Jumat, 30 Juli 2010

Hak Konstitusional Terlanggar UU Jamsosnas, Masyarakat Miskin Mengadu ke MK

Kuasa Hukum Pemohon menjelaskan permohonan Uji Materi UU Sistem Jamsosnas kepada Majelis Hakim, Jumat (30/7) di ruang panel MKRI.
Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU Sistem Jamsosnas) seharusnya merupakan sarana negara menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, bukan menjadi alat negara menegasikan kewajibannya terhadap warga negara. Hal ini disampaikan Hermawanto selaku kuasa hukum yang mewakili sembilan Pemohon dalam pengujian UU Sistem Jamsosnas di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (30/7). Perkara yang teregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-VIII/2010 dimohonkan oleh Dewan Kesehatan Rakyat, Perkumpulan Serikat Rakyat Miskin Kota, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, dan enam pemohon perseorangan yang merupkan pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 17 UU Sistem Jamsosnas. Pasal 17 UU Sistem Jamsosnas menyatakan menyatakan “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu; (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala; (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak; (4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah, (5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan; dan (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. “Pasal 17 UU a quo adalah bukti negara menegasikan kewajibannya untuk menjamin hak asasi warga negaranya. Tak hanya itu, ketentuan a quo juga melanggar hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 , yakni kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945,” jelasnya.

Menurut Hermawanto, dalam sistem hukum HAM internasional menempatkan negara sebagai aktor utama pemegang kewajiban dan tanggung jawab warga negaranya, sementara warga negara  (rakyat) berperan sebagai pemegang hak. Negara, lanjut Hermawanto, dalam sistem HAM  tidak memiliki hak, melainkan hanya dipikulkan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak  yang dijamin dalam instrumen HAM tersebut. Secara substansial, sambung Hermawanto, UU Sistem Jamsosnas pada kenyataannya menyisakan masalah karena tidak mencerminkan aspirasi masyarakat terutama yang menghendaki Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berpihak pada mayoritas masyarakat miskin, pengangguran, petani, pekerja informal. “Mestinya jaminan sosial masyarakat berpihak pada kaum tersebut. UU a quo hanya mencakup masyarakat yang mampu membayar premi dan iuran tanggung, maka hanya sekelompok masyarakat kecil saja yang mampu mendapatkan jaminan sosial. Sementara yang lain tidak berhak mendapat jaminan sosial nasional yang layak karena jumlah masyarakat miskin 100 juta lebih dengan pendapatan di bawah $2 dollar per kapita per hari,” urainya.

Selain itu, lanjut Hermawanto, Pasal 17 ayat 2  UU Sistem Jamsosnas merupakan wujud pelimpahan kewajiban negara kepada warga negara dan  sektor swasta. Menurut Hermawanto, negara justru melegitimasi perusahaan untuk melakukan pemungutan kepada para pekerjanya. “Hal ini sudah pasti membebani dan mengintimidasi para pekerja dengan sistem tersebut. Pemungutan yang dilakukan selama ini membebani pekerja khususnya pekerja rendah. Dana dari para pekerja ini tidak dikelola dengan transparan dan demokratis. Sementara itu, Pasal 17 ayat (3) UU a quo merupakan pasal yang berpotensi untuk menimbulkan kastanisasi atas jenis pleyanan bagi keluarga miskin dan keluarga kaya,” paparnya.

Perbaikan Petitum
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang terdiri dari Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua Panel serta Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati sebagai Anggota Panel menyarankan agar para Pemohon memperhatikan petitumnya lebih hati-hati. “Misalnya saja Pasal 17 ayat (4) yang menyatakan ‘Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah’. Kalau pasal itu di-drop, itu artinya fakir miskin nanti membayar  iuran itu atau tidak ada ketentuan yang mengatur tentang itu. Apa sudah pasti Pasal 17 ayat (4) itu akan dimintakan pengujian? Kalau mendengarkan argumentasi Pemohonmengenai iuran, kenapa iuran yang sudah ditanggung malah diberhentikan?” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.

Sementara itu, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menyampaikan agar Pemohon mengkonstruksikan petitum permohonannya menjadi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). ”Mungkin yang Saudara (Pemohon, red.) perhatikan memang ada kelas sosial tertentu yang tidak mampu memenuhi jaminan sosial ini. Kalau begitu mestinya harus ada program khusus agar mereka tidak kena kewajiban ini, tapi negaralah yang menanggung dan memenuhinya. Mungkin harusnya Saudara merumuskan petitum saudara conditionally constitutional. Bagi yang mampu membayar, ya membayar. Bagi yang tidak, ya seharusnya tidak perlu ada kewajiban membayar,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/MH)

Senin, 26 Juli 2010

Ketentuan Anak di Luar Perkawinan Diuji di MK

Machica‎ Mochtar selaku pemohon uji materi UU Perkawinan sedang mendengarkan nasihat dari Majelis Hakim saat pemeriksaan permohonan, Rabu (28/7) di ruang sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Hj. Aisyah Mochtar (40) atau yang lebih akrab disapa Machica‎ Mochtar, mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Machica‎ merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan. 

"Yang saya ajukan adalah permohonan untuk ananda Muhammad Iqbal Ramadhan usia 14 tahun," kata Machica‎.

Demikian pokok permohonan Machica‎ dalam sidang panel pemeriksaan permohonan perkara Nomor 46/PUU-VIII/201 mengenai pengujian Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan di MK, Senin (26/7/2010). 

Machica melalui kuasanya, Oktryan Makta, merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan atas berlakunya pasal tersebut. Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) oleh Pemohon dianggap menyebabkan anaknya tidak bisa mencantumkan nama ayahnya dalam akte kelahiran. 

"Karena akte kelahiran itu diajukan dengan persyaratan adanya buku nikah," kata Oktryan.

Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Kemudian Pasal 43 Ayat (1) UU 1/1974 menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya."

Menurut Pemohon, Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1), Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 28B Ayat (1) menyatakan, "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah."  Pasal 28B Ayat (2), "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terakhir, Pasal 28D Ayat (1) menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Kepentingan Anak
Panel hakim yang terdiri, Maria Farida Indrati sebagai Ketua, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi masing-masing sebagai Anggota. Majelis Hakim terlihat memberikan nasehat demi kelengkapan permohonan. Hakim Konstitusi Harjono menanyakan Pemohon mengenai pencatatan perkawinan yang menurut Pemohon melanggar UU. "Masa' ketentuan bahwa perkawinan itu dicatat kok menjadikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," tanya Harjono. 

Di samping itu, Harjono menyarankan agar Pemohon mempertajam dalil-dalil yang mendukung permohonan. "Menajamkan kembali alasan-alasan Anda terhadap pasal-pasal dimana Anda dalilkan sebagai pertentangan dengan Undang-Undang Dasar," tambah Harjono

Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang menganggap dirugikan berlakunya Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 43 ayat (1). "Hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar kepada Machica Mochtar itu apa, lalu berlakunya undang-undang ini merugikan hak dia yang diberikan Undang-Undang Dasar itu yang harus diuraikan," nasehat Fadlil.

Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati juga memberi kesempatan kepada Pemohon. Machica‎ menegaskan bahwa permohonan yang diajukan semata demi kepentingan dan masa depan anaknya. "Saya mengajukan permohonan ini untuk kepentingan anak saya, bukan untuk kepentingan diri saya pribadi, tapi semata-mata untuk kepentingan anak saya dan masa depan anak saya nantinya, tandas Machica‎.

Sebelum menyatakan persidangan ditutup, Ketua Panel Maria Farida Indrati memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. (Nur Rosihin Ana)
 

Kamis, 15 Juli 2010

Yusril Minta MK Menunda Proses Pidana Kejaksaan Agung



Yusril Ihza Mahendra didampingi para kuasa hukumnya memberikan keterangan pers seusai persidangan pemeriksaan perkara uji materi UU Tentang Kejaksaan Agung, Kamis (15/07) di luar ruang sidang pleno MK Jakarta.
Jakarta, MK Online - Tafsir jabatan Jaksa Agung harus diartikan memiliki batas masa jabatan. Apabila tidak ada masa batasnya kapan berakhir, maka akan bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian yang diutarakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Agung, Kamis (15/07) di ruang sidang pleno MK Jakarta.
Yusril ingin menguji konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 Undang-Undang tentang Kejaksaan Agung tersebut dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004, Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2009.
”Jadi yang tepat terkait jabatan Jaksa Agung sebagai pejabat negara tersebut harus seperti masa jabatan pejabat negara dalam kabinet pemerintahan Presiden SBY. Apabila kabinet berganti dan selesai, maka seiring dengan itu pula jabatan Jaksa Agung pun seharusnya selesai dan berganti,” tutur mantan Menteri Hukum dan HAM ini.
Denga tidak adanya aturan masa batasan jabatan Jaksa Agung dan tidak dapat diberhentikan kecuali meninggal dunia, sakit dan mengundurkan diri, maka menurut Yusril hal itu tidak sesuai dengan azas hukum administrasi. Selain itu juga bertentangan dengan azas demokrasi dan negara hukum serta tidak ada kepastian hukum.
“Penafsiran pasal yang mengatur tersebut mengakibatkan Presiden tidak bisa memberhentikan Jaksa Agung. Dan apabila Jaksa Agung diberhentikan, maka Jaksa Agung bisa berkata kapan masa jabatan saya berakhir dan tidak mau diberhentikan. Hal itu menimbulkan masalah tersendiri dalam hukum administrasi,” katanya.
Dengan demikian Yusril meminta kepada MK agar masa jabatan dalam UU Kejaksaan Agung harus ditafsirkan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan dalam kabinet. Apabila tidak seperti itu, harus ada keputusan  presiden yang mengatur masa jabatan. Tanpa ada kejelasan itu megakibatkan Pasal 22 tersebut berpeluang inkonstitusional
“Apabila pajabat negara tidak bisa diberhentikan dan dapat menjabat seumur hidupnya maka bertentangan pula dengan azas negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 UUD 1945. Negara hukum dan demokrasi tidak dapat memberikan peluang seorang menjabat sebagai pejabat negara seumur hidup karena hal itu dibatasi,” terangnya.
Terkait adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan, Yusril menyatakan bahwa pencekalan pergi ke luar negeri melanggar haknya sebagai warga negara. Kemudian dalam penetapan status tersangka terkait tindak pidana korupsi, pencekalan  bepergian ke luar negeri tidak bisa ditetapkan oleh penyidik. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Agung.
Selain itu, Yusril kepada MK juga meminta putusan provisi agar kejaksaan menunda seluruh proses putusan penetapan status tersangka, memanggil paksa tersangka, mencekal bepergian ke luar negeri karena kedudukan yang mecekalnya dipermasalahkan dalam sidang uji materi UU Kejaksaan Agung ini. (RN Bayu Aji)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More