Selasa, 29 Juni 2010

Uji UU Pemilu: Bukan Masalah Konstitusionalitas, Tetapi Masalah Internal Parpol

Ketua KPU Kabupaten TTS, James Tuka mewakili KPU Kabupaten Timor Tengah Selatan memberikan keterangan berkaitan dengan uji materi UU Pemda mengenai "Daftar Calon Tetap" di ruang sidang pleno MK, Selasa (29/06).
Jakarta, MK Online - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memberikan keterangan terkait frasa “daftar calon tetap (DCT)” yang dipermasalahkan oleh Sefriths E. D. Nau dalam pengujian Undang-Undang 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (29/6), di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 27/PUU-VIII/2010 ini, mengagendakan mendengar keterangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Ketua KPU Kabupaten TTS, James Tuka, yang mewakili KPU Kabupaten TTS mengakui bahwa pihaknya memang masih mengosongkan satu kursi DPRD untuk Partai Penegak Demokrasi Indonesia secara de facto dan de yure. “Hal tersebut dilakukan KPUD Kabupaten TTS sesuai dengan arahan KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lagipula, dari PPDI sendiri masih ada masalah internal partai. Jadi, ini bukan masalah mengenai konstitusionalitas Pasal 218 ayat (3) UU 10 Tahun 2008,” jelasnya.
James menjelaskan bahwa pihaknya menerima 15 nama yang diajukan oleh PPDI sebagai Calon Anggota DPRD Kabupaten TTS melalui Yunus Berry yang merupakan pengurus PPDI di bawah kepengurusan Endung Sutrisno. Pihak KPUD Kabupaten TTS, jelas James, menyusun Daftar Calon Tetap (DCT) menggunakan 15 nama tersebut. Menanggapi pernyataan James, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mempertanyakan alasan KPU Kabupaten TTS tetap memutuskan untuk menangguhkan pelantikan Anggota DPRD Terpilih PPDI. “Apa alasan Pihak Anda tetap menangguhkan bahkan memutuskan mengosongkan satu kursi bagi PPDI?” Tanya Fadlil.
Menanggapi pertanyaan tersebut, James beralasan bahwa KPU Kabupaten TTS belum mendapatkan calon dari PPDI berhubung PPDI sudah memecat 15 nama yang tercantum dalam DCT sebelumnya. “Selain itu, KPUD Kabupaten TTS masih menunggu konfirmasi dari KPU Provinsi NTT dan KPU pusat,” jelasnya.
Sidang mendengarkan keterangan KPU kembali ditunda karena ketidakhadiran KPU Pusat dalam sidang tersebut. Dalam penjelasannya di persidangan sebelumnya, Pemohon mengungkapkan bahwa frasa “daftar calon tetap” dalam Pasal 218 Ayat (3) UU Pemilu telah merugikan dirinya beserta masyarakat adat di Kabupaten TTS.
Adapun bunyi Pasal 218 Ayat (3) UU Pemilu tersebut adalah “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.”
Kerugian dikarenakan frasa tersebut menjadikan KPU Kabupaten TTS sampai sekarang tidak menetapkan 1 kursi Anggota DPRD Kabupaten TTS, yang semestinya berjumlah 40 kursi, hanya menjadi 39 kursi. Satu kursi tersebut adalah berasal dari partai Pemohon, yakni Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI). (Lulu Anjarsari)

Selasa, 22 Juni 2010

“Lingkaran Setan” dalam UU Pemilu

Direktur Litigasi DEPHUKHAM Cholilah (tampak di layar) sedang menyampaikan keterangan dari pihak Pemerintah pada sidang permohonan uji materi UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Selasa (22/6) di Ruang Sidang Pleno MK
Jakarta, MK Online - Frasa ‘daftar calon tetap’ (DCT) pada Pasal 218 Ayat (3) Undang-Undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), jika dimaknai secara absolut mustahil untuk terlaksana. Sehingga, berpeluang memunculkan dampak laten dan akan terjadi kehilangan substansi konstitusi yang dimaksud dalam pengaturan tersebut.
Demikian diucapkan oleh Ahli, Samuel Frederik Lena, yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan dengan nomor perkara 27/PUU-VIII/2010, Selasa (22/06). Pemohon adalah Sefriths E.D Nau, anggota Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) yang seharusnya dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), namun karena adanya norma dalam Pasal tersebut, mengakibatkan dirinya sampai sekarang masih belum bisa dilantik sebagai anggota DPRD TTS.
Dalam penjelasannya, Samuel, mengutarakan bahwa dalam mengkaji konstitusionalitas norma tersebut harus memfokuskan pada tiga isu hukum. Tiga isu tersebut adalah, pertama, apakah secara substansi bunyi norma dalam UU Pemilu tersebut bertentangan dengan UUD 1945; kedua, apakah frasa ‘daftar calon tetap’ bertentangan secara hakiki ataukah kondisional saja terhadap konstitusi; dan ketiga, apa saja hak konstitusional yang dilanggar jika frasa DCT tersebut diterapkan secara mutlak.
Dalam menjawab isu hukum tersebut, ia memaparkan beberapa argumentasi. Pada intinya, ada dua prinsip pokok yang harus diperhatikan, yakni penjaminan terhadap kepastian hukum dan terpenuhinya prinsip keadilan. Terkait kepastian hukum, menurutnya, pengaturan pada norma yang mencantumkan ‘daftar calon tetap’, memang dilandasai semangat kepastian hukum, namun disisi lain, jika ketentuan ini diterapkan secara mutlak, maka akan menciptakan kondisi yang dilematis, yakni ketidakpastian hukum dalam konteks prosedur penggantian calon pada kondisi-kondisi tertentu.
“Jika semua calon yang ada di daftar calon tetap itu meninggal dunia atau melakukan pelanggaran pidana Pemilu, atau seperti dalam kasus ini, semuanya dipecat. Maka, akan terjadi kekosongan hukum, bagaimana prosedur penggantiannya? Oleh karena itu, terjadi lingkaran setan. Harus ada di DCT tapi DCT tidak sah, diganti, tapi tak ada dasar hukumnya,” papar Samuel.
“Nampak ketidakmampuan hukum yang dilakukan oleh KPU dalam hal ini. Ini merupakan ketidakadilan yang nampak secara kasat mata. Makna keadilan yang universal adalah memberi pada setiap orang apa yang telah menjadi haknya. Terutama dalam konteks keadilan distributif, pemberian hak harus sesuai prestasinya,” tegasnya. Ungkapan ini terkait dengan kosongnya kursi dari PPDI di DPRD Kabupaten TTS hingga sekarang, karena tidak ada keputusan dan sikap yang jelas dari KPU Kabupaten TTS mengenai permasalahan ini. Adapun selama ini, KPU Kabupaten TTS berdalih dengan adanya norma tersebut, KPU tidak bisa menetapkan dan melantik calon Anggota DPRD pengganti dari pengurus PPDI yang sah karena calon pengganti tidak ada di DCT.
Akhirnya, ia pun mengakhiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa pada hakikatnya norma pada Pasal 218 Ayat (3) tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi jika norma tersebut diterapkan secara mutlak, maka akan menciptakan kondisi yang inkonstitusional, karena telah bertentangan dengan penjaminan kepastian hukum, perlindungan terhadap hak-hak individu, serta penegakkan prinsip kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945. Ia pun mengajukan kepada Mahkamah usulan terkait putusan yang akan diambil oleh Mahkamah nantinya.
“Saya mengusulkan kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa norma ini adalah conditionally constitutional (konstitusional bersyarat), yakni Pasal tersebut adalah konstitusional sepanjang dimaknai sesuai dengan yang telah ditegaskan oleh Mahkamah. Namun, ia (pasal tersebut) akan inkonstitusional jika diterapkan secara mutlak. Dia bersifat mutlak sejauh calon di dalam daftar calon tetap masih memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam perundang-undangan,” urainya.
Menanggapi permohonan Pemohon, pihak Pemerintah, melalui juru bicaranya Cholilah (Direktur Litigasi DEPHUKHAM), menyampaikan beberapa argumentasinya. Pada pokoknya, ia mengatakan bahwa pengaturan tersebut adalah untuk menjamin kepastian hukum. Oleh karenanya, norma tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, malah sebaliknya, rumusan tersebut adalah perwujudan dari UUD 1945 itu sendiri. Dalam uraiannya ia menjelaskan hal itu dari berbagai aspek, dari aspek filosofis, yuridis sampai teknis, kenapa muncul rumusan tersebut.
“Menurut kami (Pemerintah), apa yang terjadi itu (adanya dualisme kepemimpinan dalam PPDI di Kebupaten TTS) terkait masalah internal parpol itu sendiri, jadi harus diselesaikan secara internal juga, jadi ini bukan persoalan konstitusionalitas keberlakuan norma UU,” ujar Cholilah.
Setelah mendengarkan paparan dari para pihak, saksi serta ahli, Mahkamah akan menghadirkan KPU Kabupaten TTS dan KPU Pusat untuk didengarkan keterangannya pada persidangan berikutnya. “Untuk sidang berikutnya, kita akan hadirkan KPU TTS dan KPU Pusat. Dalam dua minggu ini kita akan sidangkan lagi perkara ini,” tutur Mahfud selaku Ketua Sidang. (Dodi H)

Senin, 21 Juni 2010

Pemohon: UU Kesehatan Langgar Hak Konstitusional Petani Tembakau


Kuasa Hukum Pemohon A.H. Wakil Kamal berdampingan dengan salah satu Pemohon Nurtanto Wisnu Brata saat pemeriksaan permohonan uji materi UU Kesehatan mengenai tembakau di ruang sidang panel MK, Senin (21/06).
Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/6), pada sidang Panel yang berlangsung di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Permohonan diajukan oleh 12 (dua belas) orang Pemohon. Mereka semua berprofesi sebagai petani tembakau yang merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar. Para Pemohon yakni Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, Abdul Hafidz, Thalabudin Muslim, M. Tafri, Parmuji, Timbul, Supriyadi, Salim, Suparno, Suryadi dan Hodri.
Melalui kuasa hukumnya, A.H. Wakil Kamal, dkk, Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat adanya norma dalam Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa “...tembakau, produk yang mengandung tembakau,...”, Pasal 114 serta penjelasannya dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27, 28A, 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2).
Menurut Wakil, Grand design pengaturan tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) menjadi satu-satunya yang mengandung zat adiktif, sarat dengan motif ekonomi demi kepentingan kapitalis asing. “Sementara produk rokok kretek yang merupakan satu-satunya produk asli di Indonesia tidak dapat diekspor ke Amerika Serikat dan petani tembakau di Indonesia terus menurun produksinya,” jelasnya.
Sementara itu, lanjut Wakil, tembakau dan rokok putih dari Amerika Serikat semakin bebas merajalela masuk ke Indonesia. Wakil mengemukakan bahwa Pemerintah selama ini telah mendapatkan pemasukan dari cukai rokok sekitar Rp 57 triliun, tetapi pada kenyataannya Pemerintah tak pernah acuh terhadap industri rokok dalam negeri. Para Pemohon menilai ketentuan tersebut sangat tidak jelas sehingga tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak dan tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil bagi para petani tembakau, dan norma tersebut sangat diskriminatif bagi para petani tembakau yang terlanjur mendapatkan stigma negatif, berbeda perlakuan terhadap petani anggur, kopi, teh dan lain sebagainya.
“Mengapa hanya rokok yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1), jelas-jelas pula tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil, dan cenderung diskriminantif terlanjur pula mendapatkan stigma negatif dibandingan dengan kelompok orang yang terlibat dalam produksi kopi, teh, wine dan lain sebagainya? Kenapa tidak ada aturan yang mengharuskan produk kopi atau teh harus dicantumkan peringatan kesehatan juga?” ungkapnya.
Menurutnya, Pasal 114 juncto Penjelasan Pasal 114 juncto Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan, tidak memiliki argumentasi dan logika hukum yang kuat, mengapa harus mengatur keharusan untuk mencantumkan ‘peringatan kesehatan’. ”Padahal perihal ‘peringatan kesehatan’ itu tidak hanya berlaku bagi rokok, tapi seharusnya juga berlaku bagi makanan dan minuman lain yang mengandung zat adiktif yang bisa/dapat mengancam kesehatan,” ujarnya.
Sedangkan mengenai Ketentuan pidana berlaku ketika rokok tidak mencantumkan ‘peringatan kesehatan’, jelas Wakil, juga tidak memiliki alasan/argumentasi dan logika hukum yang kuat. Hal ini karena ancaman kesehatan produk makanan/minuman lain yang juga dapat/bisa mengancam kesehatan tidak mendapatkan pidana seberat apa yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan.
Para Pemohon menganggap ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun dalam Ketentuan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan jelas-jelas berlebihan, karena krimanalisasi terhadap persoalan adminstratif semata, apalagi rokok merupakan barang legal di Indonesia. “Di samping itu frasa ‘…..berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114…” sangat berbeda dengan ketentuan Pasal 114 UU kesehatan, karena ketentuan Pasal 144 UU Kesehatan menentukan bahwa peringatan kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya, sedangkan dalam ketentuan dalam Pasal 199 ayat (1) hanya berbentuk gambar. Jadi rumusan Pasal 199 ayat (1) tidak sempurna, karena tidak jelas dan tegas sesuai prinsip lex certa yang menjadi asas hukum pidana, sehingga tidak memberikan kepastian hukum yang adil,” urainya.
Majelis Hakim Panel Konstitusi yang terdiri dari Harjono sebagai Ketua Panel dan Maria Farida Indrati serta M. Arsyad Sanusi sebagai Anggota Panel, menjelaskan bahwa permohonan Pemohon mengujikan pasal yang sama dalam UU Kesehatan yakni perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 yang diujikan oleh Bambang Sukarno.
“Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 sudah sampai pada sidang mendengarkan keterangan saksi. Mungkin Pemohon bisa mempertimbangkan untuk bergabung dengan perkara tersebut karena pasal yang diujikan sama. Nantinya Putusan yang akan dikeluarkan MK untuk perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 akan berpengaruh pada permohonan Pemohon,” tutur Harjono.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Pemohon jangan terlalu banyak bertanya dalam permohonan. “Para Pemohon mengajukan permohonan ke MK dengan tujuan untuk menguatkan apa yang diyakini Pemohon kepada Majelis Hakim Konstitusi, bukan untuk mempertanyakan kepada Majelis Hakim Konstitusi,” tegasnya.
Untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan saran Majelis, Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu Anjarsari)

Selasa, 15 Juni 2010

UU Kesehatan Harus Pro Rakyat

Prof. Azrul Azwar dari UI selaku ahli pihak Pemohon sedang memberikan keterangan dalam persidangan uji materi UU tentang Kesehatan, Rabu (15/06) di ruang sidang pleno MK.
Jakarta, MK Online - Rakyat mendambakan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang pro terhadap rakyat. Kalaupun harus ada perdebatan tentang Pasal dalam UU Kesehatan maka harus pro rakyat juga.
Demikianlah yang diutarakan Prof. Azrul Azwar dari UI selaku ahli yang didatangkan oleh pihak Pemohon dalam persidangan uji materi Pasal 108 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Rabu (15/06) di ruang sidang pleno MK. Perkara 12/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Misran selaku perawat di puskesmas pembantu daerah Kutai Kartanegara. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, pihak Terkait dan Saksi.
”Karena harus pro rakyat, kita tidak boleh mengabaikan untuk memberikan pertolongan darurat medis terhadap pasien. Apabila masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan, maka tenaga medis dan juga tenaga perawat yang bertugas harus memberikan. Di luar negeri perawat diberikan kewenangan memberikan obat karena demi menolong pasien,” katanya.
Oleh sebab itu, menurut pengajar UI tersebut, apakah nilai guna undang-undang apabila membatasi dan tidak menunjang keilmuan. ”Kebutuhan masyarakat lebih luas dari sekadar itu. Pasal itu (UU Kesehatan yang diujikan) harus kita kaji ulang,” paparnya.
Menanggapi pertanyaan dari Pemerintah terkait resiko pemberian kewenangan pelayanan medis antara tingkat pendidikan dan resiko kesalahan, Azrul menyatakan bahwa dua hal itu berbeda. Pendidikan yang lebih rendah bukan berarti akan semakin tinggi resiko membuat kesalahan.
”Dokter spesialis juga melakukan kesalahan. Meski demikian, memang pada dasarnya kesalahan bisa diminimalisasi dengan pendidikan. Namun, pendidikan tidak boleh dijadikan alasan,” tegasnya
Misran Pemohon uji materi ini merupakan perawat dan juga ketua puskesmas pembantu di daerah Kutai Kartanegara yang sedang dijerat pidana Pasal UU Kesehatan karena memberikan obat daftar G kepada pasien. Kerentanan pemidanaan tersebut disebabkan adanya ketentuan perawat sebagai tenaga kesehatan diharuskan memberikan pertolongan pertama kepada pasien dan tidak boleh menolaknya karena dapat dipidana penjara 2 tahun sesuai dengan Pasal 190 ayat (1). Sementara itu, ketika melakukan pertolongan dan memberikan obat, ternyata juga dapat dipidanakan karena ada ketentuan terbatas bagi perawat untuk memberikan obat kepada pasien. (RN Bayu Aji)
 

Senin, 14 Juni 2010

UU Minerba Dianggap Langgar Hak Konstitusional Petani Sekitar Pertambangan

Asep Yunan Firdaus selaku Kuasa Hukum Pemohon menjelaskan perbaikan permohonan mengenai UU Minerba di ruang sidang Panel MK, Senin (14/06).
Jakarta, MK Online - Sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/6). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 32/PUU-VIII/2010 ini diajukan oleh lima badan hukum yakni, WALHI, Konsorsium  Pembaharuan Hukum Agraria, koalisi rakyat untuk Keadilan Perikanan, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, dan Persatuan Solidaritas Perempuan serta 16 pemohon perorangan.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Pemohon telah melakukan beberapa perbaikan terhadap permohonan yang diajukan terutama pasal yang akan diujikan. Asep Yunan Firdaus selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa yang semula memohonkan pengujian terhadap Pasal 162 UU Minerba, maka dalam perbaikan diubah menjadi Pasal 162 juncto Pasal 136 ayat (2) UU Minerba. “Kami memasukkan Pasal 136 ayat (2) UU Minerba karena kami menilai Pasal 162 dan Pasal 136 ayat (2) merupakan satu kesatuan. Sedangkan untuk Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10 huruf b UU Minerba tetap kami mohonkan untuk diuji,” jelasnya.
Asep juga memaparkan bahwa Pemohon telah mengubah pasal dalam UUD 1945 yang akan menjadi alat uji. Jika semula Pemohon hanya menggunakan Pasal 33 UUD 1945 untuk dijadikan sebagai alat uji, maka dalam perbaikan, Pemohon memfokuskan hanya pada pasal mengenai Hak Asasi Manusia. “Untuk Pasal 162 juncto Pasal 136 ayat (2) UU Minerba, kami ujikan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (3), dan Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945. Sementara, untuk Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10 huruf b UU Minerba, kami ujikan dengan Pasal 28H Ayat (1) dan ayat (4), Pasal 28D Ayat (1), dan 28G Ayat (1),” ujarnya.
Majelis Hakim Panel yang terdiri dari Harjono sebagai Ketua serta M. Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati sebagai Anggota mengesahkan 26 alat bukti tertulis. Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah terlanggar akibat berlakunya Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10 huruf b serta Pasal 162 UU Minerba. Para Pemohon merupakan korban dari dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan sebagai wujud dari UU Minerba tersebut. Sedangkan Para Pemohon perorangan yang berjumlah 16 orang merupakan petani harus tergusur akibat tanah yang mereka garap ditetapkan sebagai wilayah pertambangan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10 huruf b UU Minerba. (Lulu Anjarsari)
 

Selasa, 08 Juni 2010

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir Membuka Peran Serta Masyarakat


Ahli Pihak Pemohon I Nyoman Nurjaya menerangkan keahliannya terkait Uji Materi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir di ruang Sidang Pleno MK, Selasa (8/06).
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Selasa (08/06), di Gedung MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pihak Pemohon dan Pemerintah.
Imron Amin selaku Saksi Pemerintah menjelaskan bahwa banyak sekali kasus tumpang tindih terkait kebijakan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) baik dari Pemerintah maupun swasta saat eksplorasi potensi pesisir pantai.
“Konflik kepentingan ini terjadi ketika era pemerintahan Gus Dur dan kemudian harus ada peraturan untuk meminimalisasi konflik kepentingan. Saat itu saya sebagai pegiat LSM ingin sekali ada pengaturan satu pintu sehingga pengelolaan dan kebijakan HP-3 maupun kekuatan masyarakat agar bisa menolak eksplorasi apabila tidak menguntungkan masyarakat itu sendiri,” tuturnya.
Sejalan dengan Imron, Abdon Nababan, Ahli dari Pemerintah menjelaskan bahwa semangat dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah agar masyarakat bisa berperan serta dalam pengelolaan wilayah pesisir. “Pada ketentuan Pasal 9 disebutkan masyarakat memiliki peran serta. Jadi HP-3 harus dimusyawarahkan dengan masyarakat adat setempat dan aturan itu merupakan standar yang diatur oleh HAM internasional,” katanya.
Kemudian, tutur Imron, ketika era Gus Dur terdapat usaha yang maju dengan adanya pengelolaan laut. “Saat itu saya dalam diskusi dengan Presiden Gus Dur dan budayawan Emha Ainun Najib menggagas bagaimana negara Indonesia ini harus dikuatkan lautnya. Dan kemudian dibutuhkan suatu departemen yang kemudian dibentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan,” imbuhnya.
Hilangkan Tradisi Lokal
Sementara itu menurut Bona selaku juru tikam ikan paus suku Lamanera di Pulau Lembata, NTT, nasib nelayan di kampungnya mengalami keresahan karena adanya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir ini.
“Nelayan kami memiliki tradisi melaut dan menangkap dengan alat tradisional. Menghilangkan tradisi dengan beberapa cara adalah menghilangkan identitas orang Lamanera yang selalu identik dengan pemikiran tradisional. Jadi kami sangat gelisah dengan pengalihan isu bahwa kita dianggap brutal dengan menangkap paus di laut yang akhirnya membuat hidup kami yang tradisional menjadi berubah ke cara yang lain,” kisahnya.
Selanjutnya, menurut Ahli Pemohon yakni I Nyoman Nurjaya menyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,”
“Tentu saja istilah dikuasai menurut tafsir MK dalam putusannya tidak berarti memiliki. Namun, diartikan merumuskan kebijakan, pengaturan, pengelolaan serta pengawasan guna pembangunan nasional yakni mewujudkan kemakmuran rakyat,” katanya.
Dengan demikian, tambah Nyoman, kecenderungan pembangunan saat ini hanya pada pertumbuhan angka-angka dan tidak melihat apakah rakyatnya sejahtera apakah menangis. “Jangan sampai pengelolaan pesisir pantai berada di tangan pemodal-pemodal besar.
Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 3/PUU-VII/2010 ini diajukan oleh 14 pemohon, yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KARA), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Tiharom, Waun, Wartaka, Carya bin Darja, dan Kadma. (RN Bayu Aji)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4128

Rabu, 02 Juni 2010

Uji UU Kesehatan: Rokok Tembakau Timbulkan Ketergantungan Psikologis, Fisik, dan Toleransi

Ahli Pemerintah dr. Widyastuti Soerojo, MSc disumpah dihadapan Majelis Hakim sebelum memberikan keterangan terkait UU Kesehatan tentang tembakau, Rabu (2/6), di ruang sidang pleno MK.
Jakarta, MK Online - Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau dengan kadar yang cukup besar, sehingga rokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik dan toleransi serta sulit menghentikannya.
Demikian dikatakan Prof. Dr. Amir Syarief, SpFK, selaku Ahli dari Pemerintah, saat memberikan keterangan pada sidang uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Rabu (2/6/2010), bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah, kuasa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), serta saksi-saksi
Sidang perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 ini dilaksanakan oleh Pleno Hakim yang terdiri dari Achmad Sodiki sebagai Ketua, M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Harjono masing-masing sebagai anggota. Sidang dihadiri oleh Pemohon prinsipal H.M. Bambang Soekarno, Ahli dari Pemohon, dan Ahli dari Pemerintah.
Lebih lanjut, Guru Besar FK UI ini mengatakan, ketergantungan psikologis adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat. "Bila keinginannya itu tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya, dia menjadi lesu, tidak bergairah," kata Amir.
Ketergantungan fisik adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka waktu tertentu dan mengurangi atau menghentikannya secara tiba-tiba. "Maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik, seperti perubahan-perubahan pada denyut jantung, tekanan darah, produksi keringat, frekuensi diare, sensitasi nyeri, dan sebagainya," lanjut Amir.
Sedangkan yang dimaksud toleransi adalah bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya. "Misalnya seseorang biasanya untuk tidur cukup menggunakan dosis 5 mg Diazepam, tetapi karena sering menggunakan obat tersebut, suatu ketika ia memerlukan dosis 10 mg untuk bisa memberikan efek tidur," kata Amir mencontohkan.
Sementara itu, Ahli Pemerintah dr. Widyastuti Soerojo, MSc, mengatakan, tidak ada kata larangan dalam Pasal 113 UU 36/ 2009 tentang Kesehatan. Yang ada adalah pengaturan. "Artinya bahwa masih dibenarkan orang untuk memproduksi atau melakukan kegiatan yang berhubungan dengan zat adiktif yang di sana disebutkan adalah tembakau," kata Widya.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI ini mengatakan, dari perspektif perlindungan kesehatan masyarakat, tidak ada diskriminasi antara sediaan farmasi dan zat adiktif. "Pengamanan sediaan farmasi tidak berbeda dengan pengamanan zat adiktif," tegas Widya.
Widya menyebutkan jenis tanaman yang mengandung zat adiktif, yaitu kentang, tomat, paprika, terong, kopi, cokelat, teh. Jenis tanaman ini mengandung zat adiktif dengan konsentrat sangat kecil, tidak berpengaruh pada terjadinya ketagihan. "Dan karenanya tidak di-cover oleh undang-undang," jelas Widya.
Ahli dari Pemerintah, Dr. Ahmad Hudoyo, Sp.P(K), dalam pengantarnya mengatakan, kanker paru merupakan penyakit mematikan. "Karena kanker paru sulit disembuhkan dengan angka tahan hidup lima tahun paling rendah dibanding kanker lainnya," kata Ahmad mengawali penjelasannya.
Lebih lanjut spesialis paru ini mengatakan, selain untuk rokok, cerutu, susur, inang, ternyata dengan kemajuan teknologi, daun tembakau bisa dijadikan zat pengawet untuk kayu, bambu, bahkan untuk mewarnai kain sutera. "Tembakau juga bisa untuk bio pestisida, dan penelitian terakhir ekstrak daun tembakau bisa untuk obat kencing manis, bahkan dengan rekayasa genetik, daun tembakau juga bisa jadi obat anti kanker paru," papar Ahmad.
Ahli Pemerintah Abdillah Ahsan, SE, MSE, mengatakan, proporsi pengeluaran untuk rokok menduduki urutan kedua setelah padi-padian dan beras. "Mengalahkan untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, kata Abdillah.
Uang yang dihabiskan untuk rokok, lanjut Peneliti Lembaga Demografi UI ini, setara dengan sembilan kali biaya pendidikan. Pengeluaran untuk rokok juga setara dengan tujuh belas kali pengeluaran untuk daging, setara dengan lima kali pengeluaran untuk susu dan telur. "Kalau boleh berandai-andai, di rumah tangga yang miskin, bapaknya yang perokok berhenti merokok, dan uangnya dibelikan susu dan telur, maka konsumsi susu dan telur di rumah tangga tersebut akan meningkat lima kali lipat," papar Abdillah.
Sementara itu, Ahli Pemerintah, DR. H.A. Fattah Wibisono, MA, mengatakan, hukum merokok tidak ditemukan dalam Al-Qur'an maupun as-Sunnah (Hadits). "Kata tadkhîn tidak ada dalam kitab suci," kata Fattah mengawali keterangannya.
Lebih lanjut, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, rokok mempunyai dampak negatif bagi kesehatan. Dengan demikian, merokok dapat dikategorikan sebagai khabâits. Makna kata khabâits menurut Ibnu Katsir adalah dhârratun fil badan, finnafsi, sesuatu yang mempunyai daya rusak dahsyat bagi fisik dan jiwa seseorang. "Bisa dipahami jika Syekh Yusuf Qardhawi dan Wahbah Al-Zuhaili yang banyak dijadikan rujukan pengharaman rokok, kemudian di Indonesia, ada ulama Muhammadiyah yang juga mengharamkan rokok," lanjut Fattah.
Di samping itu, kata Fattah, ada ulama di Indonesia yang menyatakan merokok hukumnya makruh. "Baik yang mengharamkan maupun yang memakruhkan, itu mempunyai titik temu, yaitu sama-sama menginginkan orang berhenti merokok," jelas Fattah. (Nur Rosihin Ana)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More