon juga perlu menambahi dalam petitumnya, tidak hanya menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tapi juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” urai Harjono.


Sementara, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai Ketua Hakim Panel mempertanyakan apabila pasal  tersebut dibatalkan, maka tidak ada pasal lagi yang memberi pembatasan PK. “Lantas, bagaimana mengajukan permohonannya? Saudara Pemohon harus rumuskan lebih tepat petitum Pemohon. Itu yang harus dirumuskan jika pasal ini dibatalkan agar tidak ada kekosongan hukum,” paparnya.


Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu Anjarsari/mh)
 
Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4633

Rabu, 06 Oktober 2010

Pembuatan Pornografi untuk Konsumsi Pribadi Tidak Langgar Konstitusi

Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, Rabu (6/10)
Jakarta, MKOnline - Pembuatan pornografi yang dilakukan oleh diri sendiri, untuk konsumsi diri sendiri dengan objek diri sendiri serta adanya itikad baik untuk menyimpan dan tidak menyebarluaskan produk pornografi tersebut kepada khalayak merupakan hak pribadi seseorang. Hal ini disampaikan oleh Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin  dalam sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Rabu (6/10), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan Mk dengan Nomor 48/PUU-VIII/2010 ini diajukan oleh M. Farhat Abbas 

Qomaruddin yang mewakili Pemerintah juga menjelaskan bahwa dalam Penjelasan Pasal 4 dan pasal 6 UU tersebut menegaskan larangan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali yang diberi kewenangan oleh aturan perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah mempersoalkan Pemohon yang tidak memiliki kududukan hukum (legal standing). 

“Sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan dengan berlakunya undang-undang. Sekarang patut dipertanyakan hak konstitusional Pemohon mana yang terlanggar dengan adanya Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 6 UU Pornografi ini? Apa sudah tepat Pemohon untuk mengajukan permohonan ini?” ujarnya.

Pemohon mendalilkan bahwa dengan menghapus penjelasan Pasal 4 dan Pasal 6 tentang Pornografi, maka akan membuat sanksi para pelakunya dengan video porno sehingga mereka tidak lagi berlindung di balik produk undang-undang dengan mengatakan diri mereka hanya korban belaka. Padahal tindakan mereka melakukan adegan terlarang yang didokumentasikan telah menabrak nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat sekaligus menjadi cerminan yang tidak bagus sebagai perkembangan moralitas bangsa.  (Lulu Anjarsari/mh)
 
Sumber:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More